Senin, September 08, 2008

Sepotong Sesuatu 4*

(CATATAN PENULIS; UTK MENDAPATKAN CERITA YG RUNTUT, SEBAIKNYA BACA DULU " SEPOTONG SESUATU 1 " DST. thx)
Rencana B, Siap Laksanakan!
Menjelang malam. Lokasi; Sel tahanan

Pintu baja berderit terbuka sebentar kemudian tertutup kembali dengan dua gembok besar dan tambahan rantai tergantung mengunci pintu sel tahanan. Pak Jono terduduk menunduk sendirian pada sebuah sudut sel tahanan itu meratapi nasibnya. Pertanyaan-pertanyaan di ruang interogasi tadi masih terbayang dalam selnya kesendiriannya sepanjang sore. Setiap teringat dengan cengkraman, teriakan dan mata merah Yanto wajahnya semakin tenggelam pada posisi duduk dengan tangan menggenggam erat kedua kakinya.
”Kena kasus apa sampeyan sampai masuk bui ini?” Pak Jono terkejut bukan main mendengar suara itu, dia tidak memperhatikan ada orang masuk sel yang sama dia tempati ketika pintu itu terbuka tadi.
Posisinya tambah merapat pada sudut itu, teman satu selnya itu berpenampilan besar, seram dan beberapa hiasan tato jelas terlihat mengisi lengan bagian atas kanan dan kiri begitu membuka baju tahanan. Bayangan tentang cerita-cerita mengerikan dari balik jeruji yang sering terjadi sesama tahanan membuat Pak Jono semakin takut, hari ini dia harus berbagi dengan orang lain dalam sel itu.
”Kenapa Pak? Jangan takut, aku gak akan ngapa-ngapain sampeyan!” baju tahanannya digunakan sebagai kipas untuk sedikit mengurangi hawa panas yang terasa menguap di sel tahanan.
”Sudah lama di masuk sini pak? Hey, sampeyan dari tadi belum kasih tau kena kasus apa?” orang yang ditanya menjawab singkat tetap tenggelam dalam ketakutannya.

”Tolong perhatikan kalau ditanya, lihat saya pak! Hey, jangan nunduk terus gitu, sini kamu!” gelegar ucapannya membuat gemertak tulang pada kaki Pak Jono, mendekat ragu kearah kawan satu selnya.
”Ampun Pak, jangan pukul saya Pak, tolong kasihani saya” posisinya menggapurancang rapuh dengan getaran halus seluruh tubuhnya, membayangkan apa yang akan dialami setelah ini.
”Loh, sampeyan kira saya ini penjahat apa? Diluar sana saya memang penjahat, perampok dan pembunuh tapi sekarang saya cuma mau dipijat, itu saja! Tolong pijat bahu saya ini pak, rasanya pegel banget.”

Tangan kasar Pak Jono terampil dalam mengatasi otot-otot yang bermasalah, disela-sela menunggu penumpang yang menggunakan jasa angkutan genjotnya Pak Jono juga menawarkan jasa pijat atau urut, lewat karton bekas mie instan yang ditulisi `Jasa Pijat dan Urut` yang dia gunakan sebagai media promosi layanan jasanya yang biasa dia gelar disebelah becaknya. Penghasilan tambahannya ini justru lebih menguntungkan, dia hanya mengeluarkan sedikit tenaga menyusuri setiap jalur-jalur otot manusia jika dibandingkan pekerjaan utamanya mengayuh becak yang berjarak kiloan meter belum lagi beban penumpang dan barang bawaan demi lembaran ribuan rupiah.

”Nama asliku Sardi tapi sampeyan gak akan nemuin nama Sardi kalau tanya ke preman-preman Jogja atau sepanjang daerah Jawa Tengah, mereka panggil aku Izroil karena urusan cabut-mencabut nyawa sudah jadi keahlianku. Kadang-kadang aku juga disebut sebagai Jagal dari Jagalan, gara-gara isu usaha potong kerbau dan sapi milik keluargaku bangkrut makanya aku jadi jagal manusia. Nama sampeyan siapa Pak? Kerja apa dijogja?”

Tekanan psikologis yang diderita Pak jono rupanya sedikit teralihkan dengan adanya kawan ngobrol yang baru masuk dalam selnya itu. Awalnya Pak Jono hanya sekedar menjawab pertanyaan pasien pijatnya ini tapi keterbukaan kawan satu selnya ini yang menceritakan masa lalunya yang kelam telah membunuh banyak orang hanya demi menaikkan statusnya dan mendapatkan gelar bergengsi dimata sesama preman, namun bagaimanapun sadisnya dia ketika menghabiskan korbannya, sebagai manusia dia pun sering menghadapi teror-teror mental lewat mimpi yang membuatnya menangis jika terbangun ditengah malam.

”Korbanku terakhir adalah seorang bocah berusia empat tahun, sebenarnya dia bukan sasaranku tapi terpaksa kuhabisi karena dia melihat aku ketika membantai keluarganya. Waktu itu aku panik karena tangisan bocah itu sangat keras, entah setan apa yang merasuk ketubuh aku, tiba-tiba dia sudah berlumuran darah dan parang yang kupegang meneteskan darah dari bocah tidak bersalah itu. Aku jadi teringat anakku yang seusia dia tapi terlambat bocah itu sudah meninggal waktu aku coba mengangkat tubuhnya. Kupikir aku bisa menyelamatkan dan kubawa lari kerumah sakit saat itu juga, temanku mengajak aku segera kabur dari situ tapi bayangan bocah itu terus menghantui selama masa pelarianku.”

”Akhirnya aku menyerahkan diri karena aku sudah tidak tahan lagi. Dipersidangan aku lebih tak tahan lagi mendengar jeritan histeris isteri dan anakku yang mendengar putusan hakim bahwa aku dijatuhi hukuman mati. Jantungku terasa berhenti saat itu juga. Tujuh tahun aku menjalani masa hukumanku sambil menunggu waktu eksekusi tapi kemudian aku melarikan diri setelah mendengar kabar anakku sakit keras, aku harus bertemu dengan anakku saat itu juga tapi dasar apes setelah dua minggu menunggu di rumah sakit akhirnya aku tertangkap lagi seminggu kemarin. Hukuman matiku dipercepat setelah aku tertangkap terlebih tambahan hukuman akibat dua penjaga yang kubunuh saat melarikan diri. Sekarang yang kupikirkan hanya nasib anakku, aku gak tega ninggalin isteriku menanggung ini semua, ahh...”

Lengan Pak Jono berhenti sejenak dari aktivitasnya ketika suara sang jagal sedikit bergetar terbata-bata menceritakan masa lalunya dan kerinduannya terhadap anaknya yang telah berusia dua belas tahun yang harus ditinggalkan karena keberadaannya didalam sel. Pak Jono memperhalus pijatan tangannya menjadi usapan pada punggung, sedikit menghibur ketika emosi Sardi menjadi tak terkendali tenggelam dalam isak tangisnya sementara kepala tangannya memukul-mukul lantai, Pak Jono merasakan penyesalan mendalam.

Sardi merubah posisi duduknya dan dengan cepat menguasai emosi begitu mendengar suara langkah sepatu lars penjaga sel yang mengantarkan bungkusan nasi, air putih dan kopi hitam, dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan penjaga. Mereka menikmati nasi dan tempe penyet, cukup telat untuk disebut sebagai makan malam. Kopi hitam kini menemani mereka yang hanya terdiam beberapa saat setelah makan, bibir Pak Jono bergetar seperti hendak berbicara namun tidak satu pun kata yang terucap. Tegukan kopi hangat ditenggorokannya membuat dia memberanikan diri bercerita tentang detail kasusnya kepada kawan satu selnya itu, kepalanya masih tetap tertunduk selama menceritakan bagaimana dia hinga masuk sel ini, rasa penyesalan mendalam keluar begitu saja. Sardi hanya tersenyum. Malam semakin melarutkan mereka kedalam tragedi hidup yang tidak mereka duga sama sekali.

Adzan subuh menghentikan cerita Pak Jono, Sardi mengajak untuk beribadah subuh berjamaah. Derit pintu baja kembali terdengar menggangu mereka berdua yang khusuk dalam doa, seorang penjaga masuk dan meminta Sardi agar keluar dari sel karena ada hal penting yang harus diselesaikan. Satu jam kemudian Sardi kembali masuk dengan langkah lunglai kemudian terduduk lemas sementara kertas pada tangan yang terselip cincin perak berbentuk rantai kecil di jari kelingkingnya tak kuat menahan lembar surat itu, kemudian melayang jatuh ke lantai. Pak Jono mendekat, memungut kertas itu, setelah membaca isi surat itu muka menunjukkan ekspresi terkejut. Kawan satu selnya akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan eksekusi hukuman matinya akan dilaksanakan satu bulan lagi terhitung hari ini. Kertas itu pun melayang kembali terlepas dari tangan.

****


Target Operasi dalam Sasaran
Kamis, 14 Juni 2007. 15.45 WIB. Lokasi; Kali kuning.

”Lapor Komandan, Target Operasi masih berada didalam gubuk tua itu, ada tiga orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Ciri-ciri cocok dengan orang yang kita cari. Hasil pengintaian saya selama dua hari mendapatkan informasi bahwa setiap malam mereka melakukan aktifitas berat seperti latihan perang, setiap pagi mereka berlari seputar bukit dan lereng ini kemudian dilanjutkan latihan memanah juga melempar pisau. Mereka memiliki kemampuan militer cukup handal meskipun tidak terlihat tanda-tanda latihan menggunakan senjata api tapi berdasarkan informasi beberapa warga yang pernah memancing di sungai balik bukit ini sering terdengar suara seperti letusan senjata api. Saat ini tidak terlihat ada tanda-tanda aktifitas, laporan selesai.” Salahsatu anggota pengintaian berpakaian layaknya petani itu melaporkan keadaan sekitar lokasi.

Erlang meminta anggota tim mendekat, selembar peta dihamparkan diatas kap mesin Jeep berwarna hitam. Beberapa anggota dengan pakaian khusus berwarna hitam turun dari truk lengkap dengan rompi anti peluru, helm baja, senapan M15 tersanding dipunggung sementara pistol colt berkaliber 45 mm terpasang pada bagian paha mereka sebagai senjata cadangan. Erlang memberikan instruksi sebagaimana Standar Operasi penanganan teroris, membagi beberapa tim yang akan melakukan penyergapan dari beberapa titik yang telah ditentukan pada peta.

”Oke perhatikan, sebagaimana telah Saya sampaikan tadi malam dimarkas jadi saya hanya mengingatkan lagi, perlu diketahui yang kita hadapi kali ini tiga orang sipil yang telah memiliki pengalaman pelatihan perang, mereka angggota pasukan jihad lulusan pemberontakan Filipina, sementara kita lihat sendiri medan yang kita hadapi juga cukup sulit mengingat banyaknya tanaman dan kontur tanah berbukit-bukit, sasaran telah menguasai medan dengan baik jadi kita harus ekstra hati-hati.Tim Hijau akan berada pada ring tiga. Satu orang pada posisi utara gubuk, masing-masing satu orang disebelah barat dan timur, saya yakin pasti ada jalan rahasia selain dari pintu itu. Kalian harus siap pada ring ini. Sekarang pukul 16.58 WIB, semua sudah cocokkan waktu? Dapat dipahami?” empat orang dengan pita berwarna hijau dilengan kirinya serempak menjawab komandannya.

”Tim Kuning, bergerak perlahan dari ring tiga menuju ring dua tepat dibelakang melindungi tim merah yang menyusup dari arah pintu, dua jendela sebelah barat dan timur, kita paksa sasaran keluar menggunakan gas airmata, sementara khusus penembak jitu saya percaya anda dapat menepatkan diri pada posisi paling tepat di empat penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai sasaran kabur dan usahakan tidak ada korban jiwa terutama pada diri kita karena keluarga menunggu di rumah. Semua perlengkapan sudah siap? Berdoa mulai.” Seluruh anggota tertunduk sejenak.

Lewat alat komunikasi yang terpasang pada telinga tersambung pada mikropon fleksibel dibagian pipi, Erlang siap memimpin pasukan dari jarak diluar ring tiga. Meminta alat teropong pada salah satu anggotanya, sebuah teropong disodorkan kearahnya. Erlang memperhatikan sejenak cincin pada jari kelingking dari anggotanya yang memberikan teropong itu.
”Sekali lagi aku ucapkan terimakasih, berkat kelihaianmu bersandiwara didalam sel tempo hari, akhirnya kita mendapatkan titik terang sampai sejauh ini, mungkin sebaiknya kau jadi artis sinetron saja kawan.” Erlang menunjukkan apresiasi atas prestasi anggotanya yang telah berhasil membuka mulut tersangka yang tidak mau memberikan keterangan lewat pemeriksaan verbal, pilihan pendekatan personal dengan memasukan anggotanya kedalam sel yang sama ternyata berbuah hasil sampai sejauh ini.

”Hahaha... justru yang hebat itu sutradara gadungannya,” tangan bercincin itu menepuk-nepuk bahu Erlang.
”Kalau saja kamera CCTV dalam sel itu bisa melihat mukamu yang sedang akting didalam sel itu pasti kamu akan diketawai semua orang di korp kita! Pasti tampangmu jelek sekali saat menangis, jagal kok nangis.” Erlang tertawa lepas, tapi saat itu dia sempat kebingungan mencari akal untuk memperkuat akting anggotanya ini yang mengarah kepada skenario eksekusi mati, tiba-tiba saja sebuah ide terlintas, kemudian dia membuat petikan surat yang berisi percepatan eksekusi mati untuk Sardi.
”Siap-siap minggu depan kamu akan dieksekusi mati kawan.” Tawa mereka terlepas bebas.
Erlang mendapatkan laporan dari tim merah yang siap mendapatkan perintah dadakan karena sebelum mereka berada titik yang telah ditentukan, dari dalam gubuk itu terdengar suara bunyi kaleng yang saling beradu, rupanya sekeliling gubuk itu telah dipasangi alarm sederhana.
”Lemparkan gas air mata lewat jendela, tim merah dobrak pintu depan lalu masuk kedalam! Tim Hijau tetap pada posisi perhatikan sekitar” Erlang menerima laporan singkat dari anggota yang diperintahkannya.

Enam puluh detik kemudian laporan masuk.

”Tim Merah kepada Kepala Suku, target tidak berada didalam, target telah melarikan diri, kami menemukan satu lubang dilantai tanah sepertinya ada terowongan didalamnya. Mohon ijin untuk masuk kedalam.” Ketua tim melaporkan temuan dan minta ijin untuk mendapatkan perintah secepatnya.
”Tim Merah pecah menjadi dua, satu lakukan pengumpulan bukti sisanya lakukan pengejaran, segera laporkan terowongan itu menuju arah mana, laksanakan! Tim Hijau perhatikan dengan cermat sekeliling, tangani setiap gerakan mencurigakan. Elang satu bagaimana keadaan arah utara? Ada tanda-tanda pergerakan? Elang dua, tiga dan empat laporkan setiap gerakan, lakukan eksekusi pelumpuhan, ingat jangan dihabisi!” Erlang mengambil kembali teropong yang ditaruhnya diatas peta, menyapu semua daerah sasaran.

”Lapor komandan, terowongan mengarah menuju selatan sepertinya tembus menuju sungai dibalik bukit” Erlang segera bereaksi setelah mendapatkan laporan temuan tim merah itu. Memberi kode kepada Yanto untuk siap didalam mobil jeep dan memberikan perintah kepada anggota tim hijau bergerak kearah utara, tim kuning mendapatkan perintah kearah barat sementara tim penembak jitu tetap pada posisi karena daya pantau dan tembak mereka dapat menjangkau jarak yang sangat jauh.

Kemampuan Yanto mengendalikan kendaraan di medan berat tidak lagi diragukan, Erlang memerintahkan secepatnya menuju bibir sungai dan bergerak menyusuri kearah selatan. Mobil jeep yang handal dalam segala medan pun harus terhenti karena kumpulan bebatuan besar akibat muntahan Gunung Merapi menghadang mereka. Erlang dan Yanto dengan sigap dan cekatan keluar mobil dan berlompatan pada bebatuan besar sepanjang aliran sungai yang hanya mengalirkan sedikit air karena tertimbun pasir dan material vulkanis lainnya.

”Tim Merah kepada Kepala Suku, lapor Komandan, terowongan terpecah menjadi dua, satu kearah selatan sementara satu lagi menuju barat, Tim Merah kami bagi menjadi dua.” Erlang memerlukan sejenak berhenti untuk memproses laporan anggotanya sambil mengamati sekeliling aliran sungai. Yanto berlari kearah batu besar untuk mendapatkan pandangan pencarian lebih luas. Ketua Tim Merah memberi kode dengan gerakan tangannya, dua orang menuju barat sementara dia sendiri kearah selatan, lampu senter yang terpasang disenapan harus dinyalakan untuk mendapatkan visual yang jelas dalam lorong kecil dan gelap itu.

”Tim Merah sudah sejauh mana kalian menyusuri terowongan?
”Sekitar empat ratus meter dari titik sergap, delapan enam!”
”Elang Tiga, ada tanda-tanda pergerakan menuju selatan? Tim Kuning, kalian dengar laporan tim merah tadi, cepat lakukan penyisiran sepanjang titik barat! Seluruh anggota segera laporkan semua temuan secepatnya!” Erlang tidak ingin usaha semua anggotanya yang telah bergerak sejauh ini hanya mendapatkan temuan nihil.

”Elang Dua kepada Kepala Suku, ada gerakan satu orang dari arah barat lima ratus meter dari titik sergap, pelumpuhan sulit dilakukan akibat terhalang tanaman, Tim Kuning apakah dapat diterima dengan baik? delapan enam!” laporan itu membuat lega dalam diri Erlang, tepat perkiraannya telah membagi tim dan dia yakin Tim Kuning dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Yanto yang mengamati dari atas bebatuan memberi kode temuannya. Terdapat banyak jejak sepatu tertinggal pada pasir mengarah kepada seberang sungai ada juga yang berlawanan arah, Erlang dan Yanto saling berpandangan kemudian Erlang memberi kode anggukan kepala, mengeluarkan pistol otomatisnya dari sarungnya yang bergantung diantara lengan dan badannya yang terlindung oleh rompi anti peluru itu. Berjalan hati-hati mengikuti jejak, menyeberangi sungai yang ketinggian airnya hanya sebatas betis mereka.

Erlang berhenti sejenak ketika mereka sampai disisi seberang sungai, mengamati jejak kaki.
”Kamu lihat ini Mas? Tadi dari seberang sana kita lihat banyak sekali jejak kaki, disini juga masih terdapat banyak jejak yang sama tapi perhatikan” Erlang dan Yanto berada dalam posisi merendah memperhatikan dan menyentuh permukaan pasir hitam itu.
”Benar Dan, hanya ada satu jejak kaki yang basah menuju arah bukit itu” Yanto mengikuti jejak dengan sapuan matanya.
”Adanya yang aneh, Tim Merah yang menuju selatan dari dalam terowongan belum juga keluar padahal kita tadi mengambil jarak yang lebih jauh dari mereka. Coba kontak seluruh anggota Tim Merah, jika tidak ada laporan segera kembali menuju terowongan tadi dengan mengikuti jejak sementara aku akan lakukan pengejaran kearah bukit itu, laporkan setiap perkembangan. Oh ya, bawa lampu senter?”.

Erlang bergegas mengikuti jejak temuannya, selain mengejar sasarannya dia pun diburu waktu yang semakin mengarah menuju gelap. Sepanjang pinggiran sungai hanya terdapat pasir hitam,bebatuan berbagian ukuran dan debu tebal sisa-sisa letusan Merapi, tidak ada pepohonan, semua kering akibat debu dan awan panas Merapi. Yanto melaporkan telah menemukan pintu terowongan dan telah masuk kedalam, tapi belum sempat pertanyaan tentang tanda-tanda dari Tim Merah terjawab saluran komunikasi mengalami gangguan. Erlang menghubungi Hari yang berjaga pada pos awal penyergapan, meminta bantuan keterangan apapun mengenai lokasi menuju arahnya mengejar target karena peta tertinggal dalam mobil jeep hitamnya, tapi tidak ada jawaban.

Erlang memberikan perintah agar sisa tim yang berada ring satu segera menyusul kedalam terowongan dengan perintah khusus agar menggunakan masker. Firasatnya menjadi yakin ketika anggotanya yang melakukan pengumpulan bukti menemukan beberapa bola tenis lapangan, jika dugaannya benar maka bola itu akan digunakan sebagai senjata rakitan yang dapat mengeluarkan gas pelumpuh otot yang disebut sebagai senjata senyap, biasa digunakan oleh gerakan milisi untuk melarikan diri sekaligus melumpuhkan orang yang mengejar mereka. Kali ini Erlang kebingungan dengan jejak yang diikutinya tiba-tiba saja menghilang, jejak sepatu yang basah itu telah mengering karena debu tebal tapi kini dihadapannya hanya ada bongkahan batu-batu besar sehingga jejak yang semula dapat terlacak pada permukan debu tebal tak lagi dapat dia ikuti, tiba-tiba dikejutkan dengan suara letusan senjata api.

Erlang berteriak berharap siapapun dapat memberikan laporan secepatnya, gangguan komunikasi membuat dirinya harus menaiki batu besar itu namun yang terdengar hanya suara-suara tidak jelas, dirinya baru sadar telah berada diluar jangkauan efektif komunikasi mereka, sementara langit mulai tidak bersahabat dengan mendungnya. Erlang merasakan rasa sakit luar biasa pada bagian belakang paha kirinya, sebuah belati telah tertancap cukup dalam pada kakinya itu menyebabkan Erlang kehilangan keseimbangan namun sebelum terjatuh dia sempat melihat gerakan seseorang yang berlari diantara bebatuan besar.

Getaran tubuhnya seperti diguncang-guncang dan tetesan hujan yang cukup lebat menyadarkan Erlang dari pingsan sesaat akibat terjatuh dan kepalanya menghantam batu dibawahnya, darah yang keluar dari pelipisnya tidak sebanyak dari bagian pahanya yang masih tertancap belati. Bagian pelipis dan paha kirinya kini terasa hangat membangunkan kesadarannya dengan cepat memberikan instruksi bagi dirinya sendiri agar menghentikan pendarahan yang hanya mengeluarkan sedikit darah menggunakan sobekan kain dari baju lengan panjangnya. Menahan sakit pada bagian kaki dan pusing kepalanya, dia merasa heran karena tidak lagi menemukan belati yang tadi tertancap pada pahanya, sepotong doa dia panjatkan dalam guyuran hujan gerimis. Entah berapa lama dirinya pingsan tapi hari telah gelap sementara alat komunikasinya rusak akibat terjatuh tadi.

Penguasaan dirinya harus cepat pulih, sebuah senter dikeluarkan dari saku celana khaki berwarna hijaunya, tertatih mencari pistol kaliber 45nya. Rasa lelahnya memaksa dirinya harus bersandar pada bongkahan batu tapi dia merasakan kehangatan yang memberikan kenyamanan pada bagian paha dan pelipisnya, kesulitan komunikasi dan jarak yang ada, memposisikan dirinya harus berjuang sendirian tapi setidaknya malam ini dia ditemani pistolnya. Kesadarannya yang masih tipis mencoba mengingat-ingat sesuatu. Dia yakin disekitar lokasi terdapat bungker tempat perlindungan bagi petani jika suatu waktu Gunung Merapi meletus sementara mereka terlalu jauh untuk berlindung pada posko terdekat.

Sementara itu seluruh tim telah bergabung pada titik yang sama, gubuk tua itu berguna bagi mereka untuk berlindung dari hujan dan tempat sementara untuk pengobatan angota yang kritis terkena peluru serta dua anggota yang belum juga sadar akibat menghirup gas pelumpuh otot. Dua orang tersangka tertangkap, salah satu diantaranya terkena luka tembak pada bahu kirinya. Penembak jitu dengan sandi Elang Dua telah melumpuhkan target setelah terdengar letusan senjata Ak 4 yang dipakai target menembak salahsatu anggota Tim Kuning yang tengah mengejar target operasi, dari posisinya dia mendapatkan target berada pada pandangan yang jelas meski bersembunyi dari balik batu tapi target operasi itu tidak sadar jika dia pun menjadi sasaran penembak jitu dari atas bukit, sebuah peluru tepat mengenai bahu kiri bagian belakang hingga menembus batu tempat perlindungannya.

Hari masih mencoba menghubungi Komandannya tapi nihil tidak ada tanda-tanda jawaban sama sekali, sementara Yanto yang menjadi korban senjata senyap setelah menyusul kedalam terowongan itu belum dapat memberikan keterangan posisi terakhir dirinya bersama sang Komandan. Kemampuannya menjadi Ketua Tim dadakan sedang diuji oleh situasi kritis meskipun diantara Erlang dan Yanto, dirinya memang lebih junior, tapi bimbingan kedua partnernya selama ini membuat kepercayaan dirinya muncul. Hari mengambil keputusan setelah mengadakan instruksi dadakan. Dia hanya meminta dua orang menemani dirinya mencari komandannya sementara yang lain menunggu bantuan medis dan mempercayakan Ketua Tim Hijau mengambil alih pimpinan hingga menuju markas dan rumah sakit.

Hari memberi kode kepada dua anggota yang ditunjuknya agar mempersiapkan semua perlengkapan yang diperlukan, mereka berencana menyusul Erlang dengan cara menyusuri kembali terowongan yang sama karena jalan tercepat, sebelum mereka turun kedalam terowongan seorang penembak jitu memberikan teropong berkemampuan penglihatan malamnya kepada Hari. Masker, senter dan senjata api memberikan keyakinan bagi mereka untuk dapat menyusul Komandannya yang berada entah dimana dan bagaimana kondisinya diluar sana.


Firasat Buruk
Kamis, 14 Juni 2007. 18. 45 WIB. Lokasi; Kontrakan Nadhien.

Gelas berisi teh panas itu tiba-tiba terlepas begitu saja dari genggaman Raya menghantam lantai keramik, membuat Nadhien terkejut mendengar suara pecahan gelas itu sementara Raya hanya terdiam kaku melihat pecahan gelas. Gerimis belum juga berhenti sejak sore tadi, rupanya hujan kecil ini merata membasahi wilayah Jogjakarta, bulan yang seharusnya bersinar terang tertutup awan tipis. Nadhien merawat kaki Raya yang berdarah akibat terkena pecahan gelas, lagu berjudul Firasat yang dilantunkan oleh Marcel, terdengar dari laptop Nadhien menambah kuatnya kekhawatiran perasaan dalam hati Raya yang masih terkesan shock tidak banyak berbicara seperti biasanya.

Nadhien menawarkan Raya segelas air putih kali ini, baru kali ini dia melihat Raya berprilaku tidak sebagaimana mestinya yang selalu ceria. Air putih digelas itu berisi tinggal separuh, Nadhien memberanikan diri memegang tangan Raya yang menggenggam erat gelas itu khawatir akan jatuh lagi. Sentuhan lembut tangan Nadhien memberikan sebentuk suport mental bagi Raya untuk menjawab pertanyaan Nadhien yang berulang-ulang dilontarkan namun belum juga dia jawab sejak menjatuhkan gelas tadi.
”Mas, Mas Raya baik-baik saja? Ayo dong ngomong, kenapa toh? Koq dari tadi cuma diam aja.” sorot mata teduh Nadhien baru tersadarkan oleh Raya setelah dagunya terangkat oleh tangan Nadhien yang masih penasaran dengan kondisi anehnya itu. Nadhien melihat sorot mata Raya seperti kosong tetapi pergerakan pupil dan kornea menunjukkan ada aktifitas otak yang berlebih dan gerakan jantung yang bekerja dengan cepat. Nadhien menangkap sinyal kecemasan dalam diri Raya kali ini meskipun tubuhnya tidak melakukan pergerakan yang menunjukkan hal itu misalnya berjalan mondar-mandir seperti orang bingung.

”Non, kurasa ada sesuatu hal buruk yang terjadi pada orang dekatku saat ini, aku yakin tapi belum pasti siapa orang itu” mata Raya kali seperti menyala menatap Nadhien yang belum memahami maksud ucapannya.
”Tapi kamu baik-baik saja kan? Apa hal seperti pernah terjadi sebelumnya Mas?” kekhawatiran dan rasa ingin tahu Nadhien bercampur.
”Ya, aku baik-baik aja cuma aku perlu waktu sebentar untuk menstabilkan diriku. Sering sekali aku merasakan hal ini terutama jika orang-orang terdekatku sedang dalam musibah. Aku boleh minta tolong gak?”
”Ya, apa pun Mas, gak masalah”
”Aku harus berada dalam posisi setenang mungkin, supaya aku mengetahui siapa yang sedang mengalami musibah. Bisa minta tolong matikan musik itu sebentar saja.” Nadhien melakukan sebagaimana permintaan Raya.

”Boleh aku melakukan meditasi disini sebentar saja, selain itu aku juga perlu bantuanmu untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa menggangu konsentrasiku, bisa?”
”Bi..bisa.. Mas, tapi untuk apa?” Nadhien tergagap masih belum juga memahami kehendak Raya.
”Nanti aku ceritakan setelah ini” Raya sudah mengambil posisi meditasi, duduk bersila dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri yang terlipat menyentuh lantai, badannya tegak namun tidak tegang, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya sementara jari-jarinya membentuk cincin, nafasnya teratur ringan.

Nadhien hanya diam memperhatikan, dia terkejut melihat sekeliling tubuh Raya bersinar lembut terutama didahinya ada titik bersinar terang, seperti ada aura transparan menyelimuti tubuh itu. Penuh konsentrasi Raya mengatur nafasnya berada dalam hitungan tujuh ketukan setiap tarikan, tahan dan hembusan nafasnya. Dia mencoba menyatukan unsur pribadi, bumi dan angkasa sebagaimana biasa dia lakukan setiap kali berlatih pernapasan pada sebuah Paguyuban Seni Pernapasan dan Meditasi. Alam bawah kesadarannya dipanggilnya untuk mengetahui firasat apa yang dia rasakan. Citra-citra seluruh keluarga serta orang terdekatnya dia tampilkan dengan kekuatan pikirannya, dengan cara inilah dia dapat mengetahui keadaan mereka meskipun berjauhan jaraknya. Dia percaya ada media yang dapat menghubungkan antara dirinya dengan mereka melalui cara meditasi.

Citra yang pertama kali dia hadirkan adalah Ibunya kemudian Bapaknya dan kedua saudaranya, dari alam bawah sadarnya Raya mengetahui mereka semua baik-baik saja. Konsentrasinya kini menampilkan citra kawan-kawan akrabnya, dia bertemu Jane disana bahkan sempat berkomunikasi karena Jane memiliki keistimewaan bawaan lahir. Hampir semua keluarga dan teman terdekatnya sudah dia hubungi dengan cara ini tapi dia masih belum mendapatkan jawaban atas kegelisahannya tadi. Kali ini dia memaksa penuh kemampuan dirinya, lintasan bola warna-warni beterbangan dihadapan Raya.

Nadhien menjadi semakin khawatir ketika tubuh Raya yang semula hanya diam tenang kini perlahan bergetar hingga seperti terguncang-guncang tubuhnya meski tetap dalam posisi meditasi awalnya. Ada keinginan untuk memegang Raya dan menghentikan ini tapi tiba-tiba dia seperti mendengarkan suara Raya yang berbisik, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, percayakan pada dirinya. Di alam pikirannya Raya merasakan sinyal penyebab firasatnya itu, dia seperti berada disuatu tempat gelap penuh dengan kabut tipis, berjalan perlahan mencari apapun yang tertemui. Sebuah bola cahaya berwarna emas sejenis orb menjadi pemandu pada sesosok tubuh yang tergeletak lemah, dia kenali sosok itu meski hanya berupa bentuk tubuh berwarna merah dan hitam terutama dibagian wajah menyala merah.

Raya menyandarkan sosok yang ditemukannya pada sebuah batu besar, telapak tangan Raya bersinar keemasan terang kemudian mencabut sesuatu dari dikaki itu dan berkonsentrasi pada bagian luka dikepala dan paha dari sosok yang ditemukannya, dia percaya energi murni dalam tubuhnya yang merupakan hasil olahan Adenossin Tri Pospat dapat digunakan sebagai penyembuhan alternatif yang dapat ditransfer pada siapapun. Energi hangat mengalir keluar dari titik pusat Kundhalini berputar menjulur melewati titik-titik cakra tubuhnya kemudian disalurkan melalui tangan kepada titik-titik yang diinginkan untuk memperbaiki jaringan yang rusak disitu.

Nadhien masih memperhatikan tubuh Raya yang kini bergetar halus sementara sekujur tubuhnya dibasah keringat. Suasana kamar menjadi panas padahal sejak sore tadi suhu kamar cukup dingin akibat turun hujan. Getaran tubuh Raya mulai mereda dan berhenti, tubuhnya terkulai lemah dari posisi meditasi awalnya, membuka kelopak matanya dan melihat wajah Nadhien yang begitu cemas akan keadaan Raya. Segelas air putih habis diteguk menggantikan cairan tubuhnya yang keluar cukup banyak.

Kondisi Raya masih lemah tapi seperti ada hal penting yang harus dia lakukan saat itu juga, Nadhien mencegah Raya yang hendak keluar dari kamarnya. Dia khawatir kondisinya saat ini dapat membahayakan dirinya terlebih malam ini hujan mulai turun cukup deras diselingi angin kencang. Raya mengalah dengan tatapan Nadhien tapi bukan berarti menghentikan niatnya, dia mengambil handphonenya yang berukuran cukup besar biasa digunakan bagi penggemar kegiatan petualangan alam terbuka, berteknologi kurang canggih namun memiliki kelebihan kekuatan sinyal. Nomor Erlang coba dia hubungi tapi gagal, kali ini dia mencoba menghubungi Yanto tapi tidak ada jawaban sementara handphone milik Yanto hanya bergetar tak terdengar oleh siapapun yang ada disitu. Hanya ada satu kesempatan lagi, nomor Hari.
Suara dering monoponik dari handphone bermerk dan seri yang sama seperti milik Raya terangkat oleh Hari, menjawab pangilan masuk.
”Maaf Mas jangan sekarang, nanti saja hubungi saya lagi. Saya ada keperluan penting” suara Hari terdengar cukup jelas dengan backsound suara hujan, angin dan gelegar petir yang memberikan gambaran disekitar situ. Hari memutuskan hubungan telepon, masih bingung menentukan arah mana yang harus dia ambil dipinggir sungai setelah keluar dari terowongan. Raya terkejut setelah Hari memutuskan hubungan teleponnya, dia menekan kembali tombol panggilan keluar.

”Hallo Mas Hari, dengarkan dulu sebentar, tolong jangan dimatikan! Saya tahu dimana lokasi Mas Erlang” suara Raya terdengar sangat jelas ditelinga Hari membuat dirinya terkejut. Bagaimana Raya bisa mengetahui posisi Erlang sedang mereka saja tidak dapat menghubungi Komandannya itu, terlebih Operasi Penyergapan itu bersifat rahasia jadi tidak mungkin Raya mengetahui dimana posisi Erlang.
”Apa maksud kamu Mas?” Hari masih belum mengerti, langkahnya terhenti tapi tangannya memberi kode agar dua anggotanya mencari petunjuk sekecil apapun sementara dia mendengarkan Raya.
”Percaya saya Mas!, sekarang Mas Hari dan kedua anggota cepat menyeberangi sungai itu kearah timur terus lewati bebatuan, nanti disebelah kanan batu paling besar disitu ada pohon jati yang kering pada akarnya ada sebilah belati, ambil saja mungkin berguna sebagai bukti.” Kali ini ada dua orang, Hari dan Nadhien, yang tercengkang kebingungan mendengarkan perintah Raya. Segera Hari memerintahkan anggotanya untuk bergerak.


Lokasi; Pengejaran Target Operasi yang lolos

Erlang sudah sepenuhnya menguasai dirinya, berjalan terseok diantara bebatuan kecil yang menjadi licin akibat guyuran hujan dan lumpur. Sebuah bangunan kecil yang sebagian terkubur pasir dan bebatuan pada jarak puluhan meter terlihat berkat kilatan petir yang membelah gelapnya malam, panduan lampu senter kecil ditangannya membimbing langkah Erlang diantara bebatuan. Lampu senternya dimatikan ketika jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari sisi bagian kiri bungker itu dia tidak ingin kehadirannya diketahui target operasinya. Merapatkan tubuhnya pada dinding bungker, Erlang memastikan peluru dalam magazinenya masih ada dan melepaskan tombol pengaman pelatuk pada pistolnya. Terdengar suara dari dalam bungker yang gelap gulita.

Batu sebesar kepalan tangannya dilemparkan pada pintu baja yang tidak lagi dapat tertutup sempurna akibat desakan material vulakinik Merapi, menunggu reaksi dari dalam. Sebuah batu dilemparkan sekali lagi, tiba-tiba dia seperti melihat kelebatan dari arah dalam berlari menyeruak kegelapan malam. Teriakannya terdengar keras memberikan peringatan agar orang yang dicarinya itu berhenti dan memberi tahukan identitasnya bahwa dia adalah seorang Polisi. Kilatan petir membantu Erlang yang sesaat melihat targetnya yang lari diantara bebatuan, Erlang berlari mengejarnya tapi sayang kondisinya yang belum pulih dan licinnya medan membuat dirinya terperosok, lampu senter kecilnya terlepas dari tangannya dan tidak menyala. Erlang menunggu dengan posisi membidik diatas bebatuan berharap kilatan petir, satu-satunya bantuan penglihatannya, agar datang kembali. Doanya terkabul, petir mengelegar dan membuat terang dalam hitungan beberapa detik saja. Terdengar dua suara letusan senjata api, kemudian gelap kembali.

Rasa sakit dan panas luar biasa dibagian depan bahu kirinya menyebabkan darahnya mengalir kembali, rupanya bukan hanya dia yang melepaskan tembakan tapi dia juga yakin pelurunya tepat mengenai sasaran karena terdengar suara orang terjatuh. Erlang terus memaksa dirinya untuk tetap melangkah mengejar sasarannya, lima belas meter dari posisinya melepaskan tembakan terdapat bercak darah pada sebuah batu tapi dia tidak menemukan siapapun disana. Erlang melompat bersembunyi kearah batu setinggi satu meter, jantungnya berdetak kencang, luka baru dibahunya membuat dirinya sangat menderita, sekarang dia dan pistolnya harus mempersiapkan diri setelah mendengar suara dari belakangnya.

Badannya yang bersandar membelakangi batu pelindungnya, beberapa sorot lampu senter terlihat. Tiga orang, setidaknya dia memperkirakan serangan dari belakangnya, Erlang menekan tombol untuk mengeluarkan magazine dari body colt 45nya, mengecek kembali jumlah peluru yang ada, minimal harus ada tiga peluru didalam situ, lebih banyak lebih baik lagi. Suara langkahnya semakin jelas, perkiraannya sekarang mungkin mereka berada tepat didepan bungker tadi, berarti sekitar dua puluh meter jarak dia dengan orang-orang yang baru saja datang dan semakin mendekat. Erlang merubah posisinya dari balik batu itu dengan pistol mengarah kepada asal suara, berharap kembali petir yang membantu dirinya tadi dapat datang kembali.

Jari telunjuknya sudah siap pada pelatuk, membidik sasaran yang dapat saja muncul dalam hitungan detik dari balik gelapnya malam. Kilatan petir seperti akar terang yang menjalar cepat dihamparan langit hitam muncul kembali. Suara letusan kembali terdengar dari pistol Erlang yang masih mengeluarkan asap efek yang diciptakan akibat letusan mesiu, diujung laras pendeknya. Erlang berteriak menyebutkan identitasnya dari balik batu itu dan menanyakan keadaan sasaran baru bidikan pistolnya tadi. Untung saja Hari berteriak sesaat sebelum kilat menyambar, refleknya merubah bidikan kearah lebih tinggi lagi telah menyelamatkan anggotanya dari serangan Komandannya sendiri. Erlang dan ketiga anggotanya merasa lega.

Hari meminta ijin melakukan pengejaran sementara dia harus meninggalkan seorang anggota untuk merawat Erlang dan memanggil bantuan. Informasi terakhir Komandannya mengenai status sasaran yang terluka tembak membuat Hari dan satu orang anggota menjadi lebih bersemangat tapi pesan Erlang agar mereka tetap berhati-hati karena sasaran membawa senjata api.


Kontrakan Nadhien

Raya terduduk lemah akibat kehilangan energi cukup banyak dalam meditasinya tadi. Tangannya berusaha menekan tombol panggilan terakhir kepada Hari untuk mengetahui perkembangan. Jawaban yang didapat hanya singkat, penolakan Hari untuk berbicara dengan Raya bisa saja membuat konsentrasi terpecah dan membahayakan nyawa Hari. Nadhien sudah mulai menguasai dirinya dari kecemasannya dan menawarkan teh hangat dicampur sedikit madu.

”Minum ini Mas, lumayan supaya kamu gak terlau lemas” ucapan terimakasih hanya terdengar pelan sekali.
”Gimana sudah agak baik?” anggukan kepala itu sebagai jawabannya
”Mas, bisa tolong ceritain tadi itu kenapa toh Mas? Kenapa tiba-tiba Mas Raya jadi begini? Terus yang Mas hubungi tadi siapa?” Nadhien sudah tidak tahan lagi untuk mengetahui jawaban kecemasannya, dia tidak peduli lagi apakah Raya telah kuat untuk menjawab pertanyaannya itu.

Raya menguatkan dirinya untuk bercerita, statusnya yang berada dalam ruang bedah mayat dia jadikan sebagai pembuka cerita kemudian dia menjelaskan kaitan dirinya yang sangat rumit hingga menjadikan dirinya terlibat pada kasus pembunuhan itu dan terakhir dia menjelaskan mengapa dia harus melakukan meditasi tadi. Dia menyadari kemampuan lebihnya yang dapat melihat dan mengetahui kejadian yang berjarak jauh dari dirinya atau dalam ilmu para-psikologi dikenal sebagai clair voyance ini didapatkan hasil dari latihan meditasi dan pernafasan karena sering terus dilatih maka dia akan keluar dengan sendirinya, dia juga yakin setelah mendengarkan penjelasan dari pelatihnya bahwa manusia baru menggunakan sekitar dua puluh persen dari potensi dalam dirinya dan jika diagali terus maka manusia baru sadar akan kemampuannya yang tak terkira selama ini. Itu sebabnya tiba-tiba dia seperti merasakan ada sesuatu hal buruk sedang terjadi, kali ini kaitannya dengan Erlang yang sedang mengalami masa kritis.

Nadhien yang terbiasa dengan ilmu pasti dan pikiran-pikiran skeptisnya cukup sulit untuk mempercayai hal itu, meskipun dia sering melihat buku-buku tentang penggalian kemampuan bawah sadar manusia melalui berbagai meditasi tapi dia hanya melihat cover bukunya saja karena baginya itu adalah bohong belaka, sekarang dia baru sadar dengan istilah ”don`t judge abook from it`s cover”, selain itu juga dia sangat terkejut dengan status Raya yang selama ini mengaku sebagai mahasiswa yang sedang penelitian skripsi. Nadhien berharap informasi lebih banyak lagi dari keterangan Raya, tapi dia meminta waktu untuk tidak menjelaskannya saat ini. Raya mengingatkan Nadhien bahwa mereka belum menunaikan ibadah malam ini, Raya juga meminta secara khusus agar Nadhien berdoa untuk keselamatan Erlang dan timnya.


Jawaban atas Doa Tulus
Lokasi; Rumah Sakit Sardjito, bagian ICU. 01.05 WIB

Raya dan Nadhien menunggu dengan cemas didepan bagian Intensif Care Unit, mereka mendapatkan informasi dari Hari bahwa Erlang telah dibawa kerumah sakit dalam kondisi kritis. Raya yakin bahwa suara deru mesin helikopter yang melintas diatas kontrakan Nadhien selepas shalat tadi adalah helikopter yang membawa Erlang dari lokasi menuju Rumah Sakit Sardjito yang letaknya tidak jauh dari kontrakan itu. Hari datang mendorong Yanto pada kursi roda, sesaat setelah sadar dari ruang UGD, dia memaksa untuk melihat kondisi Komandannya yang kritis, dihadapan mereka Yanto menangis merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Erlang. Hari menenangkan dan menjelaskan kepada Yanto bahwa dia tidak bersalah bahkan diri masih belum bisa berjalan akibat ototnya yang belum dapat digerakkan tapi ini hanya bersifat sementara menurut keterangan dokter.

Pintu ruang ICU terbuka, seorang dokter dan perawat mendekati mereka. Menjelaskan bahwa Erlang telah melewati masa kritisnya dan peluru yang bersarang pada bahunya telah dikeluarkan sejak diruang operasi tadi tapi dia masih perlu waktu yang lama untuk istirahat. Dokter memberikan ijin bagi keluarga dekatnya untuk melihat kondisi Erlang tapi berlaku untuk dua orang setiap kali masuk. Raya dan Nadhien mendapatkan kesempatan pertama karena Hari harus menenangkan Yanto terlebih dahulu, dia tidak ingin nanti didalam sana emosinya tidak terkendali.

Raya mengambil kursi kecil dan mempersilahkan Nadhien untuk duduk disamping tempat Erlang terbaring. Status jantung Erlang dapat termonitor seperti sandi rumput atau kilatan listrik pada sebuah layar kecil itu. Nadhien tidak dapat berbuat apa-apa hanya terdiam mungkin merapal doa dalam hati meskipun dia hanya bertemu sekali didalam ruang bedah mayat tempo hari tapi empatinya terhadap Erlang cukup tinggi. Raya mulai mengosok-gosokan kedua telapak tangannya lalu merasakan getaran halusnya muncul ketika beberapa detik kedua telapak tangan saling berhadapan tanpa bersentuhan kemudian mendekatkan telapak tangan kanannya kearah luka dibahu dan telapak kirinya memegang telapak tangan Erlang. Nadhien hanya dapat menyaksikan saja sambil bertanya-tanya dalam hati, entah apa lagi yang dilakukan Raya yang terpejam penuh konsentrasi.

Beberapa detik setelah Raya melepaskan tangannya, Erlang memperlihatkan tanda-tanda vitalnya, kelopak matanya terbuka lemah sekali nafasnya dibantu masker yang mengalirkan oksigen. Nadhien tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya, dia berdiri seolah ingin menunjukkan kehadirannya disisi Erlang memberi suport baginya, Raya hanya tersenyum memahami kedipan mata lemah itu. Nadhien sampai menitik air mata, salut dengan kegigihan Erlang untuk bertahan hidup.

”Gak masalah Mas. Biar aku saja yang tunggu Mas Erlang disini, Mas Hari dan Mas Yanto istirahat saja dulu.” Raya memahami alasan Hari dan Yanto setelah keluar dari ruang ICU yang tidak dapat menunggui Komandannya malam ini, sementara anggota lainnya juga disibukkan menjaga tahanan yang baru saja mereka tangkap yang juga dirawat di rumah sakit ini dan beberapa lagi diantaranya istirahat di markas setelah melakukan operasi penangkapan yang melelahkan. Nadhien memaksa Raya untuk menemaninya malam ini, meskipun Raya melarang tapi kemauan kerasnya tidak dapat dicegah karena dia juga tidak yakin dengan kondisi Raya.

Malam terus bergerak menuju pergantian hari, Nadhien mempercayakan dirinya tertidur dalam pangkuan Raya. Penyakit Insomnianya tetap tidak dapat dikompromikan meskipun tubuhnya masih terasa lelah, sepanjang malam dia hanya memperhatikan wajah Nadhien yang polos dan tenang dalam tidurnya, tangannya masih mengelus rambut halus itu, tidak menyangka dapat sedekat ini dengan Nadhien. Tepat jam dua dini hari seorang anggota berpangkat rendah datang mengantar kopi, susu panas dan beberapa makanan ringan kemudian pamit kembali untuk menjaga tahanan di ruang UGD.

Nadhien terbangun namun kepalanya terasa berat dan sakit sekali, migrainnya kambuh lagi. Raya melarang Nadhien yang hendak duduk, meminta agar tetap pada posisi tidurnya dalam pangkuan. Raya kembali melakukan gosokan tangannya itu, meminta ijin pada Nadhien, memberikan instruksi agar diam saja dan membantunya dengan nafas teratur. Nadhien merasakan hangat dan seperti ada gelombang yang merambat lembut dari telapak Raya yang didekatkan kearah kepalanya, perlahan rasa nyamannya membuat rasa sakit pada pembuluh darah dikepalanya berkurang, Raya hanya tersenyum melihat Nadhien yang tidak lagi menahan rasa sakit. Nadhien mencium telapak tangan Raya sebagai bentuk rasa terimakasihnya kini dia mengetahui rahasia kemampuan Raya yang terpendam itu.

”Ada kopi dan susu panas, kamu mau minum atau lanjut tidur lagi?” Raya menawarkan minuman panas yang diantarkan bagi mereka. Nadhien terbangun dengan semangat.
”Kebetulan malam ini aku belum minum susu, Mas Raya minum kopi aja ya?” Nadhien telah mengambil pilihannya dan menyodorkan gelas plastik berisi kopi panas pada Raya. Nadhien memperhatikan langit kemudian mengajak Raya untuk keluar menikmati bulan yang bersinar terang didepan taman kecil itu.

Raya merasa kikuk untuk berbicara dengan Nadhien, gelas kopi panas tidak pernah lepas dari tangannya.
”Non, aku boleh tanya sesuatu?” Raya akhirnya memberanikan diri bertanya pada Nadhien yang masih memperhatikan bulan.
”Tanya apa Mas?”
”Eh, gak jadi deh. Nanti aja.” senyum Raya terkesan kaku dan dipaksakan
”Loh kok gak jadi! Mau tanya apaan sih tadi?” Nadhien menjadi semakin penasaran.
”Aku takut kamu nanti marah. Besok lagi aja deh!”
”Marah? Kenapa aku harus marah Mas?” tetap tidak juga mau berbicara meskipun Nadhien terus mendesak dan mencubiti Raya semakin membuatnya menjadi jengkel.
”Ya sudah kalau gak mau kasih tahu. Lebih baik aku tidur lagi, sudah ngantuk nih.” Nadhien mengajak Raya kembali pada ruang tunggu.

Permintaan Nadhien untuk tidur pada pangkuan Raya dikabulkan, lagipula tidak ada bantal diruang tunggu itu. Nadhien sudah pada posisinya untuk tidur, mengucapkan selamat tidur. Raya memperbaiki posisi jaketnya yang dijadikan penghangat bagi tubuh Nadhien. Pandangan mereka bertemu pada titik yang sama sebelum Nadhien memejamkan mata, kemudian tersenyum.
”Non, boleh aku pegang rambutmu selama kamu tidur?” Raya meminta ijin atas tindakan yang telah dia lakukan sebelumnya.
”Boleh aja kok Mas, lagian dari tadi kan Mas Raya juga dah pegang rambutku” Raya tak dapat menyembunyikan malunya tapi Nadhien terkesan tidak berkeberatan.
”Oohh, jadi dari tadi kamu gak tidur toh?” Raya menarik gemas hidung Nadhien yang mungil.
”Aduh sakit Mas, ampun. Hiihiiihii lepasin dong!” Nadhien berontak agar terlepas.
”Ssstt... jangan berisik. Kamu sadar gak? Kita lagi di rumah sakit.” Raya mengecilkan suaranya agar tidak menganggu orang disekitar meskipun malam ini di ruang tunggu tidak ada orang lain.

Nadhien sudah tidak bersuara lagi dalam pangkuan Raya yang terus mengelus lembut rambut halus itu. Kopi panas yang diminumnya tadi justru memperkuat efek insomnianya. Dia hanya termenung memperhatikan wajah Nadhien, matanya menikmati keindahan bibir tipis, hidung yang mungil dan alis yang bergaris hitam tegas tidak terlalu tebal, tiba-tiba mata Nadhien terbuka.
”Hayo, Mas Raya ngelamunin apa?” reflek tangan Raya pun memencet hidung Nadhien, mereka tertawa kecil menahan agar tidak meledak keluar.
”Non, kamu mau gak jadi pacar aku? Yaa itung-itung merawat orang telantar kayak aku ini sama seperti merawat anak asuh, nanti kamu dapat pahala loh!”
”Ah Mas Raya ini becanda, mana mungkin kamu suka dengan aku yang jelek ini?” Nadhien tersenyum menggoda
”Aku serius Non, bersediakah kamu menjadi pacarku, seperti Adam yang menemukan Hawa sebagai belahan jiwanya?” sorot mata Raya berbinar serius menerobos bening mata Nadhien untuk mengetahui dalam hatinya. Nadhien yang berada dalam pangkuan Raya tersentak dengan ucapan dan sorot mata itu.
”Mas Raya seriuskah?” suaranya bergetar, dari posisinya ini Raya dapat mendengarkan detak jantung Nadhien.
”Insya Allah, aku tidak ragu atas perasaanku terhadapmu!” Raya menunggu jawaban Nadhien, teror mental beberapa detik itu seperti membunuh Raya, apa jadinya jika Nadhien menolak? Betapa malunya dia nanti jika cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Nadhien hanya tersenyum mengamati Raya yang mulai gelisah, dahinya mulai basah berharap cemas akan jawaban Nadhien. Lembut tapi pasti Nadhien memberi kode dengan kepalanya. Raya tersenyum puas tapi tidak cukup hanya dengan jawaban itu.
”Bisa jadi aku salah mempersepsikan anggukan kepalamu, jadi tolong jawab dengan bibir manismu itu Non.” Raya menantikan detik-detik itu.

Tangan Raya ditarik kearah dada Nadhien yang berdebar cukup kencang, bibir tipisnya seperti siap memberikan jawaban.
”Mas Raya tidak yakin dengan perasaanku ini? Aku bersedia Mas!” perasaan lega dan sensasi lainnya bergejolak bercampur seperti hendak meledak dalam dada. Mereka terus tersenyum saling berpandangan. Meminta ijin agar dapat mencium kening Nadhien, dijawab dengan anggukan lembut dan mata terpejam. Raya mencium kening itu, hanya sejauh inilah batasan itu, dalam hatinya berjanji akan menjaga kepercayaan ini dan kewajiban Raya untuk dapat menjaga kehormatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Nadhien menarik tangan Raya mencium telapak itu dan menaruhnya pada pipi lembutnya. Nadhien tertidur dengan damai, sedamai perasaan Raya yang masih mengelus rambut halusnya.

Suara panggilan bagi umat untuk menghadap penciptaNya, membangunkan Nadhien yang terasa nyaman dari tidur singkatnya. Raya tertidur bersandar pada tembok.
”Mas...Mas... Bangun Mas” suara lembut itu membangunkan Raya yang disambut dengan senyuman manis kekasih hatinya kini.
”Bersedia menjadi imam buat aku, Mas?” Raya merasakan sempurna hidupnya kini.


RSUP Sardjito, Empat jam kemudian.

Handphone milik Raya berdering, terdengar suara Hari meminta agar Raya dan Nadhien bisa pulang untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain, Hari menunggu di ruang UGD. Tepat jam sembilan pagi, hari ini Nadhien harus masuk kampus, mereka meninggalkan Erlang yang masih tertidur, berjalan menuju tempat Hari menunggu.
”Apa kabar kalian? Pasti lelah sekali ya?” Hari keluar dari ruang UGD memeriksa keadaan dua hasil tangkapan mereka yang terluka pada bagian bahu dan kaki kiri mereka masing-masing. Jawaban ringan mereka tidak menggambarkan kelelahan yang dikhawatirkan Hari.
”Tolong titip Mas Erlang, mungkin nanti sore aku jenguk kesini lagi. Maaf aku harus antar tuan puteri ini ke kampus.” Nadhien yang disebut sebagai tuan puteri tersenyum manis dan mencubit kecil tangan Raya, Hari hanya tersenyum melihat kemesraan mereka.

”Jadi semalam dapat berapa orang yang tertangkap Mas? Bagaimana keadaan mereka?” Hari menjawab pertanyaan Raya sambil menunjukkan hasil tangkapan mereka kedalam ruang UGD. Ruangan itu hanya berisi dua orang pasien titipan Polisi, mereka terborgol pada tempat tidur mereka masing-masing. Ruangan luas itu menjadi sempit karena terbagi menjadi beberapa ruang kecil yang tersekat dengan selembar kain hijau untuk setiap pasien. Hari, Raya dan Nadhien berada pada pasien yang terluka pada kakinya sementara hasil tangkapan satu lagi berada disebelah satunya dibatasi kain hijau.

Teriakan Nadhien membuat Raya dan Hari terkejut. Nadhien hanya menangis, terguncang, menatap lemah pada kekasihnya yang baru saja dia miliki, sementara Raya tak dapat berbuat apapun. Hari hanya mengarahkan pistolnya dengan ragu, ancaman seseorang yang berlindung dibalik sandera tidak bisa dianggap main-main. Rupanya salah satu tersangka yang berada dibalik kain hijau itu bangkit mengalungkan leher Nadhien dengan pisau bedah yang mungkin dia sembunyikan semalam ketika dilakukan operasi penanganan luka tembak dibahu kirinya, meskipun tangan kanannya terborgol pada ranjang besi dan luka dibahu mengeluarkan darah lagi tapi ancamannya membuat Hari harus memenuhi permintaan orang itu.

Hari meletakan senjatanya dilantai, menendangnya kearah pintu dan memberikan kunci borgol untuk diberikan kepada Nadhien sesuai perintah orang yang berlindung dibalik tubuh Nadhien. Raya hanya bisa menenangkan Nadhien lewat tatapan matanya. Tangannya gemetaran dengan luka sayatan kecil dileher akibat pisau bedah yang tertekan pada kulitnya, Nadhien membukakan borgol dari tangan penyanderanya. Kunci kecil itu telah berpindah tangan, kemudian memerintahkan kepada Hari untuk memasangkan borgol itu ketangannya sendiri dan tangan Raya. Kini penyandera dapat bergerak leluasa, dengan sandera dan penghalangnya akan kesulitan menyerang dengan borgol ditangan mereka.

Penyandera berjalan mundur, tangannya masih memegang pisau bedah yang diarahkan menuju leher sanderanya, berjalan perlahan dengan ancamannya menuju pintu, mengambil pistol milik Hari bahkan sebelum keluar dari pintu itu dia menyempatkan membuang kunci borgol kedalam wastafel tempat bagi dokter untuk mencuci tangan. Nadhien jatuh terdorong setelah penyandera itu berlari keluar dengan acungan senjata api. Hari dan Raya memastikan keadaan Nadhien yang masih terguncang kemudian lari mengejar dengan kondisi terborgol satu sama lain. Tidak sulit mengikuti arah penyandera itu berlari, sepanjang koridor yang mulai didatangi orang yang akan menjenguk menjadi ramai dengan teriakan begitu melihat seseorang berlari dengan senjata api, menabrak siapa saja yang menghalangi.

Hari dan Raya terus mengejar buruannya, seorang perempuan muda terjatuh akibat diterjang, Raya mengenali orang itu dan mendekati.
”Kamu tidak apa-apa Jane?” membantunya berdiri
”Gak apa-apa. Dia lari kearah parkir utara!” tangannya menunjuk kearah larinya orang yang menabraknya.
”Jane kamu tolong ke UGD, disana ada temanku yang shock, dia pakai jaketku!” Raya sambil berlari berteriak memberitahukan agar Jane melihat keadaan Nadhien. Jane hanya mengangkat satu tangannya memberi tanda setuju.

Hari menjelaskan situasi yang terjadi pada seorang SATPAM yang mendekati mereka kemudian membuka borgol.
”Saya memerlukan senjata kamu, cepat hubungi semua anggota yang ada dan minta bantuan Kepolisian terdekat, lakukan penyisiran didalam dan diluar. Kamu disini saja, tangani Nadhien” senjata api berisi peluru tak tajam milik SATPAM telah berpindah tangan, kemudian Hari bergegas mengejar, tapi rasa penasaran Raya tidak menghentikannya hanya sampai disitu.

Raya mendekati petugas SATPAM yang sibuk menghubungi meminta bantuan sesuai perintah Hari.
”Maaf Pak, saya perlu alat ini dan tolong Bapak cepat periksa keadaan saksi dan tahanan titipan di ruang UGD. Cepat laksanakan!” perintah tegas dari Raya meyakinkan petugas keamanan itu seolah mendapatkan perintah langsung dari seorang anggota Polisi. Raya menyusul mengejar menuju parkir utara.

Hari melompati pagar setinggi dua meter, pada tembok itu terlihat jejak kaki buruannya yang melompat kearah rawa kecil yang ditumbuhi tanaman dan semak lebat berbatasan dengan tembok itu. Raya sempat melihat Hari melompati pagar kemudian menyusulnya.
”Kenapa kamu ikut mengejar? kamu tahu ini sangat berbahaya!” Hari terkejut begitu dia menyentuh tanah ternyata tak lama kemudian Raya sudah berada disampingnya.
”Tenang saja Mas, aku bawa ini?” Raya menunjukkan pentungan karet yang dipinjamnya dari SATPAM tadi.
”Gila kamu ini!”
”Ssst... dengar itu Mas?” Raya mendengar kawanan burung pipit yang terbang dari balik semak-semak berjarak sekitar tiga puluh meter didepan mereka.

Hari memberikan kode agar Raya mengejar kearah kanan sementara dia mengambil kearah kiri kemudian sudah hilang dibalik semak belukar. Keadaan rawa menjadi sangat sepi, tidak ada suara ataupun gerakan binatang kecil penghuni rawa, penyandera itu menyadari kehadiran mereka. Raya berjalan perlahan menunduk, berusaha sekecil mungkin tidak menimbulkan suara., dirinya sadar berada dalam situasi berbahaya, tidak sekedar dalam permainan memperebutkan bendera lawan saat perang-perangan dengan senapan mainan berpeluru cat warna-warni. Kepalanya dengan cepat menunduk begitu terdengar suara letusan, sebuah dahan pohon Sengon patah terkena tembakan, hanya setengah meter diatas kepalanya.

”Thanks Jane!” dalam hati bergumam, rupanya kawan dekatnya ini dari ruang UGD memberikan peringatan akan adanya bahaya lewat komunikasi batin dengan Raya, telat satu detik saja peringatan itu, mungkin kepalanya terkena sasaran peluru. Jane memberitahukan keadaan Nadhien yang tengah ditangani perawat. Kelebihan kemampuan indera keenam yang dimiliki Jane dapat keluar begitu saja tidak seperti Raya yang harus melakukan meditasi terlebih dahulu. Raya mengejar penembak itu yang bergerak lari kearah barat setelah menembaknya. Buruannya berlari lemah didaerah terbuka, pentungan ditangannya dilemparkan sekuat tenaga dan tepat mengenai bagian belakang kepala sasarannya, meskipun sempat terjatuh tapi dia masih bisa berlari kearah semak-semak.

Lewat komunikasi batin kali ini Jane memberitahukan posisi buruan mereka yang sedang menahan rasa sakitnya bersembunyi di balik semak, Raya bisa mendekati orang yang hampir sekarat karena mengeluarkan darah banyak sekali dari luka dibahunya. Hari terlebih dahulu menemukan buruannya yang terkapar lemah setelah mengikuti jejak darah, tangannya masih menodongkan senjata dan mengambil senjata miliknya yang berada tidak jauh dari kakinya. Hari memberikan perintah agar Raya memborgol menggunakan borgol yang sama mereka kenakan tadi pada buruannya yang sudah berada dalam posisi tidur telungkup dengan kedua tangan diatas kepala, membawa keluar menuju jalan raya.

Raya bergegas mencari Nadhien, menerobos kerumunan wartawan yang terhadang Polisi didepan sebuah ruang periksa. Jane tengah memeluk Nadhien yang masih terguncang akibat kejadian tadi, Raya memegangi jarinya memastikan bahwa semua baik-baik saja dan telah selesai. Tidak lama kemudian orang tua Nadhien menjemput dan membawa Nadhien, sebenarnya Raya berkeinginan untuk mendampingi Nadhien tapi Hari membutuhkan dirinya setelah dia menghadapi pertanyaan kumpulan wartawan yang memaksa masuk.

”Terimakasih banyak Jane, you save my life once again” Raya meneguk kopi dari gelas plastik.
”Thats what friend are for, aku cuma kecewa selama ini kamu tidak tidak terbuka dengan aku” mereka duduk di kursi tunggu menikmati kopi panas.
”Kamu kan tahu aku gak pernah bohong dan gak akan bisa menutupi apapun dari kamu, aku juga yakin kamu mengetahui alasan mengapa aku gak pernah cerita tentang hal ini, aku harap kamu bisa mengerti.” meskipun Raya berbicara dengan Jane tapi pikirannya masih tertuju kepada Nadhien.
”Aku bisa mengerti jika ini semua masih ada kaitannya dengan skripsimu. Ingat, aku harus berbohong, mengatakan kepada kawan-kawan bahwa kamu pulang kamu untuk urusan penelitian, semua ini demi menutupi keberadaanmu yang hilang begitu saja.” walau bagaimanapun Jane tidak pernah bisa marah terhadap kawan satunya ini.
”You better call her, i know you still worried about her condition.” Jane menyodorkan handphonenya, Raya hanya tersenyum bahkan untuk handphone miliknya yang habis baterenya saja, karena semalaman tidak dicharge, Jane bisa mengetahui hal itu, bagaimana dia bisa menutupi hal lainnya dari kawan akrabnya ini.


Lokasi; Kediaman orang tua Nadhien. 13.30 WIB

Raya menepati janjinya untuk melihat keadaan Nadhien secepatnya setelah urusan selesai. Hari terpaksa memberikan ijin lebih cepat keluar bagi Raya dari pertemuan seluruh tim di ruang kerja Erlang karena melihat Raya tidak fokus mengikuti pembahasan mengenai tindakan berikutnya. Raya bergegas menuju lokasi yang telah disebutkan Nadhien lewat telepon tadi. Gerbang tinggi itu terbuka, seorang penjaga keamanan rumah memberitahukan agar Raya dapat menunggu di ruang tamu. Halaman rumahnya cukup luas dan terawat dengan baik, dihiasi tanaman mahal, Raya masih belum mengerti alasan Nadhien yang memilih untuk tinggal di kontrakan sementara rumahnya sendiri cukup nyaman dan jarak tempuh menuju kampus hanya sekitar empat puluh menit saja.

Ayah Nadhien sudah menunggu di ruang tamu menunggu penjelasan Raya tentang posisi Nadhien hingga bisa berada dalam situasi yang membahyakan puteri kesayangan mereka karena Nadhien belum bisa diajak berbicara sementara belum ada satu pihak pun yang sempat memberikan penjelasan kepada mereka karena langsung membawa Nadhien pulang. Sikap pembawaan Ayah Nadhien yang egaliter tapi tidak menutupi perasaan khawatir terhadap anaknya membuat Raya menjadi tenang menceritakan kejadian yang sesungguhnya, tentu saja menutupi statusnya dengan memberikan alasan bahwa mereka ada di rumah sakit untuk menjenguk kawannya yang sakit.

Raya diajak ke pekarangan belakang rumah, disana Nadhien duduk pada kursi santai memeluk kucing kesayangannya, perempuan tua yang menjadi pengasuhnya sejak kecil tidak bisa membujuk Nadhien yang belum juga menyentuh makan siangnya. Ayahnya membiarkan mereka berdua. Raya tidak tega melihat Nadhien yang tiba-tiba saja terjebak pada situasi yang membuat dirinya terguncang, pandangan matanya masih kosong menatap kedepan, tiba-tiba menangis begitu mengingat kejadian tadi, membuat kucing kesayangannya lari menjauh, terduduk lemah dikursi memeluk Raya yang berdiri disampingnya. Raya mengelus rambutnya menenangkan dan membujuk Nadhien agar mau makan karena sejak tadi pagi dia belum makan.
Lelucon kecilnya tentang ayam tetangga yang masuk rumah sakit karena sering melamun dan tidak mau makan, menciptakan senyum ringan dan berhasil membujuk Nadhien memakan bubur ayam meski tidak habis dan meminum segelas susu. Nadhien meminta agar Raya tidak meninggalkan dia lagi, Raya hanya tersenyum bangga dengan kekuatan hati Nadhien dan berjanji akan selalu berada disisinya kapan pun dia membutuhkan bantuannya, tentu saja tidak termasuk jika berkaitan dengan ujian di kampus atau urusan ke kamar kecil. Mereka sudah bisa tertawa lagi, Ayah Nadhien tersenyum puas, melihat dari balik kaca lantai satu, dia percaya puteri kesayangannya berada di tangan orang yang tulus.


Lokasi Ruang ICU. 20.00 WIB

Raya masih bertanya-tanya dalam hatinya sepanjang perjalanan dari utara Jogjakarta menuju Sardjito, mengapa Hari menelpon dirinya agar segera kesana? Tanpa penjelasan lengkap, hanya keterangan penting. Sebenarnya Nadhien mencegah kepergiannya dan Ayahnya pun tidak berkeberatan jika Raya bersedia menginap di kamar tamu yang telah disediakan, tapi karena ini menyangkut Erlang, dia berjanji akan berhati-hati dan akan terus menghubungi akhirnya Nadhien memahami.

Langkahnya dipercepat menuju ruang ICU, disetiap penghubung satu gedung dengan gedung lainnya dia melihat penjagaan rumah sakit ini menjadi diperketat, mungkin untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi karena dia sudah dikenal oleh beberapa petugas maka dengan leluasa melewati mereka, meski tidak ada satupun penjaga yang dapat menjelaskan keadaan Erlang ketika dia bertanya-tanya. Pintu ICU terbuka, dia terkejut, seluruh tim telah berkumpul di tempat Erlang terbaring, dadanya berdegup cukup kencang tapi begitu Hari membalikkan badannya menyambut Raya, terlihat Erlang sudah terduduk bersandar, melepas masker oksigen dan menyapa kehadirannya.Raya tidak dapat menutupi kebahagiaannya, matanya berkaca-kaca. Erlang mendengarkan penjelasan perkembangan kasus dari Hari, kasus ini harus segera diselesaikan karenanya dia memaksakan diri, bahkan dalam keadaan baru saja melewati masa kritis. Ruangan ICU telah disulap menjadi markas sementara......
(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!