Jumat, Januari 03, 2014

TREASURED YOUR FREEDOM


“Stop complaining, said the farmer
Who told you a calf to be
Why don`t you have wings to fly with,
like a swallow so proud and free”


Tamparan lirik ‘Donna-donna’ lagu favorit bagi Soe Hok Gie ini, terasa seolah didendang langsung oleh Gie, tepat di gendang telingaku. Pesannya begitu dahsyat membuat kesadaranku terkapar sejenak namun tertatih kubangkitkan kembali. Kugenggam erat sodoran tangan imaginer Gie, menarikku yang terpuruk dalam duka-dendam kebodohan diri. Sosok mungilnya dalam terpa cahaya bulan, meneduhkan amarah yang membakar habis kesabaranku, dia tak banyak berbicara, bahkan tak sekecap kata pun terlontar dari mulutnya.

Tangannya menunjuk ke berbagai penjuru arah mata angin, pada titik pertama diarahkan telunjuknya ke arah baliho super besar dengan gambar perempuan berwajah ayu senyum palsu. Titik berikutnya, telunjuk itu berhenti pada sebuah kampus yang bising dengan lalu lalang kendaraan, tak ubahnya terminal. Kali ini telunjuknya beredar pada segelintir mahasiswa, mereka membakar ban di tengah jalan, berteriak-teriak tak jelas, membikin macet di siang terik tak bersahabat. Sebuah mobil mewah tak luput dari telunjuk Gie, pengendara berpenampilan perlente itu kukenali; rekan kerja.

 “Aku masih belum paham, Gie! Katakan!” sosok mungil itu memudar, menjadi partikel halus terhempas asap hitam knalpot bus kota.

“Gie, betapa sebuah kesialan bagiku berjalan pada bekas tapak kakimu, mencontoh gerakanmu untuk kembali ke kampus. Berharap menjadi pencerah bagi generasi penerus bangsa yang kian membangsat ini!”

Kukutuki diri ini, selepas halusinasi bodoh itu tiba-tiba menerjang lewat provokasi soundtrack lagu dari film tentangmu itu.Gie, buku catatan demonstrasimu kumasukan dalam ranselku. Di hadapanku segelintir mahasiswa tengah meraung-raung kerasukan hantu-terasi, demons-terasi. 

 

Semula membaca catatanmu menjadi titik damaiku, mana kala puncak rasa muak atas realita ini tak mampu kudaki. Seluruh gunung yang pernah kau jelajahi telah kusentuh puncaknya tapi gunung peradaban manusia ini, terlampau terjal Gie! Kampus, tempatku mengabdi begitu angkuh berdiri, sebelah kaki gunung ini, di arah timur berbatasan dengan Ibu Kota Negara, sementara di ujung kulon, kakinya tenggelam dalam dasar Selat Sunda, berharap bersentuhan dengan Krakatau.



“Pak, kok, melamun, sih?!” seorang mahasiswa membuyarkan sekaligus menyelamatkanku dari larutan imaginasi dan realitas, bersatu dalam satu wadah kehidupan tapi tak bercampur sempurna, seperti minyak dan air dalam gelas. 

“Ohh…yaa…ehhh…tidak!” Aku masih membuka folder daftar nama yang kukenal dalam otakku, siapa nama anak muda ini?!

“Maaf, Pak. Saya, mau bertanya tentang nilai mata kuliah semester ini. Nilainya sudah keluar, Pak?” mahasiswa berpenampilan gaul ini masih belum kukenali dengan baik.

“Memangnya, kamu ambil mata kuliah apa dengan saya?” sejauh daya ingatku yang lemah ini, masih bisa kuhafal betul seluruh nama mahasiswa yang berproses belajar bersamaku.

Lagipula, aku hanya diberi dua mata kuliah saja, sama seperti semester-semester sebelumnya. Para senior mendominasi berbagai kelas yang ditawarkan di setiap semester, menjadi Pembina sekaligus pengeksploitasi para junior, lengkap dengan embel-embel; pengabdian. Sialnya, di hadapan para komandan, kadet-kadet ini selalu bersikap sempurna, hormat, seraya tegas mengatakan; ‘Yess, Sir! As a soldier, we must always ready to say, Yess, Sir!’   

“Kenapa kamu harus bertanya tentang nilaimu?” sebuah pertanyaan kulontarkan setelah dia bersikukuh mengambil Mata Kuliah Sebab Musabab Kejahatan yang kuampu.

“Ya, itu `kan hak saya untuk mengetahui nilai saya, Pak!” tutur bahasa yang coba dibuat intelek itu membuatku hampir mual.

“Selama kamu rajin masuk kuliah, tak perlu hadir di setiap tatap muka, lalu mengerjakan tugas dan berdiskusi di kelas atau bahkan mendebat saya dengan teori yang relevan, seharusnya tak perlu lagi kamu pertanyakan nilai itu.“ Aku hafal betul wajah-wajah yang kunikmati setiap detik proses belajar bersama satu semester ini tapi tidak untuk pemuda ini. Formasi kursi pun kubuat lingkaran besar, demikian caraku menatap wajah masa depan dan menggali dalamnya pikiran para mahasiswaku.

“Saya selalu masuk, kok! Tugas juga saya kerjakan tapi memang kalau di kelas, saya gak banyak bicara, saya tipe orang pendiam, Pak!” Ahh, ujung kalimat pengidentifikasian diri itu sangat bertolak belakang dengan mulutnya yang begitu ringan membuat pembelaan.

Baiklah, kubuka tas ranselku, kukeluarkan daftar hadir selama satu semester.

“Siapa namu tadi?” Dia menyebutkan dengan tegas namanya, terutama gelar kebangsawanan yang diberi penekanan saat penyebutan.

Mudah saja kutemukan nama dengan dua huruf di muka namanya itu. Kuperhatikan goresan tangan penanda kehadirannya, mataku juga mengincar beberapa nama tepat di atas namanya, tipe goresan dan warna pena itu selalu sama.

“Ya, disini kamu hadir di setiap tatap muka, bagus! Ehhm, Oke! Saya sudah tahu nama kamu, apa kamu tahu nama saya?” tatap mataku menjadi teroris bagi mangsa teror yang kutebarkan di depanku ini.

“Ehh…Anu…… Ahh, Bapak ini bercanda saja! Masak, saya gak tau nama bapak!” tangannya gemetar menggerayangi saku celana jeans gombrongnya, mencari pertolongan lewat Blackberry seharga jutaan rupiahnya yang semula sempat dia genggam.

“Gak perlu kamu sms kawanmu, sekedar menanyakan nama saya. Kamu selalu hadir di setiap tatap muka, bukan?” Aku menunggu, dia mengeluarkan jawaban terka, aku mengangguk setuju-mengiyakan, tapi tunggu dulu.
Kusodorkan selembar kertas kosong.

“Kamu, mau nilai apa? Tulis di kertas ini lalu kemudian tandatangani.” Senyumku kusuntikan sebagai placebo pengobatan depresi dalam dirinya, kukendorkan intensitas terorku.

“Wuaahh, terimakasih banyak, Pak! Serius nih, saya boleh tulis apa yang saya mau?! Asyyiikk, Bapak memang dosen favorit deh! Sama seperti dosen-dosen yang lain, bisa menentukan nilai sesuai keinginan mahasiswa. Ini baru ‘dosen gue banget’, dah! Besok, saya cari Bapak lagi, sekedar untuk memberikan ucapan terimakasih, Pak!” tipe pendiam macam apakah kau ini? Sedang bibirmu mampu mengucapkan deretan kalimat dengan lancarnya, hanya sepersekian detik!
Ahhh, rupanya bukan sekedar isapan jempol belaka, rumor tentang nilai yang diobral itu, bukan lagi menjadi ‘rahasia umu’ melainkan menjadi ‘pengetahuan umum’. Kupendam gelora yang menyundul-nyundul dada ringkih ini.

“Aku tengah berpuasa…Aku tengah berpuasa, ini hari!” berulang-ulang kuingatkan diri ini.

Senyum pemuda gaul ini terlihat begitu puas dan lega sekali. Kusalutkan keberaniannya menulis huruf ‘A’ pada lembar putih itu.

“Baik, urusan sudah selesai! Saya, acc permintaanmu ini.” Kugoreskan beberapa kalimat pada lembar yang sama.

“Sekarang, kamu bawa kertas ini ke Dosen Pembina Mata Kuliah Sebab Musabab Kejahatan, untuk dimintakan persetujuan dari beliau, lalu kamu ke bagian akademik agar nilaimu dimasukkan pada KHS kamu semester ini. Terimakasih telah berproses belajar bersama saya selama semester ini. Sukses!" kujabat erat tangannya, semula hendak dia cium punggung tanganku sebagai bentuk hormat layaknya mahasiswa lain terhadap para dosen. Aku menolak kebiasaan itu, cukup jabat tangan saja karena kita setara.

Ekspresi wajahnya begitu sumringah, sebongkah surga telah didapatkan dengan mengibuli dosennya. Itu beberapa detik sebelum dia melihat kembali kertas itu. Mari kuberitahu apa yang tertulis pada lembar putih, simulasi ruang persidangan kejujuran atas mentalitas mahasiswa karbitan itu. Baris pertama tertulis huruf ‘A’ kapital dengan ukuran font besar, bold pula. Di bawahnya tertulis nama mahasiswa itu, lengkap dengan dua huruf di awal nama, tanda penegas garis keturunannya, juga tertera goresan tandatangannya.

Masih penasaran? Kali ini, tulisan tanganku sendiri, masih pada lembar yang sama, sebagai tanda persetujuan keinginannnya. Tegas kububuhkan tanda tanganku lengkap dengan namaku, tanpa gelar akademik. Di bagian terbawah kertas itu, kutambahkan ‘Nb: baca baik-baik nama saya, jadi, bukan yang nama yang asal kamu sebut tadi. Berikut ini, saya beri contoh tanda tangan kamu yang biasa diwakilkan oleh kawan kamu di lembar absensi. Saya sarankan agar kamu mengulang di semester depan!’  aku tak mau peduli lagi dengan ekspresi wajah mahasiswa palsu yang bahkan tak tahu nama dosennya sendiri. 

Yaaa, Gie! Aku tidak akan mengeluh kali ini, telah kukepakan sayap kecilku, menjadi serupa burung walet yang terbang bebas, tak lagi menjadi sapi ternak kampus ini. Sekalipun aku tahu, nilai itu akan tetap berwujud ‘A’ pada lembar Kartu Hasil Studi mahasiswa itu dan mahasiswa lainnya yang telah mabuk dibuai candu, suguhan oknum marketing edukasi.

Maafkan, ketidakberdayaan hamba, Sultanku, namamu telah dicoreng oleh anak-keturunan yang lahir dari rahimmu sendiri.

Duhai, Sultan kami yang termasyur dalam lembar sejarah peradaban bertahta tinta emas. Gelar agungmu tercipta dari air kemurnian yang kau suling mensucikan tanah leluhur, jangan khawatir, masih ada percikan mata air tak terkontaminasi polusi racun kapitalisme, disini masih ada askar-askar setiamu, walau segelintir!
Indonesia masih ada harapan, Gie! Segelintir generasi muda ini adalah The happy selected few, sebagaimana telah kau ramalkan.

Aku melepas seluruh kancing kemeja kerjaku, sosok wajah Che dengan sorot mata elangnya meledakan semangat pemberontakan. Bergabung bersama segelintir mahasiswa, merdeka kuteriakan;
“GANYANG!…. GANYANG!!..... MAKELAR NILAI!!!!..... BONGKAR!!!... BONGKAR!!!..... PARA PLAGIATOR!!!!”




-Koelit Ketjil-
Dimulai dari perbatasan antara Ramadhan ke sembilan belas menuju Ramadhan ke dua puluh, sekiranya seribu empat ratus tiga puluh dua tahun paska Rasulullah hijrah

24 Agustus 2011 pukul 16:57

2 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!