Senin, September 08, 2008

Sepotong Sesuatu 2

(Ini adalah lanjutan SEPOTONG SESUATU 1, jd klo mau tau cerita secara runtut baca dulu SS 1, thx)
Jumat, 8 Juni 2007. 10.07 WIB. Lokasi; Ruang Bedah Mayat

Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sardjito siang ini penuh sesak, hari ini diluar sana memang matahari bersinar sangat terik tapi diruangan ini terasa seperti mendung menyelimuti sepanjang ruang tunggu IKF ini. Seorang Ibu paruh baya terlihat tidak kuat menahan emosi dan beberapa orang berkumpul di dekatnya mencoba menyadarkan Ibu itu, sementara seorang lelaki berumur sekitar enam puluh tahun terlihat menunduk di bangku dekat pintu, raut wajahnya sendu terlihat ekspresi seperti kehilangan besar pada wajah yang sudah terlihat garis kerut itu. Terasa berat langkah Raya menyusuri lorong melewati orang-orang ini, dalam hatinya menduga mereka adalah keluarga dari korban.


Yanto keluar dari balik pintu yang menghubungkan ruang tunggu dan ruang bagian dalam, memberi kode pada Raya untuk mengikutinya kedalam ruangan bedah mayat. Raya masih ragu untuk mengenakan pakaian khusus yang harus dikenankan dalam ruang bedah,
”Ayo Mas, cepat sedikit! Acara pemeriksaan bedah mayat sudah hampir dimulai,” Yanto masih bingung dengan keraguan Raya,
”Kenapa Mas? Takut?” Yanto mendekati Raya,
”Bukan itu Mas, aku gak berhak berada didalam sana,” Raya terduduk dengan pakaian berwarna hijau di tangannya.
”Loh, bagaimana toh, Mas Raya `kan anggota tim jadi berhak untuk masuk kedalam, ingat? Ayo tunggu apalagi,” Yanto sudah melihat keyakinan terpancar dari mata Raya.
”Bagaimana dengan pihak keluarga? Saya lihat tadi Bapak dan Ibu korban masih diluar sana,” Raya mulai menggunakan pakaian bedah itu.
”Sudah ada perwakilan dari keluarga, dua orang; paman dan kakak tertua korban.” Pengalaman baru kini dialami lagi oleh Raya, baru pertamakali inilah dia memasuki ruangan yang akan membedah bagian dalam tubuh manusia.


Sebuah meja khusus berada ditengah ruangan, disitu tergolek mayat korban yang tertutup kain berwarna putih, ujung kaki korban tersembul pada ibu jari kakinya tergantung label yang berisi nama, alamat, nomor seri, keterangan lainnya dan stempel bagian Kedokteran Forensik RSUP Sardjito. Ada beberapa orang dalam ruang bedah, meskipun semua orang diruangan ini menggunakan masker kain berwarna hijau tapi Raya dapat mengenali hampir sebagian dari mereka; tim penyidik, tim dokter kemarin sore, sebagian lainnya dia bisa menerka dua orang yang saling berpegangan itu pasti dari keluarga korban sementara dua orang lainnya dia tidak bisa mengenalinya.
Dokter Widjaja selaku ketua tim bedah mayat sejak pertama memang belum menutup wajahnya dengan masker, memulai pembicaraan, memberitahukan kepada semua yang hadir tentang tata tertib dan tujuan dari bedah mayat siang ini.
”Selamat siang semuanya, sebagaimana kita ketahui bahwa hari ini akan diadakan proses pemeriksaan lanjutan terhadap korban yang bernama: Bambang Susilo, usia; 25 tahun, alamat; Jl. Pandega Sakti Rt 120 Rw 889. Pogung-Jogjakarta, pekerjaan; mahasiswa,”
”Perlu diketahui bahwa pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan lanjutan dimana sebelumnya pihak tim forensik telah melakukan pemeriksaan awal dilokasi kejadian perkara setelah kami mendapatkan permohonan dari pihak Kepolisian dan berdasarkan peraturan KUHAP Pasal 134 bahwa sebelum diadakan pembedahan ini maka wajib dimintai ijin dari pihak keluarga terlebih dahulu. Pemeriksaan lanjutan ini dilakukan dengan maksud untuk keperluan Visum et Repertum yang berfungsi untuk dapat menemukan penyebab kematian, cara dan waktu kematian, dan yang terpenting adalah untuk menemukan apakah kematian ini berkaitan dengan tindak kriminal yang nantinya akan ditindaklanjuti oleh pihak Kepolisian. Apakah pihak keluarga telah berada dalam ruangan ini?” Dokter Widjaja menunggu jawaban, akhirnya jawaban dia dapati dari dua lengan yang terangkat keatas.


Dokter Widjaja meminta pihak keluarga untuk melihat kembali mayat korban dan barang-barang yang saat diketemukan berada dekat korban untuk memastikan bahwa korban adalah benar anggota keluarga mereka dan untuk mencegah adanya kesalahan identifikasi korban, setelah kedua orang itu merasa yakin kemudian dokter memberikan tawaran bagi siapapun yang merasa tidak sanggup mengikuti jalannya pemeriksaan untuk dapat meninggalkan ruangan bedah. Kedua orang pihak keluarga menarik lengan Erlang dan berbicara dengan nada terisak-isak tak kuat menahan tangis dan menyerahkan semua proses pembedahan kepada pihak dokter dan kepolisian. Raya semula juga hendak ikut keluar dari ruangan itu tapi Erlang mencengkram lengan Raya, sorot mata dan gelengan kepalanya meminta agar Raya tetap berada dalam ruangan.


Dokter Widjaja meminta agar Erlang bisa mendekat sementara yang tidak berkepentingan dapat duduk pada kursi yang telah disediakan lalu memberi kode agar lampu dimatikan. Pemeriksaan pertama dilakukan terhadap barang-barang milik korban dengan menggunakan alat penerangan ultra violet, asisten dokter melakukan pencatatan dan pendokumentasian lainnya. Bercak darah mengering terlihat pada kaos korban, dokter mengambil sebagian kecil dan meminta asistennya untuk memeriksa tiga sample darah yang diambil tadi untuk dapat dilakukan analisis darah. Beberapa helai rambut juga ditemukan dari kaos, dokter memisahkan masing-masing berdasarkan panjang dan warna rambut kemudian dimintai untuk dilakukan pemeriksaan.
Asisten mendekati Dokter Widjaja memberitahukan penemuannya terhadap dua sample rambut yang berbeda. Mikroskop membantu memperjelas keterbatasan kemampuan mata, dari balik lensa itu Dokter Widjaja meneliti dan meminta asisten mencatat ucapannya
”Oke, saya minta tolong hasil dari mikroskop ini ditampilkan pada monitor komputer. Oh ya, Dok coba kamu periksa lagi sample nomor 122 dan ambil satu helai rambut dari kepala korban menggunakan sisir, bandingkan lalu tampilkan pada komputer, agar kita bisa meneliti dengan jelas.” Dokter Widjaja berpindah dari meja mikroskop kehadapan layar monitor.


Monitor menampilkan citra dari mikroskop nomor satu yang berisi sample nomor 122 disebelah kiri dan sample rambut yang baru saja diambil dari sisir tadi, mikroskop diatur dengan pembesaran 100 kali, terlihat dengan jelas kesamaan karakter dari kedua sample rambut.
”Bisa kita lihat pada batang rambut hampir tidak ada perbedaan karakter dari kedua sample pada diameter, ketebalan kutikula, medulanya lebar dan bersambung karakter rambut seperti ini relatif identik dengan rambut ras mongoloid yang dimiliki orang asia pada umumnya. Saya harap kalian, para mahasiswa perhatikan juga dengan seksama karena ilmu ini tidak akan keluar dalam ruang kuliah.” Dokter Widjaja berputar dari layar monitor sementara para mahasiswa yang dituju menyimak dan mencatat.
”Sekarang coba tolong arahkan pada akar rambut dengan perbesaran 200 kali,” Dokter Widjaja memberikan instruksi tanpa memalingkan pandangannya dari layar monitor
”Sementara perbedaan bisa kita lihat dengan jelas pada akar rambut sample122 berwarna cukup cerah dan terlihat tanda-tanda rambut tercabut dengan paksa, coba bandingkan dengan sample rambut terbaru tadi, akar rambut berwarna hitam ini dikarenakan rambut berasal dari post mortem atau dari mayat.” Pena yang dilengkapi sinar merah mempertegas maksud dari pembicaraan Dokter Widjaja.


”Coba sekarang tampilan sample 125 dari mikroskop dua pada monitor dua. Pembesaran 100 kali sama seperti tadi, oke, bagus! Kita bisa lihat perbedaan karakter dari kedua sample ini, warna rambut kini berbeda bukan? sample rambut nomor 125, berwarna putih keabu-abuan akibat kehilangan pigmen, kemungkinan terbesar berasal dari seseorang dengan usia sekitar lima puluh sampai enam puluh tahun. Tolong diperbesar pada 200, nah! sebenarnya ada kesamaan karakter dalam sample 122 dan 125. Pada sample 122 akar rambut terkesan tercabut tidak secara alami tidak seperti layaknya disisir atau rontok, memang sample 125 terlihat tercabut secara alami tapi ada kesamaan dan kejanggalan lainnya dari putusnya rambut kedua rambut ini, coba perhatikan pada ujung rambutnya yang tertekuk dengan posisi delapan puluh derajat dan pada bagian pertengahannya batang rambut terlihat sedikit tertarik.” Sinar merah dari pena berputar-putar pada titik yang ditentukan dilayar monitor.
”Sample 122 dan sample 125 juga memiliki perbedaan mendasar, pada sampel 122 saya yakin berdasarkan teori, rambut ini berada dalam fase Anagen yang artinya rambut masih berada dalam fase pertumbuhan dimana follicelnya bisa mencapai 80 hingga 90 persen, sementara dari sample 125 follicel rambut telah matang dan sudah memasuki fase Telogen yang berarti masa istirahatnya pertumbuhan rambut, ini yang menyebabkan rambut mudah tercabut tanpa ada paksaan tapi pada ujung dan pertengahan batang rambut memberikan informasi lain.” Dokter Widjaja memberikan penjelasan lebih lanjut yang membuat decak kagum semua orang yang berada di ruangan itu.


Raya bergumam menyimpulkan hasil analisis Dokter Widjaja, ”Jadi ketiga sample rambut tersebut kemungkinan berasal dari dua orang yang berbeda, sample 122 dan rambut post mortem berasal dari orang yang sama sementara kemungkinan sample 125 berasal dari orang lain bisa jadi rambut pelaku yang menempel pada pakaian korban akibat perlawanan korban” Raya memperhatikan kembali pada mayat korban terutama pada bagian rambut, tidak ada rambut berwarna putih.
”Maaf Pak, kesimpulan itu adalah tugas anda sebagai Polisi, bukan tugas kami sebagai Dokter Forensik karena kami tidak diberikan wewenang menuliskan kesimpulan tersebut dalam laporan Visum et Repertum nanti.” Dokter Widjaja menegaskan kepada Raya, pendengaran dokter ini cukup tajam padahal Raya bergumam dengan suara yang hampir hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya.
Tidak terasa tiga jam telah berlalu, ini adalah kali keduanya Raya menggantikan ketiga orang petugas kepolisian untuk mendampingi disisi dokter pemeriksa yang masih kuat berdiri dan tenggelam dalam dunia kerja yang membuatnya melupakan segala lelah dan penat kerja. Raya semula serius menatap detail permukaan bahan denim dari celana korban yang tengah diteliti mencari sekecil apapun bukti yang dapat mendukung kasus, pandangannya sejenak berpindah menuju ketiga orang timnya yang terlihat sangat lelah, Yanto sedari tadi tertunduk menahan kantuk yang tak terelakan lagi sepanjangmalam dia melacak lokasi rumah keluarga korban dan membujuk agar dapat memberikan ijin pemeriksaan lanjutan terhadap mayat korban demi mencari pelaku pembunuh nak mereka. Hari masih memijat bahu dan kepala komandannya, mungkin disitulah letak beban terberat berkumpul mencipta asam laktat yang membuat otot menjadi kaku dan aliran darah seperti membeku. Dua orang lainnya, yang belum juga dia kenali, hanya mengamati dan mencatat semua yang mereka lihat, mungkin mereka mahasiswa kedokteran.


Atmosfer ruang bedah sejak awal memang terasa berat dan lambat, hampir tidak ada komunikasi informal dalam ruang itu hanya ada perintah dan instruksi dari Dokter Widjaja kepada asistennya mendominasi dalam ruang berukuran 10m kali10m yang beraroma alkohol dan formalin pekat.
”Siang ini rasanya kok jadi kepingin makan soto ya!” tiba-tiba suara dokter senior itu memecah keheningan suasana, membuat Raya terkaget menjatuhkan alat yang menjepit celana itu, Yanto sontak terbangun dari tidur singkatnya. Erlang perlahan mendekat dokter,
”Saya rasa kita perlu istirahat dulu, Dok” matanya memerah, tubuhnya terlihat letih
”ahh, anak muda! Tugas kita memang berat dan memang kita perlu istirahat, itu sebabnya saya ingin makan soto saat ini, mari kita semua istirahat” tidak terlihat rasa letih pada dokter yang sudah melewati usia setengah abad ini.
Raya tertunduk dengan gelas air mineral ditangan, bersandar pada kursi panjang sebelah dispenser, badannya terasa lelah bukan karena lama berdiri dalam ruangan bedah itu, pikiran dan emosinya yang memaksa dia harus menarik napas panjang, pikirannya dibawa menuju satu titik lain pengalihan emosi yang terus mengganggunya selama melihat mayat korban yang terus menerus membawanya kepada suatu masa bersama sahabat akrabnya, Genta. Pintu dari ruang bedah terbuka, seorang mahasiswi kedokteran mengambil gelas yang sama dan mengisi penuh air mineral.
”Loh jadi yang didalam tadi itu Mas Raya toh!” mahasiswi muda itu berdiri dihadapan Raya, keduanya masih tertegun.

***

13.55 WIB. Kantin dilingkungan RSUP Sardjito

”Kok makan siangnya gak dihabiskan Mas?” suara lembut perempuan itu memecah lamunan singkat Raya, suasana kantin tidak begitu ramai. Erlang dan timnya harus meninggalkan RSUP Sardjito karena ada beberapa tugas penting dan mempercayakan sepenuhnya pada Raya proses berikutnya.
”Kenapa Mas, gak terbiasa ya lihat mayat?” bibir tipis itu menuguk perlahan gelas berisi lemon tea dingin
”Bukan karena itu Non, aku cuma kurang tidur aja, kalau soal urusan mayat sih aku dah terbiasa, jelek-jelek gini takmir masjid loh jadi harus siap memandikan mayat, mengangkat mayat, gali kuburnya bahkan siap juga jadi mayat,” senyumnya dipaksakan sebagai bentuk pengalihan pikirannya yang masih juga mengganggu.


”Ah, bisa aja Mas ini, mana ada takmir masjid gondrong kayak penyanyi metal gini, By The Way, aku masih heran koq Mas Raya bisa ada didalam ruang bedah tadi? Memangnya ada hubungan apa dengan korban?” Nadhien, mahasiswa semester akhir Fakultas Kedokteran ini cukup lama dikenalnya ketika Raya membantu proses tugas penelitian Nadhien.
”Eh.. anu Non, itu aduh gimana ya jelasinnya, ceritanya panjang sih,” Raya cuma garuk-garuk kepala mencari alasan keberadaannya di ruang bedah tadi
”Seberapa panjang? Aku siap kok mendengarkan seperti biasanya mendengarkan `kuliah` gender dari Mas Raya, kan gak pernah pendek tuh kalau Mas Raya membicarakan gender.” Nadhien tersenyum manis sementara Raya masih meringis mencari-cari alasan tepat, Nadhien memang kawan berdiskusi Raya yang cukup bersabar dan tipe pendengar yang baik selama menghabiskan hari berdiskusi tentang apapun ditempat-tempat yang biasa mereka datangi, dibawah pohon rindang ditemani es lemon tea dan gangguan si kecil Bayu, anak pemilik angkringan.

Penelitian skripsi!” akhirnya Raya menemukan alasan keberadaannya pada ruang bedah tadi memaksakan diri dengan senyum ragu
”Oh ya! Kok bisa sih penelitian skripsinya sampai masuk-masuk ruang bedah mayat?” Nadhien tidak menangkap unsur kebohongan dari alasan Raya, hanya penasaran lebih dominan sehingga dia menanyakan hal itu kepada Raya.
”I..iya..Non... skripsiku kan tentang Peranan Kedokteran Forensik bagi Pembuktian Tindak Pidana, jadi ya... aku pasti akan berhubungan dengan ruang bedah mayat karena aku ingin mengetahui proses sebelum pembuatan Surat Visum et Repertum.” adanya sedikit kesamaan kenyataan membuat Raya tidak ragu lagi untuk berbohong pada Nadhien
”Oo... jadi skripsi yang kamu bilang `rahasia` dari dulu itu tentang forensik toh”, Raya merasa lega karena tidak terlihat rasa curiga dalam ekspresi Nadhien
”Nah, kamu sendiri ada di ruang bedah tadi ngapain?” Raya tidak ingin kebohongannya ini jadi terbongkar, saatnya Raya mengalihkan perhatian dengan berganti bertanya.
”Aku ini mahasiswa kedokteran Mas jadi pastinya lebih sering kesini dong, kalau tadi itu dalam rangka praktikum Pathology Forensic tapi aku baru tahap observasi jadi cuma bisa memperhatikan dan mencatat, berarti kita akan sering ketemu di ruang bedah Mas!, soalnya kemarin dari Komisi Pemeriksa Bedah Mayat RSUP Sardjito kasih ijin aku dan temanku untuk menjadi mahasiswa observasi selama proses otopsi mayat itu.” Nadhien menjadi lebih ceria setelah menjelaskan tadi, sementara Raya menjadi lebih khawatir jika statusnya terbongkar; status sebagai `anggota tim penyidik gadungan` dan status barunya yang dibuat untuk menghadapi pertanyaan Nadhien tadi, sebagai `mahasiswa penelitian gadungan juga`.


”Menurut Mas Raya, bagaimana kinerja Dokter Widjaja selama dalam ruang bedah tadi?” Nadhien membuka pembicaraan lagi
”Aku yakin Dokter Widjaja orang yang sangat profesional, berpengalaman dan tidak merasa sombong dengan kemampuannya, ya, memang sih aku baru dua kali ketemu beliau tapi kesan dan karakternya cukup kuat dan ramah,” Raya mulai tenang kembali karena Nadhien tidak menyinggung keberadaan dirinya
”Betul Mas, beliau memang salah satu dosen favoritku dan mahasiswa lainnya, metode kuliahnya beda dengan dosen lainnya yang kaku dan merasa lebih pintar, seolah-olah cuma mereka saja yang kuliah kedokteran tinggi. Dokter Widjaja selalu menerapkan metode diskusi yang egaliter jadi kami belajar tidak terbebani sama sekali. Keren oom satu itu!” Nadhien bersemangat menceritakan dosen favoritnya
”Eh, tadi kamu bilang `oom`, memangnya dikampus beliau disebut `oom` oleh mahasiswa lainnya? Kayaknya lebih cocok disebut `Eyang` deh!” ciri khas Raya mulai terlihat jika percakapan sudah mulai cair dan mengalir
”Iihh.. masak sih dosen dipanggil `Eyang` gak sopan, becanda terus Mas Raya ini” Nadhien sudah siap dengan jurus cubitan yang biasa digunakan jika Raya sudah mulai berbicara sembarangan.
”Mas Raya bisa kok main langsung ke rumah Dokter Widjaja kalau mau secara khusus dan intensif perlu bimbingan penelitian dari beliau. Aku tahu alamat rumahnya, nanti aku anterin deh ke rumahnya, itung-itung balas budi dan bayar hutang ku karena dibantuin Mas Raya dulu itu,” Nadhien teringat kembali proses penelitiannya yang banyak tertolong oleh Raya.
”Oh ya, kamu tahu alamatnya. Wah asik tuh! Bisa kapan-kapan kita bareng ke rumahnya. Daerah mana sih rumahnya?” Raya menunggu jawaban dari Nadhien yang tengah sibuk mencari sesuatu dalam tas hitamnya.
”Alamat tepatnya di Perumahan Timoho Permai, timur Stadion Mandalakrida dekat angkringan si Mbok, jadi sebelum atau sesudah dari sana kita bisa nengokin Bayu. Tuh kan jadi kangen dengan Bayu dan Mbok nih! Mas Raya masih sering kesana?” Nadhien sudah terbayang pada keluguan Bayu dan racikan lemon tea dingin buatan Mbok
”Ya kadang-kadang masih kesana. Seberapa sering kamu berkunjung ke rumah Dokter Widjaja dalam rangka praktikum dan kuliahmu?” Raya menenggak es teh dari gelasnya
”Sering banget Mas seminggu bisa sampai lima kali dan gak cuma untuk urusan kuliah aja. Aku jaga dibagian pendaftaran klinik prakteknya Dokter Widjaja, selain dosen dan dokter praktek, beliau juga oom ku, tepatnya adik kandung Ayahku.” Nadhien tersenyum manis sementara Raya menyemburkan es teh dimulutnya kebawah meja.


”Loh kenapa Mas? makanya kalau minum pelan-pelan” Nadhien tertawa terkikik, Raya tidak pernah menduga jalan hidupnya akan serumit ini, begitu banyak garis-garis hidup yang berpotongan dan bertemu pada titik yang sama.
Asisten Dokter Widjaja mendatangi Raya dan Nadhine memberitahukan bahwa pembedahan mayat ditunda sampai besok pagi karena ada operasi mendadak yang harus dilakukan di ruang UGD. Nadhien terlihat sedikit kecewa, berbeda dengan Raya yang begitu lega mendengar kabar baik ini.


”Kalau begitu kita bisa ke angkringan Mbok nih Mas!” Nadhien memberikan penawaran kepada Raya, belum sempat Raya berkelit mencari alasan, handphonenya berbunyi.
”Saya tadi ditelpon Dokter Widjaja, pembedahan ditunda sampai besok pagi, kalau kamu tidak ada acara kamu bisa langsung ke kantor untuk menganalisis foto dari TKP, bagaimana bisa?” suara Erlang dari handphone itu menjadi dewa penolong bagi Raya, setidaknya dia bisa berpikir lagi mencari alasan untuk melindungi statusnya agar tetap aman dihadapan pihak RSUP Sardjito dan Nadhien. Raya menyanggupi permintaan Erlang, menutup telpon.
”Maaf banget Non, aku ada urusan yang gak bisa ditunda lagi nih. Besok kita ketemu lagi disini. Oh ya salam aja untuk Mbok dan Bayu ya,” Raya memohon ijin undur diri sementara terlihat lagi raut muka Nadhien terkesan lebih kecewa. Harapan untuk menikmati pergantian hari sore ini jadi batal, obrolan bersama Raya saat ini hanya bisa dia putar ulang dalam memori biologisnya saat pertemuan pertamanya dengan Raya.

****


Pertemuan pertama; Lemon tea dan Lembayung sore
Selasa, 22 Mei 2007. 14.48 WIB. Lokasi; Seputaran Mandalakrida

Sedari siang tadi pandang Bayu tak lepas dari gerak-gerik bibir lembut itu, warnanya merah muda, sedikit berkilat basah penuh gairah, kedua pipinya warna cerah segarnya tampak sehat dan kencang, tapi pernah sekali waktu dia membalas cubit setelah pipi mungilnya dengan gemas dicubit lawan cubitnya ini, baru dia ketahui ternyata begitu empuk dan menggemaskan.


Bayu hanya dapat tersenyum jika pandangnya bergeser sedikit kearah dimana bibir itu menempel kokoh pada ujung-ujungnya, sudah pasti perona pipinya bukan produk kosmetika murahan, terbukti tangannya tidak terkontaminasi warna segar perona pipinya, saat itu jari-jari kecilnya basah setelah meludeskan es lilin, tiba-tiba saja nona muda teman ceritanya ini datang sebelum memesan es lemon tea pesanan wajibnya sebagai penawar kering tenggorokan akibat terik matahari Jogja, dia menyergap Bayu dari belakang sambil menarik-narik pipi tembemnya, sampai nyaris terkoyak!. Bayu mengejar nona muda manis itu tuk membalas serangan tiba-tibanya, bagaimana dia tidak kesal, es lilin kedua yang dia jilati tuk mendapat kenikmatannya ini baru separuh saja perjuangan penghabisannya, ehh, sudah takluk oleh hukum gravitasi, lantas jutaan debu seolah tersedot medan magnet, cepat menempel.


Si Mbok cuma tersenyum tipis-tipis, melihat tingkah keduanya, baru satu minggu saja mereka sudah begitu akrab, tanpa sadar memutar ulang keping memori biologisnya. Marni, putri sulungnya, mungkin bisa kuliah juga bila seumur nona muda itu kelak, jika saja saat itu Marni patuh mendengarkan kata-kata Si Mbok untuk menunda pergi ke pasar malam.


Satu bulan sebelum itu. Rabu, 25 April 2007. Lokasi; RSUP Sarjidto


Hampir dua puluh kilo lebih dari bagian selatan kota Jogja, jarak rumah menuju keramaian Sekaten di alun-alun utara, sore itu Marni sedikit terpaksa pamit pada Si Mbok sudah hampir magrib tapi karena kawan sepermainannya sudah berteriak dibawah pohon jengkol pertigaan rumah Pak Jiwo.
Ahh, tak kuat lagi rasanya dia melihat sesuatu berwarna kuning, shock hebat dan badannya bergetar tremor tak kunjung henti ketika Si Mbok disuguhi plastik besar berwarna kuning itu. Sebelumnya ada tiga pertanda yang ditepis jauh-jauh, karena takut akan gambaran kenyataan, dari gelas belimbing yang tiba-tiba lepas dari tangannya, tidak pecah memang, benturan pada tanah merah kering sebagai lantai dapur tidak terlalu keras, tapi begitu dia ambil kembali dan diletakkan dimeja, baru sedetik, gelas itu akhirnya pecah. Belum lagi suara burung misterius yang cukup lama Si Mbok lawan dengan mendendangkan lagu-lagu jawa, cerita Mbah Putri masih melekat dalam benaknya mengenai burung ini, jangankan melihat wujudnya, mendengar suaranya pun anak-anak dikampung ini tidak berani.


Pertanda ketiga yang lebih tak masuk akal bagi Si Mbok, dia hanya bisa geleng-geleng kepala, bagaimana bisa celana dalam yang semula berada di tali jemuran kini hangus terbakar api dalam anglo, padahal celana dalam ini belum sempat dia kenakan, siang tadi Marni langsung mencucinya setelah berterimakasih pada pamannya yang memberikan tiga lembar celana dalam dan dua mini set tuk tutupi ciri-ciri pubertasnya.


Kuning, lagi-lagi warna kuning, tapi celana dalam itu tidak lagi berwarna kuning, melainkan gosong. Kini seonggok plastik kuning besar dihadapannya ini, mencipta getar hebat sekujur tubuhnya. Perlahan resleting plastik kuning itu ditarik turun kebawah, yang pertama terlihat pada pandang Si Mbok, juntai rambut panjang dan kotor terkena campuran air dan tanah, sebelumnya rambut itu hitam berkilau tanpa pengaruh zat kimia, minyak kemiri dan sangang biji pepaya yang mencipta kilau itu, kini berurai berantakan tanpa pita rambut kuning yang biasa digunakan. Kuning memang warna favorit Marni, tapi pita favorit itu entah dimana sekarang. Dahi lapang itu dia kenali sekaligus dia banggakan karena menurut dukun beranak dan tetangganya suatu saat anak yang baru keluar dari rahimnya itu menjadi anak yang cerdas sebab dia memiliki dahi lapang, kini kotor terkena noda darah kering, luka sepanjang lima centi masih mengangga dengan darah kental menggelayut dari asal sobekan. Turun pada garis alis tebal itu, Si Mbok tak tahan lagi, pasrah oleh gravitasi yang menarik paksa tubuh lunglainya, tergeletak lemas pada lantai putih keramik Laboratorium Forensik RS Sardjito, Marni menjadi korban perkosaan tiga pemuda mabuk saat dia dan dua kawannya hendak mencari ojek sepulang dari Sekaten.


***


“Astaghfirullahhh!!” Si Mbok tersadar dari lamunan singkatnya namun panjang kepedihannya akibat masa lalu kelam yang hanya tersimpan dalam dadanya. Pisang goreng yang sedianya tersaji panas berwarna kuning, kini jadi cokelat bahkan hitam lebih dominan. Kuning lagi, kuning lagi. Bayu dan Nadhien masih bersenda gurau.


“Ampun, Yu!!...iya..iya nanti mbak ganti dengan es krim conello tapi Bayu lepasin dulu cubitannya, sakit tau gak!” rengekan nona muda ini belum dapat menyakinkan Bayu tuk segera melepaskan jemarinya itu dari pipi lembutnya.
“Gak mau!, pokoknya mbak harus ganti dengan es yang sama!!, Bayu gak doyan ama konelo!” hehehe, dia gak tahu kali, conello tuh lebih enak dan lebih mahal, nona muda ini cuma berbisik dalam hatinya, sambil menahan sakit di pipinya ada rasa lega juga artinya dia hanya keluar duit beberapa ratus rupiah saja, tuk hentikan penderitaannya.


Tangan lengket Bayu baru dapat lepas dari pipinya setelah melalui masa negosiasi yang lumayan alot, telah disepakati nantinya nona muda ini harus membawa dua batang es lilin sebagai upeti setiap kali dia datang ke angkringan Si Mbok, padahal satu hari saja dia tidak merasakan es lemon tea racikan Si Mbok sambil ditemani sepoi angin dan lindungan pohon rindang di angkringan Si mbok, serasa tidak lengkap hidupnya dalam melewati putaran bumi pada porosnya setiap hari. Berarti, dia harus menyisihkan lima belas ribu rupiah perbulannya hanya tuk membayar upeti berupa dua batang es lilin seharga lima ratus rupiah, Bayu bisa saja kelak menjadi juru runding yang handal jika baru seusianya kini, ingus saja masih deras mengalir dari hidungnya, dia sudah dapat mengalahkan mahasiswi dalam proses negosiasi es lilin.


Kali ini Bayu terpuaskan dengan cerita tentang sebuah taman, nona muda ini memulai ceritanya, ketika setengah tahun lalu dia sekeluarga bertamasya dengan fasilitas dari instansi ayahnya bekerja, Paris bukanlah tujuan yang berlebih mahalnya bagi perusahaan besar sekelas Freeport, terlebih ayahnya sudah lima belas tahun menjadi pilot helicopter bagi perusahaan besar itu.
Ringan saja bibirnya terus mendendangkan cerita tentang teduhnya taman Tuileries dengan pohon-pohon rindang yang berdekatan dengan musium Louvre, semakin cerah wajahnya kala menggambarkan dalam taman itu, disana-sini terdapat petak berwarna cerah dari kelopak bunga-bunga yang harumnya mencapai titik terharum kala sore hari seperti ini, jika ada beberapa ekor tupai berlari kedalam kumpulan tangkai bunga-bunga maka beterbanganlah burung-burung yang tengah mencucuki bebijian dari balik sana, belum lagi segarnya air sungai Seine yang membelah kota paris membuat jernih pikiran setiap orang yang memilih Tuileries tuk melepas penat, hampir terasa seolah membasuh wajah Bayu yang belepotan sisa es lilin.


Bayu dan bibir itu telah akrab selama beberapa hari ini, tak pernah sekalipun ada kata-kata yang membuat dirinya bosan. Jika sepanjang siang hingga menjelang sore, Bayu dibuai oleh kata-kata padat makna berasal dari bibir nona muda, maka malam menjelang tidurnya, Si Mbok menjadi kawan tidurnya, cerita-cerita rakyat hampir setiap malam dia siram kearah Bayu agar raganya menjadi lelah dan tertidur lelap. Bayu pernah protes pada Si Mbok untuk tidak mengulang cerita yang sama, herannya Bayu pasti hapal cerita dua bulan lalu yang temani tidurnya, giliran Si Mbok yang harus putar otak tuk menggubah cerita itu, pastinya tanpa seijin si empunya cerita maupun percetakan, lagi pula cerita ini milik semua anak yang kaya akan imajinasi.


****


Rabu, 23 Mei 2008. 14.35 WIB. Angkringan Si Mbok


Nadhien, nama nona muda kawan berceritanya ini, baru kali itu Bayu mengetahui namanya. Seorang lelaki separuh baya, Tuan mungkin lebih tepat jika dia tidak salah mendengarkan dari ucapan Si Mbok, ketika sebuah mobil bagus berwarna hitam berkilap dengan logo macan kecil dari metal berhenti tepat di angkringan Si Mbok. Saat itu dirinya dibawah rindang pohon mahoni memunguti bijinya yang pecah dan mencipta mainan tuk Bayu siang itu.


“Permisi Bu, numpang tanya, Non Nadhien katanya biasa main kesini, apa betul Bu?” seorang supir turun dari mobil hitam itu sopan bertanya pada si Mbok setelah melapas kaca mata coklatnya.
“Siapa ya Pak?, maaf nggih Pak yang main disini sekedar minum es teh ndak cuma satu-dua orang,” Si Mbok merasa simpati terhadap kesopanan supir itu, dengan jelas supir itu memberikan gambaran khas orang yang dia cari, bahwa tinggi sekitar 167 senti, berkulit putih, rambut biasanya diikat ekor kuda panjang sebahu berwarna hitam berkilau dan lain-lain sampai-sampai jam tangan dia sebutkan hingga tiga merek dan model berbeda.Si Mbok sudah mengenali dari ciri-ciri awal yang dia sebut awal.


“Gimana Din, ada yang kenal Nadhien disini?” sesosok muncul dari kaca hitam, kemudian keluar dari mobil mewah itu, Si Mbok merasakan hawa yang jarang dia rasakan ketika pintu mobil terbuka dan menyebarkan sejuk AC dari dalam mobil itu. Semula Si Mbok menerka sosok di balik mobil ini pasti dibalut dengan pakaian necis dan bersepatu kulit mahal terawat dengan poles semir mahal pula, ternyata sosok dihadapannya jauh dari gambarannya. Berkaus oblong, celana pendek bahan khaki setinggi lutut, sendal selop kulit dan rambut putih panjang terikat karet berwarna hitam, sementara sang supir berbaju seperti anggota DPR.Tuan menolak sikap supirnya ketika hendak melap kursi angkringan dengan setangannya,
“Es tehnya satu ya Bu, oh tolong diberi sepotong jeruk dan esnya jangan terlalu banyak, maklum lah Bu, gigi ini sudah tidak kuat lagi nahan ngilu tapi cuaca seperti ini akan lebih segar kalo minum es teh,” ringan saja ucap dan tindakannya, baru Si Mbok yakin Tuan yang dihadapannya ini pasti kerabat dekat nona muda itu.


“Nyuwun sewu Tuan, apa benar Tuan ini Ayahanda nona muda siapa tadi namanya Tuan?” rasa ingin tahu Si Mbok mengalahkan keraguan dirinya sendiri.
“Ah, jangan panggil Tuan gitu Bu...memangnya sekarang masih jaman feodal apa! Ada Tuan ada budak. Yaa betul, saya bapaknya Nadhien. Kemarin lusa Pak Udin ini lewat sekitar sini, katanya dia seperti melihat Nadhien disini, kebetulan juga siang ini saya lewat sini, ehh ada untungnya juga mampir kesini,” suaranya rendah tidak menghilangkan aura wibawa sosoknya walau duduk di bangku kayu hampir reyot milik Si Mbok.
“Beruntung Tuan? maksud Tuan beruntung bagaimana, Tuan?” si penanya bingung dengan maksud itu,
“Aduh, Ibu ini sudah dibilang jangan panggil Tuan, ehmm begini saja cukup panggil saya Bowo, toh kita ini sebaya,” maksud Tuan ini hendak menghilangkan sekat status sosial mulai dari sebutan atau gelar, Si Mbok senyum menunduk injih.
”Ya beruntung toh Bu, untungnya ya saya bisa ngicipin minum segar Ibu, haha, pantas saja Nadhien mau minum disini racikan teh kentalnya, gula pasir, kecut segar jeruk peresnya dan es dingin, semuanya pas Bu, hahaa” berderailah tawa lepasnya, sementara dua mahluk dari kelas ekonomi manut-manut saja seperti Si Mbok dan supir hanya senyum-senyum canggung.


Komunikasi terjalin antara derai tawa lepas dengan senyum canggung, hingga tak terasa Tuan itu sudah dua jam berada disana, Bayu pun tak luput jadi kawan ngobrol Tuan itu, dari nama, umur, kesukaan sampai cita-cita bocah cilik ini dikorek. Ada rasa bangga dari Tuan besar ini ketika Bayu tanpa ragu menyebutkan cita-citanya, bahwa dia ingin menjadi wartawan agar kelak dia menjadi pengganti sumber cerita, tidak hanya nona muda yang menceritakan apa yang dia liat, Bayu pun ingin melihat bagian lain dari dunia ini, Tuan besar jadi terpikir bagaimana metode putri kesayangannya memberikan cerita-cerita kepada bocah cilik ini sampai-sampai terasa sekali pancar semangat meraih cita-cita dari bola mata beningnya.


“Tole, Kamu pernah lihat pesawat terbang?” jawaban cepat hanya dengan anggukan kepala, sementara Si Mbok mengajarkan sopan santun pada Bayu untuk menyautnya dengan “Injih Tuan,” pertanyaan kedua Bayu menjawab dengan tegas dan binar mata yang terang,
“Injih Tuan, Bayu mau sekali kalau diajak numpak montor mabur!” dalam pangkuan Tuan besar itu Bayu tak ragu menjawab ajakan utnuk terbang dengan pesawt terbang, “memang kamu wani po le? ndak takut atau mabuk nanti?” tidak menjadi kendor semangat jawaban Bayu walau sang pilot memberikan gambaran ketinggian, angin besar belum lagi jika turun hujan.


Janji itu akan Bayu pegang dan ingat terus, matanya masih tertuju pada mobil hitam kawan barunya, sampai di ujung pertigaan jalan antara SMK PIRI dan Wisma PSIM mobil mewah itu mengambil arah kekiri melintas jalan Tunjung dan tembus kearah jembatan layang depan bioskop Mataram. Bayu dengan semangatnya menceritakan kembali janji Tuan yang baik hati itu kepada Si Mboknya, lagi-lagi Si Mbok hanya senyum tipis sambil mengingatkan untuk berdoa pada Maha Kuasa agar terkabul, Bayu menatap kearah gerombolan awan tebal sore itu, keyakinannya, disanalah Sang Maha Kuasa tinggal.


Berselang lima menit kepergian mobil mewah itu kemudian datang nona muda yang di nanti Bayu sedari siang tadi, jarang sekali dia telat mampir di angkringan Si Mbok, kalaupun harus telat atau tidak datang pasti sebelumnya dia sudah mohon pamit pada Si Mbok sehari sebelumnya. Si Mbok merasakan suasana akrab pada sosok muda dan cekatan ini, bahkan lebih dari itu, terlebih ketika Nona muda pernah meminta perempuan paruh baya ini tuk jadi Si Mbok bagi dirinya juga, bukan hanya menjadi Si Mbok bagi Bayu.

“Mbak Nadhien, besok nanti aku bakal diajak numpak montor mabur!”, belum juga helm bersandar pada kaca spion sepeda motor bebek, Bayu sudah menabrak dan memeluk kaki putih terawat milik kawannya ini, bukan sekedar kawan, melainkan sudah menjadi Mbak Yu bagi Bayu. Kerut di dahinya timbul beberapa garis halus, sejak kapan bocah cilik ini tahu namanya? karena selama ini Bayu hanya menyebut dirinya dengan panggilan Mbak atau Mbak jelek. Bayu membisiki Nadhien.
“Oh, ya!! Ayah mbak tadi kesini?! Ahh, yang benar nih Bayu jangan boong ya!, masak sih Bayu tau Ayahnya Mbak, apa benar Mbok tadi Ayah saya kemari?!” hampir tidak percaya Nadhien merasakan kehadiran Ayahnya tercinta singgah di angkringan Si Mbok.


“Ya, terbang itu enak Yu, kamu bisa lihat awan, ada juga burung yang terbang di sebelah kita dan rumah Bayu nanti cuma segede ini” ujung jari kelingkingnya memberikan gambaran dari keingin tahuan Bayu akan sensasi terbang. Sudah cukup terasa hampir nyata apapun yang dijelaskan oleh Nadhien, tapi untuk yang satu ini Bayu ingin mewujudkan perasaan itu tidak hanya dalam angan. Membelai awan, memberi tambahan warna khas sore dan melambaikan tangan pada Si Mbok, dari sana, jauh diatas sana, dekat singgasana Sang Maha Kuasa, sekedar mengucap “Matur nuwun Gusti Allah,” dan Bayu pun terus melambung membelai awan menyapa unggas pulang sore.


****

Kamis, 24 Mei 2007. 21.12 WIB. Kos Nadhien

Malam itu cukup dingin membuat manusia lelap dalam tidurnya, Nadhien belum juga tertidur. Deru mesin kereta api yang melintas jauh dari kos Nadhien memecah keheningan malam, anginnya menyentuh dedaunan dan rumput kering, sekedar menyapu debu coklat pada lembar-lembar hijau, sudah hampir satu bulan tidak ada turun hujan. Sisa kelelahan sepanjang hari tadi terhapus air wudhu, masih bergerak lambat didahi putih itu, gemercik air segar menyapunya turun hingga mengalir pada selokan. Air putih satu gelas habis diminumnya. Selepas shalat Isya, mini tape recorder diputar ulang, jemari lentiknya menari pada tombol-tombol notesbooknya.


Wawancara siang hingga sore tadi dengan seorang aktivis perempuan membuat dirinya sejenak tersenyum, tapi tiba-tiba dalam pikirnya terlintas beberapa kali dua sosok yang begitu besar memberi semangat bagi Nadhien; Si Mbok dan si kecil Bayu. Sekali lagi tombol bertuliskan Rwd ditekannya lalu tombol Play ditekan. “Para tokoh Antropologi feminis selalu menyatakan bahwa dengan mempelajari bagaimana perempuan mempolakan pemahaman, maka kita bisa memahami bagaimana arti pentingnya masyarakat memberikan kategori dan kode-kode tersebut.” Masih lekat dalam ingatan ekspresi raut wajah aktivis ini yang menandakan perlawan atas kontruksi sosial yang ada masyarakat negara yang tanggung berkembang bernama Indonesia ini, atas perlakuan yang dianggapnya sangat merugikan kaum perempuan.



Beberapa jam sebelum Nadhien menuju peraduannya. Lokasi; Lek Man

Ingatan Nadhien ikut terputar pada diskusi suatu sore itu.
“Kontruksi sosial yang ada selama ini hanya memberikan ruang gerak aktivitas perempuan hanya diseputar pengolahan tanah, mengangkut air, mencari kayu bakar atau sekedar antri minyak tanah yang langka itu.” Intonasi vokalnya menjadi semakin tinggi,
“Belum lagi itu semua harus dilakukan sambil menggendong anak dipunggungnya, ya saya sepakat, memang ada batas kodrat yang tidak bisa dipungkiri oleh bagi perempuan seperti melahirkan anak misalnya, tetapi itu bukan berarti dalam ranah-ranah yang lain perempuan menjadi lapis kedua, bahkan ketiga.” Asap rokok menyebul tipis dari bibirnya, yang sudah berwarna coklat, perempuan satu ini tidak ingin menjadi korban rayuan kapitalis yang menggiring opini publik, bahwa perempuan cantik adalah berbadan tinggi kurus, putih, wajah merona merah muda segar dan bibir yang senantiasa terpoles lilin lip stick atau lip gloss. Hanya perempuan bodoh, menurutnya yang rela mengorbankan apapun untuk menjadi seperti artis yang menjadi brand image dari produk kapitalis.

“Saya yakini dalam banyak masyarakat kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam wilayah aktifitas lain telah banyak dibatasi oleh tabu dan mitos, sementara masyarakat kita justru lebih percaya hal tersebut, bahkan agama pun bisa dikesampingkan, begitu hebatnya kekuatan mitos!” kopi hitam baru saja membasahi bibirnya sore itu sisi utara Stasiun Tugu belum begitu ramai oleh pecandu teh nasgitel atau kopi joss, Lek Man.
“Coba kamu lihat nanti sekitar agak malam, diseberang sana,” tangannya menunjuk kearah selatan stasiun,
“Disana perempuan-perempuan menjadi korban berlapis-lapis, sudah harus memikirkan kondisi keuangan keluarga, harus siap dianiaya pelanggannya yang kebetulan mashokis sadisme belum lagi bayang-bayang `hantu` siffilis atau GO, buah simalakama bagi mereka, jika pakai kondom, pelanggan kabur, tidak pakai kondom ya, siap-siap saja tertular PMS.’ Aktivis perempuan itu semakin berapi-api sementara Nadhien hanya manggut-manggut saja.

“maaf Mbak bukannya gak sopan nih, mbak sudah punya pacar atau mungkin pernah punya pacar?” seorang pemuda berambut gondrong tanpa ragu menanyakan hal itu pada Nadhien.
“Eh, apa maksud kamu nih?” aktivis perempuan ini melirik curiga atas pertanyaan spekulatif kawannya ini.
“Kenapa Mas tanya begitu?” Nadhien merasakan pertanyaan pemuda gondrong itu bukan merupakan pertanyaan cowok-cowok iseng.
“Loh, kalian ini kan belum kenalan, kenalan dulu baru ngobrol! Lagian kamu juga main srobot aja.”
“Maaf kenalkan namaku Raya, aku kawan lama Galuh si perempuan perkasa ini,” tangan kanannya siap menyambut tangan Nadhien.
“Saya Nadhien” senyum tipis manis.
“Oya Mas, jelasin dulu pertanyaan Mas tadi baru saya jawab nanti” Nadhien masih penasaran.
“Ini masih ada kaitannya dengan tema diskusi kita sore ini, jangan salah loh dalam pergaulan romantis atau bahasa gaulnya `pacaran` tidak jarang mitos dan pelecehan seksual sering terjadi bahkan dikalangan mahasiswa yang katanya berpendidikan tinggi!” Raya membuka celah jalan diskusi semakin lebar.
“Masak sih Mas? Gimana tuh? Maksudku contoh kasusnya seperti apa?” semakin terlihat rasa penasaran Nadhien.
“Nah sekarang waktunya Mbak Nadhien jawab pertanyaan pertama saya dulu” tangannya sudah siap memegang gelas berisi teh panas.
“Ah Mas ini bisa aja, kirain dah lupa!”
“Ini sekedar untuk mendapatkan informasi valid dari narasumber langsung, sama seperti tujuan penelitian Mbak Nadhien mendatangi LSM kami, hehehe, becanda kok Mbak, lumayan banyak loh kasus kekerasan dalam pacaran, hal ini diawali dari kurangnya pemahaman gender dari masing-masing pasangan, lebih banyak kasus dengan perempuan sebagai korbannya tapi juga tidak menutup kemungkinan laki-laki juga menjadi korban, ingat pemahaman gender bukan berarti harus selalu memperjuangkan perempuan apapun kondisinya, jangan sampai terjebak, perjuangan gender kan berarti persamaan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, ya toh!” penekanan kalimat terakhir Raya menuju pada Galuh, sementara Nadhien hanya mengangkat alisnya.

“Udah deh Ray, jangan mulai lagi, itu kan masa lalu!” Galuh menendang kaki Raya dibawah meja panjang, Nadhien hanya tertawa meski sebenarnya belum paham tapi bibir Raya memberi kode menunjuk pada Galuh.
Sore itu menjadi hangat dengan diskusi berbobot, baru kali ini Nadhien merasakan atmosfer diskusi santai tapi berbobot, dua teman barunya sama-sama memiliki karakter yang kuat. Galuh tegas tanpa kompromi yang pasti juga cerdas, Raya meski terkadang sering becanda namun sepertinya dia menutupi sisi lainnya; kecerdasannya mungkin dan sisi lain yang Nadhien menjadi tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Nadhien mengangkat lengan kirinya, melihat jam tangan berwarna merah muda, ekspresi wajahnya tiba-tiba sudah berubah.

“Ya ampun aku lupa! Aduh maaf nih Mbak, Mas, aku ada janji dengan seseorang. Besok lagi deh kita lanjutin ngobrolnya, aku harus buru-buru bisa kena marah nih!” Nadhien pamit sambil mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu, Galuh dan Raya menolak untuk menerima uang itu dan berusaha menjelaskan agar mereka saja yang membayar nanti.
“Gak apa-apa kok Mbak kali ini aku yang traktir tapi maaf loh aku harus pergi. Oh ya Mas Raya, saya boleh minta nomor hp nya gak? Aku masih perlu bantuanmu deh nanti soalnya Mbak Galuh kan mau ada pelatihan di Lombok” yang dimintakan nomor handphone cuma tersenyum
“Kalo cuma nomor hp sih pasti saya kasih tapi kalau minta hp saya, ya maaf cuma satu sih, jelek lagi, hehehe.” setelah mencatat nomor hp Raya, Nadhien segera pergi dengan motornya.

Sepanjang perjalanan Nadhien berpikir dimana dia bisa mendapatkan es lilin sore hari gini, sudah terbayang wajah kecewa Bayu karena tidak mendapatkan jatah es lilin hari ini.
“Loh kok dah mau tutup Mbok? Memang ini dah jam berapa toh?”
“Anu Non, Mbok harus pulang ke rumah di Bantul karena nanti malam ada acara pengajian, jadi harus tutup sore ini.” Si Mbok tengah sibuk merapikan warung tenda kecilnya
“Bayu kemana Mbok? Kok gak keliatan? Dia marah ya?”
“Oh Bayu dari siang tadi dah dijemput dengan Pak Lik nya tapi tadi dia pesen sama Mbok, kalau Non Muda kesini jatah es lilinnya jadi ndobel besok, maaf loh Mbak kalau Bayu suka nakal gitu.”
“Gak apa-apa kok Mbok, saya yang janji beliin es lilin setiap saya kesini, kalau gitu saya pamit pulang ya Mbok.”
“Hati-hati loh Non, gak usah ngebut!” perhatian seorang ibu kepada anak sangat terasa dalam batin Nadhien. Janji pada Bayu esok hari harus dia tepati.


****
Lentik jari menekan tombol phone book pada Handphone, layar menunjukkan panggilan keluar `calling Raya Gondrong`, Nadhien yakin yang dia tekan nomor seorang pemuda berambut gondrong tapi yang terdengar justru suara perempuan lembut dan sopan sekali `nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi`. Dicobanya sekali lagi, tombol hijau dia tekan tapi tetap saja suara perempuan tadi yang terdengar, ibu jarinya menekan tombol berwarna merah. Mukanya menjadi masam bukan karena dia salah menyimpang nomor tempo hari dan yang pasti suara perempuan itu bukan asisten pribadi pemuda gondrong yang dia harapkan dapat bertemu hari ini untuk membantu proses penelitiannya. Kali ini lentik jarinya menekan feature message menggunakan alat seperti tusuk sate tapi lebih kecil, tipis dan yang pasti bukan terbuat dari bambu. `Mas Raya, hari ini sibuk gak? Kalau punya waktunya luang bisa gak kita ketemuan?, aku perlu bantuan nih, penelitianku dah hampir masuk dead line, tempat dan waktu terserah Mas Raya deh. Tolong balas cepat. Makasih -Nadhien-`, layar berkedip, `message pending`.


Bayu masih sibuk dengan es lilinnya, hari ini justru dia bingung bagaimana caranya menghabiskan empat batang tapi Mbok melakukan negosiasi panjang untuk membujuk agar Bayu hanya boleh memakan dua batang saja berbuah hasil, akhirnya Bayu merelakan dua batang es lilinnya kepada dua anak Sekolah Dasar yang kebetulan lewat sehabis pulang dari sekolah. Nadhien hanya tersenyum tak terlihat ada rasa bersalah pada raut wajah bersihnya padahal Mbok berkali-kali menoleh kearah Nadhien, bahasa diamnya berharap agar Nadhien juga membantu merayu Bayu tapi Nadhien diam saja menahan senyum karena rengekan Bayu yang sedari tadi bersikeras agar dapat menikmati empat batang hari ini, lagipula ini memang sudah haknya karena kelalaian Nadhien kemarin. Ada dua sosok yang dibanggakan hari ini; mbok yang berhasil membujuk anaknya dan Bayu yang rela memberikan es favoritnya kepada orang lain. Tetap tidak ada rasa bersalah dalam wajahnya hanya tersenyum bahkan sesekali terdengar suara tawa yang tertahan.


Nadhien membuka kembali laptop berwarna putih dengan logo buah apel yang tergigit sebagian. Tanda panah kecil menuju Folder `Tugas Penelitian`, jari telunjuknya menekan lembut panel kotak kecil pada keyboard, sebuah logo universitas yang mengambil nama seorang panglima besar kerajaan Majapahit, tulisan `Fakultas Kedokteran` dan namanya sebagai peneliti tertera pada lembar cover. Beberapa tulisan harus dia edit dan tambahkan berdasarkan hasil wawancara tempo hari, kali ini Bayu tidak mengganggu Nadhien, dia paham setiap kali nona muda ini membuka `kotak ajaib` berwarna putih itu berarti tidak boleh diganggu. Mata bening itu sedikit lelah mungkin karena radiasi yang terpancar dari layar, kacamatanya dilepas, matanya tenang memandang keadaan sekitar mencari titik rileksasi menghilangkan efek radiasi, tatapannya tertuju pada seseorang yang baru saja datang menyandarkan sepeda pada tembok pagar. Matanya masih tertuju pada orang yang menuju si mbok, lalu dia duduk pada kursi panjang diseberangnya, melepaskan topi caping seperti yang digunakan petani di sawah dan mengibas-ngibaskan pada sekitar wajahnya.


Nadhien menajamkan pandangannya, meskipun ada gangguan kecil pada penglihatannya tapi untuk jarak sejauh ini dia yakin tidak salah dengan apa yang dilihatnya.
“Hah, jadi tadi kamu nelpon aku?!”
“Bukan cuma nelpon Mas tapi juga sms. Apa sms ku gak masuk?” Nadhien masih ragu, jangan-jangan nomor yang tempo hari dia berikan nomor orang lain.
“Oh, maaf hp ku ternyata belum kuaktifkan lagi, sori!” Raya baru mengetahui setelah mengambil HP di tasnya ternyata betul ada bekas tanda panggilan dua kali dan satu pesan masuk. Kali ini HP Nadhien bunyi beberapa kali setidaknya ada tiga pesan masuk dari operator ‘nomor yang anda tuju sudah dapat dihubungi kembali` dan satu pesan lagi `sori, hp ku tadi gak aktif. Gimana kalo sore ini ketemuan di depan Mandalakrida, kamu tau tempat itu? Eh kita dah ketemu ding sekarang`, Nadhien menatap Raya tapi si pengirim ini cuek dengan es tehnya, tawa kecilnya akhirnya keluar juga.


“Ah, Mas Raya ini suka becanda!” tangannya memukul ringan bahu Raya.
Bayu mendatangi mereka berdua, menyapa Raya dan sekalian pamit pulang pada mereka.
“Kamu sering nongkrong disini juga Non?”
“Kok jadi ikut-ikutan panggil aku `Non`? itu panggilan sayang untukku, cuma Bayu dan Mbok loh yang berhak,”
“Memangnya yang sayang ama kamu cuma Bayu dan Mbok?”
“Maksudnya... apa nih?” Nadhien dah siap dengan jurus cubitannya
“Ee...ee..eee, tunggu dulu Non, maksudku, selain Bayu dan Mbok, pasti Bapak, Ibu, Kakak dan Adikmu juga sayang kamu.”
“Iya sih tapi cuma mereka berdua yang panggil aku `nona muda` tau!”
“Oke deh, aku cabut ucapanku tadi.... NONA MUDA!” Raya memberi penekanan di akhir kalimat, resikonya; jurus cubitan itu mendarat di tangan Raya.
“Aduh sakit Non, tolong jangan aniaya aku, masak baru aja sembuh sakit di kepalaku sekarang aku sudah cedera cubitan sih.” Raya merasa beruntung bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan medis, luka bekas pukulan botol yang kembali terkena infeksi telah ditangani oleh Nadhien. Ramuan tumbukan sirih dari perempuan tua yang memberikan pertolongan pertama waktu itu tidak bertahan lama karena Raya tidak merawat kebersihan rambutnya.


Tembok kekakuan berkomunikasi tempo hari di angkringan kopi joss sudah runtuh, mereka berdiskusi tanpa ada jarak kali ini. Raya sedikit menjelaskan pertanyaan-pertanyaan Nadhien serta memberi saran referensi buku-buku yang mungkin dapat membantu penelitiannya.
“Jadi menurut Mas Raya akar dari munculnya kekerasan terhadap perempuan adalah budaya dalam masyarakat kita sendiri?”
“Bagi sebagian orang terutama dikalangan kawan-kawan aktivis perlindungan perempuan bisa saja hal itu yang menjadi penyebabnya tapi aku lebih sepakat dengan istilah kontruksi sosial” diskusi tanpa asap rokok ternyata tidak begitu menggairahkan, Raya harus kompromi tentang hal ini karena sewaktu akan menyalakan rokoknya dia bertanya kepada Nadhien apakah dia keberatan jika dia menyalakan rokok ternyata lawan ngobrolnya berkeberatan tapi dia menghormati hal itu.


“Aku sepakat Mas, bukankah budaya itu suatu konsep agung dalam masyarakat yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa kalau gak salah ini istilah menurut Ki Hajar Dewantoro, bener gak Mas?” Raya mengangguk tanda setuju tapi ragu, bisa jadi `mungkin` maksud dari anggukannya.


“Menurutku kontruksi sosial adalah apa yang telah diciptakan atau dibangun oleh sebuah masyarakat yang bisa saja tanpa perlu kesepakatan bersama tapi kemudian terus dijalani oleh masyarakat tersebut. Kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan adalah apa yang telah dibangun oleh masyarakat dalam memandang kaum perempuan kemudian menjadi ketidak adilan bagi kaum perempuan itu sendiri, nah dari sini kita dapat lihat bahwa tidak terjadi kesepakatan bersama tapi parahnya kemudian kaum perempuan yang katakanlah tidak berdaya dalam status sosial kemudian beranggapan bahwa hal tersebut adalah wajar-wajar saja, memang sudah seharus bahkan untuk melawan itu selalu dibayang-bayangi oleh sesuatu yang belum pasti wujudnya. Menurutmu sendiri apakah didunia ini hal yang paling menakutkan?” pandangan Raya tajam menatap Nadhien.


“Hal yang paling menakutkan? Kalau tikus.. sebenarnya bukan takut tapi geli, kalau gelap cuma sekedar gak nyaman aja. Ular aku takut apalagi hantu, itu deh Mas, jadi perempuan takut hantu sehingga gak berani melawan kontruksi sosial?” polos sekali Nadhien mengambil kesimpulan singkatnya, jelas saja Raya tak kuat menahan tawanya.
”Kok ketawa sih Mas?”
“Oh, maaf, bukan itu maksudku Non!” mata Nadhien melotot. Bukan karena tawa Raya tapi sebutan `Non`, diberi `tanda mata` dari Nadhien, Raya segera menyadari
“Begini, Non, eh sori mbak, tadi kamu takut dengan ular dan hantu, mana lebih menakutkan dari kedua hal itu jika dibandingkan dengan dosa?” Raya menanti jawaban dan reaksi.
“Oh itu, ya jelas aku lebih takut dosa! Memangnya Mas Raya gak takut dosa?”
“Nah itu dia, Non! Aku aja yang jarang sekali beribadah masih juga takut dosa, apabila bagi mereka yang taat beribadah, manut dengan orang tua, tinggal dipedesaan yang gak pernah mendiskusikan tentang gender apalagi memperdebatkan keraguan akan religi dan bukan hanya dipedesaan saja hal ini terjadi. Ini yang kemudian menjadi berat untuk menjelaskan kesetaraan gender terlebih upaya penyadaran tentang kesetaraan gender, seperti menghadapi jalan buntu jika sudah berbau dosa dan hal ini juga sudah seperti mendarah-daging, hehehe kayaknya serem ya?” Raya menutupi kesan menakutkan pembicaraannya dengan sedikit guyon.


“Kamu pernah baca buku kumpulan suratnya Kartini?”
“Belum Mas, memangnya kenapa?” Nadhien semakin penasaran dengan kedalaman pikir Raya juga kagum akan perhatiannya terhadap nasib perempuan.
“Sebelum kita bahas tentang itu, kamu sudah tau nama aslinya Kartini?” Raya sudah siap dengan jebakannya yang kadang bagi kawan-kawannya hal itu menjadi penyegar suasana diksusi tapi terkadang kawan-kawannya melempari sesuatu ketika guyonannya tidak bermutu.
“Nama asli Kartini? Ya, RA Kartini lah!” Nadhien merasa yakin dengan jawabannya
“Salah!” santai saja Raya menimpali
“Kok, salah? Oh, Raden Ajeng Kartini!” kadar yakinnya lebih tinggi dari jawaban tadi
“Salah!” keyakinan Nadhien menjadi runtuh tapi juga penasaran
“kalo itu salah, terus yang bener apa dong?”
“Masak sih gak tahu nama Kartini? Berarti gak pernah SD ya?”
“Enak aja, masak gak SD bisa kuliah! Terus apaan dong jawabannya?”
“Namanya adalah...... HARUM!” Raya menahan tawa tapi akan sia-sia jika meledak saat itu juga
“Kok Harum sih?! Ah, bisa aja Mas Raya ini!” menyangkal tapi masih juga penasaran
“Coba kamu nyanyiin lagu IBU KITA KARTINI, bisa kan?” jebakan Raya mulai berhasil, Nadhien menyanyikan lagu itu. Awalnya dalam hati tapi diprotes Raya
“Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya.. wa..” belum selesai Nadhien menyanyikan lagu itu, Raya sudah memotong.
“Nah, betulkan Harum namanya! Hahaahaa.” ternyata tipuan kunonya masih bisa memakan korban, maka melayanglah pensil sang korban pada tubuhnya.
Gelas yang semula berisi es teh kini menjadi kosong karena jatuh ketika Raya hendak menghindar dari serangan pensil yang datang secara spontan itu, terpaksa dia memesan es teh lagi. Raya menceritakan isi buku kumpulan surat Kartini yang dikirimkan kepada Nyonya Abendanon, sahabat penanya. Nadhien memberi warning agar Raya tidak bercerita ngawur lagi.
“Sebentar Non, aku ngintip kitabku dulu.” Raya mengeluarkan buku catatan yang dekil, tak beraturan bahkan hampir tidak berbentuk buku, Nadhien cuma tersenyum geli ketika Raya memamerkan kitabnya itu.


“Nih, aku kutip beberapa tulisannya, dengar ya `wahai jiwa bangsaku yang asalnya seindah itu, kejayaan dan kesenian semata, kebaikan dan kerelaan belaka, apa jadinya engkau sekarang? Dijadikan apakah engkau berabad-abad oleh kebiasaan ikut-ikutan..` Raya menutup bukunya dan mengomentari tulisan itu
“Cerdas bukan perempuan satu ini? Kamu bisa bayangkan, Kartini menulis ini pada tahun 1901, seabad lebih dari hari ini. Kartini berbicara tentang kontruksi sosial, Kartini meneriakan tentang perempuan yang hanya mengikuti kebiasaan masyarakat yang belum tentu benar tapi sudah pasti merugikan kaumnya, jika Kartini saja menangis melihat keadaan kaumnya saat itu, dapat dilihat ketika dia menulis `sekarang`, apa jadinya jika Kartini masih hidup dan penderitaan itu terus terjadi sampai detik ini!” mata Raya berapi-api, mata Nadhien berkaca-kaca.


Baru kali ini Nadhien merasa kagum dengan sosok Kartini justru lewat bibir seorang kaum Adam yang menceritakan kekaguman yang sama. Nadhien meminta diceritakan lagi tentang Kartini.
“Ini lagi Non” Raya yang sedari tadi menunggu reaksi Nadhien tapi tidak terlihat lagi bentuk protes atas sebutan `Non` itu.
“Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Aduh berilah kami izin untuk membuktikannya lepas belenggu saya!, izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki...`, Kartini menulis ini dengan bahasa Belanda yang layak, tertanggal 2 Agustus 1900. Bagaimana menurutmu Non?” Raya menungu tanggapan dan masih menungu reaksi Nadhien.
“Wah luarbiasa ya Mas! Jadi memang layak jika Kartini dianggap sebagai tokoh emansipasi, jelas terlihat dia menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, bahkan dia tidak ingin dibedakan secara jenis kelamin bahwa dia adalah manusia. Belenggu yang dia maksud itu berarti kontruksi sosial yang membuat dirinya menjadi tidak leluasa bergerak tapi kenapa dia harus meminta izin kepada laki-laki jika dia menginginkan kesetaraan itu?” Raya kagum dengan analisis Nadhien, bahkan pertanyaan itu pun sama seperti yang ada dalam benak Raya ketika pertama kali membaca tulisan Kartini ini.


“Perjuangan yang dia lakukan saat itu tidak serta merta mendapatkan sambutan baik dari kaum laki-laki bahkan Bapaknya yang dia kagumi pun tidak mudah menyetujui keinginannya. Ini dia tegaskan dalam tulisannya `..sebagai manusia seorang diri saja saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu dan yang –aduh, alangkah kejamnya, dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan; korbannya.` Kita ketahui bahwa Kartini lahir dari keluarga yang serba kecukupan, keluarga Ningrat, yang memberikan dia banyak keuntungan sekaligus kerugian pada sisi lain bagi perkembangan dirinya. Keuntungannya, dia mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan sebuah kelebihan akses orang tua dan kakak laki-lakinya serta koleganya yang sering memberikan buku bacaan dari luar negeri”, bahasa tubuhnya turut mempertegas ucapannya, ciri khas Raya ketika berdiskusi.


Suasana sore yang mulai teduh dan tenang memberi dukungan bagi kedua insan ini bertukar pikiran, berdiskusi tidak sekedar membicarakan gosip hari ini tentang artis yang baru saja potong rambut atau menceritakan tentang koleksi bonekanya bertambah setelah diberikan souvenir dari sahabatnya yang baru pulang dari Singapura. Nadhien merasakan sensasi lain diskusi kali ini lebih dari sekedar obrolan sesama teman kosnya yang selalu ingin up to date jika ada perkembangan pakaian dengan model terbaru atau mereka berkumpul setelah pulang dari salon terkenal, menceritakan model rambut barunya yang sama persis dengan artis pelantun lagu `Pernikahan Dini`. Nadhien bukan tipe seperti teman-temannya, dia cukup mandiri, dia berani keluar dari rumahnya yang menjanjikan kemewahan dan segala fasilitas lebih memilih untuk kos, hampir seluruh kebutuhannya kecuali laptop yang dia beli dengan titipan bantuan Ayahnya sebesar tiga puluh persen, semua tercukupi dari hasil kerjanya menjadi bagian pendaftaran pada dokter praktik meskipun dokter itu masih kerabatnya. Diskusi masih berlanjut.


“Kartini tetap konsisten ya Mas, dia sering menyebutkan bahwa dirinya adalah manusia, bukan perempuan. Satu lagi, Mas Raya tadi bilang keadaannya memberikan keuntungan dan kerugian bagi perkembangan dirinya, apa kerugian yang dihadapi Kartini?” Nadhien menawarkan permen mint dalam wadah kotak plastik kecil transparan, dia kagum terhadap Raya dengan caranya menghormati Nadhien yang anti asap rokok.
“sebenarnya banyak hal yang dia hadapi, tapi aku kasih satu contoh yang paling menonjol dan masih terjadi saat ini juga, Kartini menulis ini `...aduh Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpakan kepada Saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! Mulut menjerit dengan kerasnya dan hati menggemakan jeritan itu ribuan kali...` Nah, kamu bisa lihat sendiri Non, apakah Indonesia ada perbedaannya dalam kurun waktu sepanjang 1901 sampai dengan 2008 ini?” Nadhien sesaat kehilangan kata-kata dan bergetar saat itu juga, mungkin merasakan ribuan gema jeritan Kartini.


Kisah dan pemikiran Kartini ini semakin menarik perhatiannya, dalam dirinya merasa menyesal karena tidak sejak dulu dia mencari tahu tentang tulisan Kartini.
“Eh, sori dah jam berapa nih? Tuh liat Mbok dah mulai beres-beres, aku juga harus ketemu temen-temen nih di tempat biasa.” Raya terpaksa memutus diskusi hari ini karena jika dia tidak hadir di meja panjang utara stasiun tugu, bisa habis dicela dan dicacimaki kawan-kawannya.
“Sebentar Mas, boleh aku lihat bukunya? Sebentar aja!” kitab dekil itu berpindah dari tangan Raya, Nadhien tersenyum geli sebentar tapi Raya tidak memperhatikan hal ini karena dia mendekati Mbok untuk membayar.
“Nih bukunya Mas, terimakasih atas kuliah hari ini dan menemaniku menikmati pergantian hari dengan diskusi bermutu” senyumnya mengembang lebar.
“Loh kok jadi kuliah? Memangnya aku ini dosen!” Raya merusak tatanan rambut Nadhien yang terikat tali, posisinya menguntungkan karena Nadhien masih duduk dikursi. Nadhien melepaskan ikat rambutnya, terlihat kilau rambut sehat ketika rambutnya tergerai, Raya baru memperhatikan rambutnya ternyata hampir sama panjangnya tapi yang satu ini jelas terlihat lebih terawat.


Raya pamit kepada Nadhien yang masih merapikan barang bawannya kedalam tas dan Mbok yang sedang menyapu sekitar warung tendanya.
“Aku pulang dulu ya Non! Gak marahkan?” sepeda tua itu menghantar kepergiannya, mata Nadhien bersinar cerah sementara senyumnya belum juga hilang dan menggelangkan kepalanya berkali-kali. Hari ini dia bertemu sosok pemuda yang unik! Secepatnya Nadhien mengambil hand phonenya dan menelpon Raya tapi tidak diangkat, mukanya masam kembali, kini menulis sms `Mas, kok tadi kamu bayar semua sih? Padahal tadi aku makan banyak n minum aja sampe tiga kali” sms dikirim. Layar berkedip, sms masuk, dari Raya, `sori Non tadi gak denger. Aku baru isi angin nih, tadi ban sepeda ku sedikit gembos. Kamu gak marahkan?`
Nadhien masih juga belum mengerti, kalau cuma sekedar bayar minumannya tadi untuk apa dia marah.
`Kenapa harus marah?, justru aku berterimakasih lagi nih karena dah dibayarin`,
`Bukan yang itu, Non?`, sms balasan Raya
`Terus kenapa lagi aku harus marah?` ah aneh juga pemuda satu ini dalam batinnya
`Kamu gak marah lagikan kalo aku panggil kamu `Non`, bukan begitu Nona Muda?`. Kali ini Nadhien tidak membalas sms Raya, pamit pada Mbok lalu memacu motornya menuju timur kota Jogja. Sesampainya di kos, merebahkan tubuhnya sebentar kemudian mengambil keputusan untuk mandi.
Layar hand phone kembali berkedip dan bergetar, tertera `5 new message` dan `1 missed call`. Pesan pertama dibuka;
` Kok gak dibalas, kamu marah ya Non?` lalu sms kedua;
`Duh gitu aja ngambek, cepet tua loh Non!` mulai muncul senyum dari bibir manisnya, sms ketiga;
`Eee...ee..ee.. kayaknya Nona Muda ini marah beneran deh? Maaf...maaf...maaf...`
Nadhien mulai menikmati teror mentalnya terlebih pada sms keempat;
`Marah betulan atau hpnya ngedrop neh?, ah mudah-mudahan aja hpnya ngedrop, berarti kamu gak marah dong, betul kan Non?` tawanya tak tertahan lagi ketika membaca sms kelima;
`Eh, kalo hpnya ngedrop kok sms ku langsung masuk dan ku telpon juga masuk ya? Berarti kamu marah nih, oke deh kau gak bakal panggil kamu `No** Mu#a lagi deh!, sekali lagi maap... maap... maap. Tolong dibalas kalau bersedia memaafkan, aku kan masih takut dosa, mbak.` ahha, berhasil juga terornya, pemuda gondrong ini akhirnya menyerah!
Nadhien masih menikmati penderitaan Raya yang masih merasa bersalah, selama mengeringkan rambut saja hpnya berbunyi tapi dibiarkan begitu saja sampai tiga kali, dia tahu ini pasti trik Raya menelpon dengan private number. Kali ini Nadhien mulai dihantui rasa bersalah dan memutuskan untuk menghentikan terornya.
`maaf saya terima, gak usah telpon n sms lagi ya Mas, aku mau tidur, capek nih. Selamat malam` Nadhien bisa membayangkan wajah pemuda gondrong itu yang menjadi sedikit lega. Malam semakin dingin, selimut tebal milik almarhumah Ibunda tercinta serasa memberikan pelukan hangat sepanjang malam.


Mentari sudah kembali menyinari bumi jogja bagian timur, matahari tidak pernah timbul dan tenggelam, matahari tetap konsisten pada porosnya menjadi sumber kehidupan, hanya saja bumi yang tidak tega membuat manusia selalu terjaga atas sinar matahari, itu sebabnya bumi secara adil memberikan sinar semangat matahari di kala siang dan meminta tolong pada bulan untuk menghibur manusia yang telah lelah beraktivitas sepanjang hari. Matahari tidak pernah timbul dan tenggelam. Nadhien bangkit dari mimpi indahnya, malam tadi dia bertemu dua bidadari cantik; Bundanya dan Kartini.


Nadhien masih tersenyum geli melihat tingkah laku Raya, masih ada satu pesan lagi di hpnya, terkirim jam 2 dini hari tadi;
`Mbak Nadhien, maaf saya sms lagi, semoga gak bangunin kamu. Aku dah seneng dah dimaafin tp apa mbk masih marah?` Nadhien belum bersedia membalas, dia beranjak menuju kamar mandi, mencuci mukanya dan menatap sebentar pada cermin.
`Aku gak marah kok Mas, kamu boleh panggil aku apa aja` Nadhien sudah bisa menebak pasti smsnya akan dibalas tengah hari nanti karena pukul dua dini hari tadi saja Raya belum tidur. Lima menit kemudian, layar hp berkedip, bersuara dan bergetar, semula dia mengira alarm yang sengaja diatur tepat jam lima berbunyi tapi sekarang jam empat lewat empat puluh menit.
`1 new message` tangannya menekan tombol `ok`, pesan baru dari Raya;
`Makasih atas gak marahnya tapi gak seru dong kalau besok aku ketemu kamu, terus kusapa `apa kabar mbk apa aja?` kan lebih asik `apa kabar Non?` Atau `apa kabar Nona Muda?` betul gak?` Ahh, pemuda satu ini selalu menawarkan senyum ceria.


`Oke deh, kayaknya perlu aku tegasin bahwa AKU GAK MARAH KARENA MAS RAYA PANGGIL AKU DENGAN SEBUTAN `NON` ATAU `NONA MUDA` selama itu gak jadi beban bagi Mas Raya yang lucu, paham?`
`Beneran nih? Yakin?!`
`Yakin! seperti Kartini, aku juga ingin dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya, mudah-mudahan dengan memaafkan orang yang jahil aku bisa menjadi manusia utuh`, Raya tersentak karena Nadhien mengutip perkataan Helen Mercier yang menjadi inspirasi Kartini, kuat juga ingatannya meski sebentar saja melihat kitabnya itu.
`Makasih mau maafin orang jahil ini ..... udah ya, jangan sms atau telpon aku, soalnya pasti gak kubalas dulu, aku mau tidur, eh tadi tiba-tiba aku kangen solat subuh. Selamat beraktivitas untuk Nona muda, selamat tidur untuk aku` Nadhien kembali tersenyum lebar, cukup untuk bekal awal aktivitas.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!