Selasa, September 16, 2008

Ranjang-Alam

(picture taken from www.peakware.com)


“Mo, malam ini aku harus gantiin shift jaga malamnya Wanto, jadi maaf banget aku gak bisa jagain kamu di sini?” tak tega rasanya meninggalkan Marmo sendirian di bangsal ekonomi rumah sakit milik pemerintah kota Yogyakarta ini.



Penyakit paru-paru basah yang dialaminya sejak kecil itu mulai menggerogoti seluruh kekuatannya sampai-sampai Marmo yang dikenal sebagai mahluk Super Aktif ini tergolek lemah. Jabat tangan yang biasa kami lakukan sebgai ritual bertemu dan berpisahdengan gerakan tangan yang rumit dan penuh dengan hentakan kini tidak lagi dapat dilakukan oleh si pencipta ritual jabat tangan belasan tahun yang lalu ini.


Aku ingat saat itu kami duduk di kelas 4 SD, Marmo sebagai ketua regu pramuka sekolah kami dengan nama tim Badak Putih. Ide kreatifnya seolah tak pernah berhenti. Berkat ide kreativitasnyalah sekolah kami memenangkan lomba baris-berbaris dengan memberikan tambahan yel-yel dan gerakan tari suku Indian yang belum pernah ada dalam sejarah perlombaaan baris-berabris dalam tingkat Kwarda sekalipun. Selama ini setiap tim hanya menampilkan gerakna kakidan tangan yang serempak sementara Ketua regu berteriak “Naan… kiri…kanan… Satu!” begitu monotonnya dari garis Start hingga Finish.


Marmo berpendapat setiap juri yang menilai di titik-titik tertentu itu harus dihibur karena mereka pasti bosan. “Ya, selain menghibur juri-juri itu pastinya kita juga bisa merebut hati mereka dan tentunya nilai kita akan lebih besar!” Marmo mengaum di tengah lingkaran kami yang duduk bersila merendahkan posisinya menatap wajahku, dia melihat percikkan api yang sama. Malam ini nyala mata itu redup.



“Kadir, jangan lupa kamu hubungi kalau dia belum juga tunjukin batang hidungnya yang bengkok itu,” kawanku satu itu memang sulit dipegang janjinya hampir seperti caleg yang memuntahkan janji manisnya, meski begitu jangan tanyakan arti kesetia kawanna pada Kadir. Pernah suatu waktu kami bertiga mencuri mangga milik Pak de Samino. Aku dan Marmo memanjat pohon itu, sementara Kadir menunggu di balik tembok setinggi 3 meter sebagai batas pekarangan.



Sialnya puluhan ekor semut rangrang dengan ganas mencabik-cabik kaki kiriku yang kujadikan tumpuan pad cabang terkuat sementara kaki kanan dan hamper sebagian besar bagian tubuhku condong kedepan menggapai mangga ranum yang sudah kami incar dari luar tembok. Berat badanku berpindahdari kaki kiri yang semula mantap pad cabang terkuat sekarang mengalihkan seluruh beban terfokus pada kaki kananku yang menari diatas cabang kecil ditambah angina yang cukup kuat menjadikan keseimbanganku dan kekuatan dari cabang itu tertarik gaya gravitasi bumi. Tunduk pada hukum alam, what goes up must goes down.




Patahan cabang penopang kaki kananku menimpa atap seng kandang ayam milik Pakde Samino. Ayam-ayam dalam kandang itu seolah berfunsi sebagai alarm anti maling, Pakde Samino seketika itu juga menghambur dengan parang terhunus. Seluruh penduduk. Warga kebun binatang keluar dari mulut Pakde Samino berupa umpatan, cacian dan makian dengan tekanan nada tinggi yang dapat memecahkan gendang telinga.


Kadir yang tidak berani memanjat saat itu sebenarnya mempunyai peluang besar selamat dari makian tapi tiba-tiba dia mengetuk pintu halaman belakang temapt persidangan kami dan dengan santunnya berkata ingin bergabung bareng Aku dan Marmo. Kamipun menikmati dakawaan Pakde Samino dengan pembelaan cekikikan kecil tapi Kadir justru bergetar hebat sampai terkencing dicelana mendengarkan gelgar suara Pakde Samino.


“Kadir bilang malam ini pasti datang bahkan dia bilang ad surprise tapi sebebnarnya dia bilang rahasia tapi kamu tau sendirilah, gak ada rahasia diantara kau dan aku. Sayangnya kau gak bisa kasih tau karena Kadir gak mau bilang, kamu tunggu dulu deh sebentar, jadi kalau malaikat maut menjemput kamu sore ini, kamu mintalah perpanjangan waktu sedikit saja” Senyum Marmo justru berkembang, dia tidak pernah takut unutk dijemput kapanpun. “Eh Mo, pulsamu itu masih ada toh?” Aku cek hp bututnya yang sama miskinnya dengan pulsanya.



Aku pamit, gerakan tangannya lemah sekali, tidak ada adu buku-buku jari yang terkepal keras seperti biasanya. Aku mengingatkan diriku sendiri unutk mengisi pulsa dan ke ATM, sejenak kupandangi layar yang memberikan informasi saldo tabunganku, ada 2dua juta lima ratus ribu perak! Ibu pasti sudah paham betul sebagian gajiku akan kusisihkan untuk biaya berobat Marmo. Maaf ibu, lebaran ini rukuh dan sajadahmu masih sama seperti lima lebaran sebelumnya.



Dering Hp membangunkanku tidur sejenakku, rupanya aku tertidur selama sepuluh menit tadi. Untung saja Komandanku belum samapi di pos SATPAM ini, pasti dia masih patroli atau mendapat titipan pesan khusus dari tamu hotel agar dicarikan teman kencan singkat. Lima panggilan tidak terjawab dan satu sms masuk dari Marmo. Aku Cuma berharap bukan perawat yang menghubungiku untuk memberi kabar kematian Marmo.


Kubaca sms Marmo, “Git, malam ini Kadir belum juga datang tp no problem bro! ada pasien baru masuk di sebelahku. Sori ganggu kerjamu” . Kutekan no Marmo pada fitur buku telpon “Hallo Mo, kamu baik-baik aja kan disana?” nada bicaraku tak bisa menutupi kekhawtiranku. “Eh Git, aku selalu sehat seperti biasanya”, batuk kecilnya tidak meyakinkanku. “Kenapa kamu baru kabari aku? Ini sudah jam dua pagi, tau gitu aku gak pergi jaga hotel Mo. Sialan Kadir itu! Apa alasannya lagi? Biar ku pukul mulutnya nanti.” Emosiku tiba-tiba meninggi bukan hanya karena ulah Kadir tapi juga karena Komandanku tengah mengandeng genit Sheila –adik tingkatku dikampus dulu, dia pujaan hati Marmo.



Pasti dia pesanan dari kamar kelas VIP, Sheila memang terkenal sebagai teman kencan berkelas tinggi, selain postur tubuhnya yang mengairahkan, status mahasiswinya ikut menaikkan tarifnya. Aku selalu memberikan second opinion bagi Marmo agar mencari sasaran lain tapi dia tidak bisa berpindah ke lain hati. Hanya karena status Sheila ini terbendang rahasia antara aku dan Marmo. Tidak mungkin aku membeberkan siapa Sheila sebenarnya, bisa mati berdiri kawanku jika mendengarkan jika Sheila adalah ayam kampus yang bisa dinikmati siapa saja yang berduit.




“Sudahlah Git, mungkin Kadir masih sibuk dengan skripsinya atau dia kecapekan semalaman lembur ngetik. Ini juga karena salah aku yang terlalu memaksa dirinya” Suara lemah Marmo meredakan emosiku. Aku jadi ingat ketika Marmo telah satu Minggu menginap di rumah sakit. Kadir menangis begitu keluar dari kamar tempat Marmo berbaring. Aku menghambur kedalam, kulempar obat yang baru saja kutebus. Marmot tergolek lemah dengan mata terpejam, kugoncang tubuh ringkihnya yang hanya bersisa kulit, kerangka butut dan kentut saja itu. “Ahh… kukira kau mati Mo!! Bikin copot jantungku saja kau ini.” Marmo bersandar lemah mencerita kan bahwa baru saja dia mengancam Kadir.



“Mungkin hanya kamu yang kan selalu kuhantui jika aku mati kawan” batuk-batuk kecil dan panjang pasti keluar dari mulut Marmo jika berbicara serius. “Apa maksudmu Mo?” Kadir masih belum mengerti inti pembicaraan Marmo. “Kalau kamu tidak juga menyelasaikan skripsimu, dapat dipastikan aku akan mati penasaran. Setidaknya aku mau melihat kau wisuda sebelum kawanmu ini mati” kali ini batuk itu menjadi parah seolah ada bongkahan paru-paru yang keluar setiap kali terbatuk-batuk.



“Jangan kau berkata begitu kawan. Umur kita masih panjang, ingat janji kita dulu. Kalau kita semua sudah sukse dan punya anak masing-masing maka kita akan melakukkan pendakian gunung Rinjani tersantai abad ini! Bersama kawan-kawan kita dan anak-anak kita!” Kadir menangis pada tubuh ringkihnya. Marmo terbatuk tersiksa. Untung saja mu Kadir cepat sadar. “Kau jangan mati dulu Mo, aku belum kawin dan punya anak, kamu juga belum Bung! Sigit sebentar lagi nikah, Hendra si playboy itu sudah punya dua anak. Ari yang kita kira mandul saja anaknya kembar” Kadir berupaya memacu semangat hidup kawan akrabnya ini.



“Kemungkinan besar aku gak ikut Bro. sekarang gak cumabadan ini yang gak kuat tapi semangat saja aku gak punya lagi, jadi tolonglah bahagiakan kawanmu yang malang ini, beri aku hadiah sebelum aku ke surga. Setidaknya aku bias ceritakan pada Mbah Kakung mu disana bahwa aku hadir di pesta wisuda mu. Bisa bro?” Napasnya tersengal menciptakan kebulatan tekad Kadir yang menangis sekuatnya dan meninggalkan Marmo, bahkan tak menyapaku yang berpapasan membawa obat Marmo.




Aku mengatur nafasku, mencoba menata emoasi yang campur aduk. Pikiranku terganggu oleh Sheila yang melintas pos SATPAM tempatku, bayangan Marmo yang menangis darah didepan kamar hotel tempat Sheila di booking dan bayangan Kadir yang terkapar didepan computer yang masih menyala. “Kamu sudah hubungi Kadir belum tadi Mo?” jawaban Marmo belum juga terdengar. “Mo…Mo…Hey!! Kamu dengar gak mo” pkiranku bertambah kalut lagi, aku gak mau menjadi orang pertama yng mengabarkan kematian Marmo, terlebih dia mati ketika menerima telapon dariku. “Mo…” menunggu harap cemas. “Eh Sori Bro, kamu ngomong apa tadi?” sial manusia satu ini, aku setengah mati ketakutan eh dia malah enak tidur. Ku urungkan niat menelpon Kadir setelah Marmo memaksa unutk tidur sendirian malam ini.



Usai subuh hp ku berkedip, kali ini nomor Kadir muncul pada layar LCD handphoneku. “Yaa..hallo. Kamu mau pake alasan apalagi? Gak usah minta maaf padaku, sana minta maaf sama Marmo, barangkali sudah berpindah kekamar mayat dia!” suaraku sengaja kubuat dingin sbagai hukuman bagi orang yang tidak dapat menepati janji. “Ah, maafkan aku kawan, sudahlah nanti bisa kujelaskan. Pokoknya sekarang kau kebandara pagi ini, adayang harus kau jemput disana” ringan saja Kadir memberi perintah, ah kalau sajatidak diberi wasiat oleh Marmo pasti sudah ku tinju orang itu. “Hey, enak saja kau ini, kau pikir aku jonggos mu!” ah kecerahan pagi setelah subuh ini tertutup oleh emosi, bikin jengkel saja kawan satu ini.



“Dengar dulu kawan, ini memang masih surprise jai aku gak bisa kasih tau misi ku ini. Ayo cepat ke bandara, semuanya sudah diatur. Percayalah ini semua demi kawan kita Bro!” walaupun masih jengkel atas perintah yang tak jelas tapi aku merasa ketika dia bilang demi kawan kita, pasti ini semua ada kaitannya dengan Marmo, lagipula sejak kapan Kadir punya inisiatif samapi-sampai dia meng-klaim “misi ku”.



Kupacu motorku menuju arah bandaraAdi Sucipto, pada ruang tunggu kedatangan aku seperti orang bodoh yang tengah menjadi korban lelucon Kadir. Aku harus menjemput orang yang tidak kuketahui siapa orang itu. Sial!. “Oom Sigit….oom Sigit…oom!!!” suara anak kecil berusia sekitar enam tahun yang hanya kukenal lewat layer computer yang dilengkapi kamera kecil diatasnya dan dihubungkan oleh satelit. Meru, kenapa bocah ini bisa ada disini? Bukankahseharusnya ada di Jakarta, lalu kemana orangtuanya. Kumasukkan hpku kedalam saku jaket menyambut tangan kecil yang menghambur kearahku.


“Hallo Git, apa kabar?” suara lembut itu, ahh betapa aku rindu dengan sapaan khas itu. Laya, ahh mata bening dan lesung pipit manis yang biasa ku ciumi dulu, masih teawat dengan baik. Kuletakkan Meru dibawah. Kupeluk sebentar Laya. “Hey, dia sudah jadi istriku bung! Bukan pacarmu lagi…awas ya…hahahaha” sebenarnya aku muak mendengarnya, seolah tawa kemenangan besar. Keparat Ari ini telah merebut jantung hatiku bahkan melahirkan anak dari rahimnya, padahal setiap malam kurapal mantra kutukan agar penisnya tidak dapt berdiri saat awal pernikahannya dulu, tapi itu sebelum aku mendapatkan pengganti Laya.




Belum sempat ku mengerti kejutan kehadiran mereka, tiba-tiba Hendra beserta Istri dan kedua anaknya melambaikan tangan dan bersuit keras khas keahliaannya.
Rupanya kedatangan mereka terlambat, seharusnya malam tadi sudah mendarat di landasan Adi Sucipto tapi cuaca buruk menghambat penerbangan Jakarta-Yogyakata
Dan Balik Papan-Yogyakarta. Aku masih menatap takjub kearah kawan-kawanku yang tiba-tiba berada dihadapanku saat ini.



“Apa maksud semua ini Bro?” mulutku menggigit roti khas Amerika yang berlubang ditengahnya. Ari dengan gaya congkaknya mentraktir kami sarapan di kedai taraf internasional itu. Pekerjaannya sebagai produser penyiaran disalah satu perusahaan televise di Jakarta pasti memberikan penghasilan lebih dibandingkan SATPAm sebuah hotel. “Ya… ini semua sebagai bukti tanda cinta kita kepada kawan kita bro” Ari membuka awal misteri kejutan. “Kita seharusnya berterimakasih pada Kadir yang telah mengatur semua ini meskipun kita tahu, mana pernah dia punya inisiatif!” Hendra membuka memori awal persahabatan kami. Laya menambahkan kepingan teka-teki kejutan ini dengan suara lembutnya. Ahh… Himalaya Putri Pertiwi, kalau saja dulu aku tidak menyakiti hatimu pasti si keparat Ari itu tidak sempat menitipkan anak dirahimmu.



“Oke Dir, ya…ya… semua sudah kumpul disini. Tiket dan segala persiapannya suah beres, kamu tinggal bawa bocah tua nakal itu kesini, oke!” Ari menutup handphonenya, kemudian berkoar-koar tentnag kesuksesannya, sesekali mulutnya dibasahi cappucinno panas.


Kaki-kaki kami sudah berada pada satu titik astronomis delapan derajat – dua koma lima derajat Lintang Selatan dan seratus enam belas – dua puluh enam Bujur Timur, menatap kagum penuh kerinduan pada karya agung Sang Pencipta. Gunung Rinjani, tinggi menjulang dalam sapuan kabut tipis. Tiga ribu tujuh ratus enam puluh dua meter diatas permukaan laut pad Pulau Lombok. Gunung terfavorit dalam album gunung terindah bagi Marmo, anehnya gunng itu dia puja setelah mengetahui Sheila Diandra Anjani, gadis pujaan hatinya itu mengambil nama gunng tempat kelahirannya.



Kami sepakat mengambil jalur utara. Marmot sudah terlihat begitu ceria sejak dari terminal Sweta, ketika bus benrhenti di Swela nafasnya menderu, batuk menyerang. Belum sempat sampai Batu Koq, badannya bergetar samapi memuntahkan cairan kuning tanpa ada tanda sisa makanan yang tercerna keluar dari lambungnya itu. Berhenti di Senaru, Aku mulai protes pada penggagas ide unutk membatalkan rencana gila ini tapi justru Marmo yang meradang menolak bahakan dengan ancaman kematianlah!. Si Kecil Meru bersikeras untuk mandi di air terjun Sindang Gile, kedua orang porter yang sengaja dibayar unutk mengusung Marmo mengingatkan tentang kejadian aneh yang sering terjadi di air terjun ini.



Kami semua melepas lelah, mencelupkan kaki-kai yang lama tak bercumbu dengan jalan gunung. Mendadak Marmo berlari kecil masuk menuju arah titik pusat jatuhnya air sambil meneriakkan nama lengkap Sheila, unutng saja Hendra berada dilintasan terdekat, dicegahnya tubuh ringkih yang meronta meminta dilepaskan dengan kekuatan yang tak terduga, kekauatan Marmo berlipat terpengaruh jelamaan gaib dengan rupa Sheila. Badan Marmo bergetar hebat kedinginan.



Hari kedua kami bergerak lambat dari Plawangan Senaru menuju Danau Segara Anak. Laya tertegun kagum oleh kecantikan danau ini. Siang itu nuansa damainyamasih terasa, kabut tipis yang seolah permanent menjadi selmut permukaan danau pada ketinggian dua ribu delapan ratus delapan meter diatas permukaan ini. Laya tersenyum manis kearahku, mungkin teringat masa dimana dulu aku pernah memintanya untuk menjadi kekasihku, jawabannya adalah tantangan terjun keair dingin itu. Aku pun diterima bahkan dengan bonus hypothermia!



Marmo membuka pembicaraan ketika kami berkumpul ditepi api unggun dengan latar Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari disisi barat. Pidatonya berisi ucapan terimakasih, kenanganmasa lalu, kesempurnaan hiudp dan keberaniaannya menghadapi malaikat kematian mebuat kami bangga bercampur haru. Kini Kadir tak mua kalah, berdiri, mendehem, mengangkat dagunya menunjuk kearah Marmo. “Kawanku tercinta tahukah kamu dan kalian semua bahwa aku Kadir Ruslan Bachtiar ini bulan depan akan bergelar Sarjana Antropologi, kau dengar itu kawan Sarjanaaa!!!” tepuk tangan, derai bahagia, teriakan suka cita dan tangisan Marmo mewarnai malam di tepi Danau Segara Anak disaksikan bulan purnama.



Sinar mentari sedikit menembus kabut pagi ini. Kunyalakan kembali perapian yang membeku. Kunikmati setiap aliran oksigen yang masuk melalui lubang hidungku berlari kecil menuju paru-paru. Kulihat pad tepi danau seseorang terduduk pad kursi kecil portable, dari syal berwarna biru langit kukenali milik Laya. Kudendangkan lagu yang paling kami hafal jika berad digunung; `Penjelajah Alam` karya Sawung Jabo tapi tidak ada yang membalas seperti biasanya. Betapa terkejut aku begitu mengetahui bukan perempuan idamanku, melainkan Marmo yang terbujur kaku tapi matanya berkilauan dan senyumnya mengembang puas. Aku berteriak sekeras mungkin. Alam terkesiap.



Secarik kertas dari dada Marmo kubaca perlahan, alhirnya akulah si pembawa kabar pesan kematian Marmo; “Terimakasih telah mempertemukan aku dengan Anjani. Terimakasih kawan-kawanku tercinta, kalian telah membuatku tidak mati sia0sia diatas ranjang rumah sakit keparat itu. Seperti kata Gie `Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati ditempat tidur`. Terimakasih…terimakasih”.

Kami tidak menangis kawan.




KK X 06-09-08
(thanks to Hatib AK for your book)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!