Rabu, September 17, 2008

Padang Pelangi

Sabtu pagi ini sesuai janji kami yang telah terikrar kemarin sore pada rumah pohon, markas kami ber-sembilan. Semua telah siap dengan perlengkapan masing-masing yang telah ditentukan dan dirapatkan baik-baik, ditulis dengan jelas pada buku bergambar Garuda dan dikertas coklat bekas semen., segala sesuatu mengenai misi rahasia kami, lokasi, waktu, peralatan, penanggungjawab setiap seksi, kapten regu bahkan kami membuat rencana cadangan jika rencana awal kami tidak berjalan lancer.


Rencana matang dan ide murni ini keluar dari kepala kami, manusia berukuran tidak lebih dari 1,5 meter bahakan 3 orang anggota kami penisnya belum menjadi korban pisau mantri sunat. Bagi kami rencana ini sangat penting dan sangat rahasia. Top sikret, begitu kalau kami melihat di film seri Mission Imposible dari layar televisi.


Sebagai Kapten regu, dihadapan anggota lainnya, kuucapkan basmallah ketika parang kecilku membelah salah satu bamboo tiang penyangga atap rumah pohon kami, yang digunakan sebagai brangkas untuk mengumpulkan dana misi kami dari hasil jerih payah kami selama hamper tiga minggu, tepatnya 20 hari.


Kami berhamburan mengumpulkan rupiah yang keluar dari bamboo yang terbelah itu, sementara Bayu –anggota terkecil kami, menunggu dibawah jika ada uang receh yang menggelinding terjatuh dari sela-sela papan yang kami jajarkan pada pokok, batang dan cabang-cabang terkuat pohon jambu air yang terletak jauh di halaman belakang rumah Moko.


Bayu naik keatas dengan membawa beberapa keping koin, setelah kami hitung seluruh unag kami berjumlah 43.500 rupiah. Hasil tabungan dari aksi menjual plastik hitam besar yang bisa digunakan unutk membawa barang belanjaan di pasar-pasar tradisional, kami memilih pasar lama sebagai lokasi pencarian dana halal dan tidak mengikat untuk menyokong rencana kami.


“Semuanya ada empat puluh tiga ribu lima ratus rupiah,” suara Ayu sang bendahara merangkap sekretaris kami, merapihkan gulungan ribuan yang kusut dan menumpukkan keping koin sesuai nilainya dengan ketinggian masing-masing sepuluh keping. “coba liat itu!” tangan Ayu yang penuh dengan aksesoris gelang plastic berwarna ungu, tangannya menunjuk pada kertas semen.


“Uang kita masih kurang enam ribu lima rarus rupiah lagi, jika kitamau sesuai dengan rencana anggaran dana awal, jadi bagaimana caranya supaya kita dapat menutupi kekurangan dana kita in?”. Nilai matematika Ayu memang lebih bagus diantara kami tapi kalau sekedar menghitung rupiah kami tidak akan kesulitan untuk penjumlahan dan pengurangan.


Aku tidak begitu risau dengan kekurangan uang itu, begitu juga aku tidak melihat raut muka khawatir pada wajah kawan-kawanku. Aku berdiri, berjalan kearah cabang utama pohon jambu air ini, mengorek tanah liat yang menutupi lubang bekas sarang tupai, kemudian duduk dengan bangga menunjukkan kumpulan kertas berwarna merah terpilin rapi seperti kertas yang akan diundi keluar dari gelas belimbing setiap kali acara arisan ibu-ibu. Ada seribu dua ratus rupiah kutambahkan.


Andi tertawa keras diantara kawan-kawan yang lain begitu mengetahui aku mempunyai tabungan rahasia, ternyata kawan-kawan yang lain juga mempunyai tbaungan rhasia yang tersimpan aman di markas ini. Wawan, memaksa Agung unutk bergeser dari alas katon bekas kardus mie instant, diantara lipatan itu ada tujuh lembar uang kusut berwarna merah. Sapto tak kalah cerdiknya, gundukkan coklat pada ranting sbelah barat bekas sarang lebah itu dijadikan safety depositnya.


Ayu dengan muka masamnya mengeluarkan dompet kecil bermerk toko mas ‘MURNI’, satu lembar rupaih berwarna hijau dengan gmabar orang utan yang sedianya dia gunakan untuk menambah koleksi gelang-gelangnya. Agung lah yang paling sering mengolok-olok Ayu dengan gelang-gelang yang mengumpul pada tangan kecil Ayu sebelah kanan-kiri.


Bayu, bocah kelas satu Sd ini tak mau kalah menjadi donator teriklas diantara kami. Dia sengaja merengek-rengek lama pada kaki Bu Liknya agar disuruh untuk membeli minyak tanah pada pedukuhan sebelah. Minyak tanah menjadi barang yang langka dipedukuhan kami. Satu keping koin bergamabra melati, diserahkan kepada Ayu masih berbau minyak tanah. Upah yang setimpal setelah menjual jasa pada Buliknya, mengangkat jerigen berisi 3 liter minyak.


Agung menyerahkan upeti lima keping koin dan tiga lembar lagi dengan nilai yang sama. Moko mantap mengeluarkan dompetnya yang terikat rantai panjang dari celana jeansnya. Satu lembar uang seribu dan lima ratus dengan kondisi masih baru , tidak kusut terlipat. Bagi kami melihat uang baru yang beraroma khas adalah fenomena langka, mungkin hanya dua kali sdalam setaun kami dapat melihatnya, itupun setelah berkeliling kampung masuk satu rumah kerumah lainnya setelah selesai shalat Ied. Mata kami menatap curiga kearah Andi, tatapan mata mengandung arti ‘apa maksud tertawamu yang membahana tadi?, Ayu mencibir ketus, Moko seolah tak ambil pusing, mungkin dia siap keluarkan lagi beberapa lembar dari dompetnya untuk menambah kekurangan, sementara Agung yang tak pernah bisa menjaga mulutnya, terus terang bertanya dengan nada menuntut pada Andi.


Kami pernah terkena getah dari mulut Agung yang tak dapat terkontrol. Suatu saat ketika kami pergi memancing, tidak pada titik pemancingan biasanya. Agung memaksa kami untuk menyebrangi sisi barat sungai. Bayu protes habis-habisan karena dia harus menunggu disisi lainnya sementara kami bersusah payah mengangkat batang bambu yang kami gunakan untuk memancing itu.



Kami baru mneyadari maksud Agung mengajak memancing disini, “Akhirnya daytang juga!” Agung mendesis riang, matanya tidak lepas menatap Bu lik Marni yang baru saja satu buklan menjadi janda. Pemendangan perempuan dengan balutan jarik, rambut terikat keatas, melenggak-lenggok menuju sungai dengan membawa ember cucian bagi kami yang berusia sangat hijau ini adalah suatu hal yang lumrah, terlebih diseberang sana merupakan tempat yang biasa digunakan bagi ibu-ibu kampong kami mencuci pakaian, tapi tidak bagi Agung.


Aku dan tujuh orang kawan-kawanku duduk dikelas yang sama sejak kelas satu hingga kelas empat sekarang ini, sementara Agung satu kelas yang sama dengan kami tapi sebelumnya dia menduduki kelas yang sama ini selama tiga tahun berturut-turut. Seharusnya dia kelas satu SMP jika otaknya tidak tumpul dan berkarat.


Posisi strategis dipilih Agung tepat dihadapan Lik Marni. Agung sudah gelisah pada posisi memancingnya - seharusnya dibutuhkan ketenangan. Terlalu sering dia mengangkat kailnya hanya untuk mengganti umpan cacing yang tidak tersentuh ikan sama sekali. Kepalanya menunduk tapi ekor matanya tak sedetikpun mengamati gerak-gerik Lik Marni yang tengah berendam dan sesekali menyibakkan jariknya yang basah itu.“Ssst… ppssst…Riss..Hariisss… riss,” ah Agung mengganggu konsentrasi memancingku. Lik Marni menenggelamkan tubuh sintalnya beberapa detik, Agung melempar sebongkah batu kecil memohon perhatianku. Mataku melotot, gigiku gemertak, pergi sudah sentuhan pertama pada mata kailku.


“Ssst.. Ris.. embuut! Ris…embutt!!” tangannya menunujuk kearah gelembung udara yang keluar dari titik dimana Lik Marni masih belum memunculkan tubuh sintalnya, rupanya Agung mengamati betul pola-pola gerakan Lik Marni. Setelah tenggelam Lik Marni pasti menyibakkan jariknya yang hampir lepas melorot, momentum tiga detik itu betul-betul dimanfaatkan oleh Agung. Mulutnya mengeluarkan suara lebih keras lagi ketika memanggilku kesekian kalinya. Inilah getah yang derita dari buah yang tidak kami makan, Lik Marni mendengar suara Agung dari seberang sana.


“Opo le? Embat… embut… embat ….embut! Gelem po? Nyoh!!” tanpa disangka-sangka Lik Marni membuka lebar tangannya yang memegang ujung-ujung jarik batiknya, maka terlihatlah semua. Kami lari tunggang langgang menaiki bukit keluar dari sungai. Suara tawa ibu-ibu membahana terdengar dari kejauhan sementara suara tawa Lik Marni semakin menjadi, dia mengalami gangguan jia setelah ditinggal pergi suaminya yang menikah lagi. Dibawah pohon jati kami tersengal-sengal, letih dan jantung berdegup kencang. Sayup terdengar suara tangis anak kecil disela suara tawa ibu-ibu. Bayu!!! Kami berteriak dan tertawa kompak.




“Semua sudah siap?” aku bertanya mantap pada agen-agen rahasiaku. Sisa uang yang kami belanjakan sesuai kebutuhan ternyata bersisa empat rbu seratus rupiah. Mulut besar Andi ternyata menyetarakan sumbangan terbesarnya. Setiap agen telah memegang plastic asoy hitam besar, didalamnya adalah benda ynga dapat membahagiakan salahsatu kawan kami.


Sebelumnya ada pertengkaran kecil antara Andi dan Agungyang meperebutkan salahsatu isi dari plastik yang sudah kami persiapkan itu. Masing-masing tidak mau mengalahpad awalnya. “Ahh, jangan karena kau menyumbang paling besar trus kau bpleh seenaknya sendiri. Kamu gak cocok! Warna merah itu hanya untuk orang yang besar dan pemberani” Agung mengaum tangannya menepuk dadanya, berdiri bangga dihadapan Andi yang hanya setinggi dagunya.


Akhirnya kami menyelesaikan permasalhan ini dengan gaya demokrasi milik anak-anak untuk menentukkan siapa yang berhak memegang masing-masing bungkusan plastik itu. “Homm…pimpah..alaihum..gambreng!!!”. suara kami membahana menentang terik matahari yang mengeringkan zat cair dikampung kami. Sudah tiga bula hujan tak kunjung membasahi padang rumput tempat kami bermain bola.


Dadaku berdegup kencang tidak karuan, ternyata beban menjadi kapten regu lebih kepada tekanan psikologis, berharap cemas rencana misi kami dapat berjalan dengan mulus. Kumantapkan hatiku membuka pintu pagar besi, memasuki halaman rumah peninggalan jaman Belanda.



Ragu kutekan tombol kecil berwarna merah disisi samping pintu kuno ini. Berkali-kali aku menengok kebelakang, pad balik pohon belimbing tubuh kecil Bayu siap menerima kode dariku dan akan berlari secepatnya setelah aku memasuki rumah ini. Mbok Narti tergopoh-gopoh membuka pintu. “Ono opo cah bagus?” suara serak si mbok terasa menenangkan, kami sering tersihir oleh buaian cerita si mbok, seolah ceritanya adalah kebenaran yang tak tersangkalkan bagi pemikiran kami.


Aku langsung masuk kekamar Langi yang tengah sibuk merapikan barang-barangnya. Foto-foto kami tertumpuk pada suatu kotak yang semula foto itu terpasang ditembok kamar dan meja belajarnya. Senyumnya menyambutku. Aku masih belum percaya kawan baru yang kami dapatkan ketika kelas dua ini sebentar lagi akan meninggalkan kampong kami, penghasil minyak sawit ini.


Rasanya baru minggu kemarin Maharani Cipta Pelangi, ketika Bu guru menawarkan nama panggilan untuknya; “Maharani,” “Rani,” “Cipta” atau “Pelangi”. Tiba-tiba dari kursi paling belakang Sapto berteriak “Langi saja Bu Guru!” nama cantik itu cukup menjadi “Langi,” akhirnya jika kawan-kawan menyebut perempuan cilik manis pemilik nama itu, menjadi mudah memang. Ayu sering bersaing mendapatkan perhatian tujuh orang bocah laki-laki dalam markas rumah pohon kami. Langi lebih santun tutur bahasanya, berbeda dengan Ayu, suara cemprengnya serasa memecahkan gendang telinga kami.


“Ada apa Ris?” Langi meletakkan foto kenaikan kelas kami pada tas yang biasa dibawanya ke sekolah. Momen itu menjadi penting baginya, karena dia berhasil menggeser posisiku di peringkat puncak menjadi satu peringkat dibawahnya. “Anu… aku mau pinjam kamera digital.u, sebentar saja” aku memantapkan diri, dalam pikiranku bergentayangan protes kawan-kawan yang menanti berharap cemas karena ikut ambil bagian pada misi ini. “untuk apa Ris? Aku ambil dulu di kamar ayah ya” Langi mempersilahkanku duduk. Kami dapat mengabadikan momen terindah kami seperti saat tujuh belas agustusan, menang lomba sepakbola antar SD, bahkan ketika ujung kulit penis kami terpotong. Ini semua berkat kamera milik ayah Langi.


Aku mengajak Langi ke halaman belakang rumahnya. Rumah kuno ini dulu tempat pejabat pengawasan perkebunan yang mengontrol roda perkebunan yang telah ada dikampung kami sejak usul edukasi, irigasi dan transmigrasi disetujui jaman colonial sebagai politik balas budi. Langi pergi kedapur sebentar membuatkan minum kesukaanku. Aku segera meniup peluit pramukaku dipinggir pagar besi halaman belakang yang menyajikan langsung pemandangan ribuan batang daun pohon Palm dan padang rumput lapangan bola kami.


Langi datang dengan dua gelas minuman dingin. “eh tadi kau belum bilang, pinjam kamera untuk apa toh?” Langi menjulurkan kamera saku digital milik ayahnya. Aku Cuma mengamat-amati tanpa tahu harus berbuat apa. Langi tertawa geli melihat aku sepeti munyuk ketulup dihadapan alat ini. “Sini, beginiloh caranya memotret. Buka dulu tutup lensanya, trus ini digeser kearah “ON” kalau lampu kecil ini menyala artinya kamera siap dipakai, tinggal bidik dan klik” Langi menirukan suara bunyi kamera, tidak terjadi apapun bagiku. Langi menunjukkan hasil kjepretannya, pada layer LCD dibagian belakang kamera ini.


“Loh koq gak terasa difotosih?” aku masih keheranan bahkan pose dalam kamera itu betul-betul mirip kera yang terkena senjata tiup dari bambu kecil. “Perasaan dulu ada sinar yang kaya kilat keluar dari kamera ini?” kepolosanku bertanya sebenarnya akan berguna nantinya bagi misi kami. “Oh itu namannya Blitz, digunakan unutk ruangan dengan pencahayaan kurang atau gelap. Tekan aja tombol sebelah kanana yang ada gambar petir kecil itu.” Langi menjelaskan fungsi dan cara pemakaian layaknya petugas sales barang elektronik.


“Untuk ambil foto siapa toh?” Langi masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sejak tadi. “Unutk ambil foto kamu” kujawab dengan mantap. “Koq unutk aku?” Langi masih belum mengira kepergiaannya mengikuti tugas ayahnya mengakibatkan sakut rindu bagi kami sahabat bermainnya “yaa, setidaknya aku punya foto bersama kamu sebelum kamu pindah ke Bandung” senyumku ternyata mengakibatkan duka bagi Langi yang tertunduk layu. Banyak kenangan masnis danpelajaran berharga yang dia dapat dari kampung ini.



“Berkat kalianlah aku jadi tahu arti persahabatandan bermain, dulu sebelum pindah dari Jakarta, temanku Cuma kucing dan si mbok,. Pulang sekolah dan les aku Cuma main dirumah. Jangankan main bola sambil hujan-hujanan, air susu yang tumpah dicelanaku saja langsung digantikan oleh si mbok” waktu itu bibirnya membiru menahan badannya yang mengigil setelah bermain biola ditengah hujan. Setelah itu kami berpindah tempat kelokasi favorit nomor dua kami setelah rumah pohon kami yaitu halaman belakan ini, sudah pasti menjadi lokasi favorit jika setelah kedinginan kami disguhkan susu panasdan goring pisang panas tapi bukan itu puncak kenikmatan kami. Lengkung sempurna pelangi yang menghiasi biru langit setelah hujan berhentilah yang membuat kami selalu ternganga kagum, meskipun hampir setiap hari kami melihatnya sepajnag musim penghujan.


Kadang si mbok bercerita tentang legenda Joko Tarub yang mencuri selendang putri bidadari yang turun dari kayangan meniti pelangi sebagai jembatan untuk mandi di air terjun sana. Kami betul-betul meng-imani cerita si mbok. tapiLangi hanya tertawa geli jika kami betul-betul menganggap bidadari itu ada, bahkan otak Agung yang telah mulai diracuni pubertas memaksa dirinya menuju air terjun demi melihat kemolekan tubuh bidadari yang mandi diair terjun yang berjarak 20 km. mengais sepeda bututnya, mesti sia-sia, dia tetap berusaha pergi kesana.


Belakangan setelah teleskop milik Kakeknya Langi telah diperbaiki, kami cukup menyaksikan dengan seksama secara bergantian melalui lubang kecil itu, mengarahkannya pada ujung lengkung pelangi yang menyentuh sungai dibawah air terjun. Setiap kali tiba pada bagian jatanhya Agung, dia selalu berteriak bahwa dia melihat bidadari itu menanggalkan kebayanya tapi begitu giliranku berikutnya setelah Agung, tidak kulihat tanda-tanda bidadari pernah turun melelui teleskop ini. Alas an Agung selalu sama. Hatiku tidak suci lah! Atau bidadarinya sudah pakai baju dan terbang lagi sebelum aku melihatnya.


Di halaman belakang inilah yang nantinya menentukan memori detik ini dan memori kebersamaan kami tahun-tahun kemarin dapat bertahan lama tidak terhalang waktu dan jarak yang memisahkan kami. Disinilah pentingnya perananku dalam mengatur misi ini sebagai kapten, setiap tahapan rencana kami telah berjalan dengan baik.


Jam antik berukuran super besar di ruang tengah berbunyi keras sebanyak dua belas kali, berarti hanya bersisa dua jam lagiwaktu kami sebelum melepas kepergian Langi. Aku sudah mantap mengusai alat fotografi modern ini. “Kita ambil foto disitu yuk!” aku mengajak Langi ditempat kami biasa menggelar tikar diatas rumput menikmati pelangi dan segelas susu panas melawan dingin yang menggerogoti badan kami. “Kamu berdiri disitu ya?” pose manis kulihat dari layer LCD, jari telunjukku siap menekan momen ini menjadi bentuk digital.


“Sayang ya hari ini gak ada pelangi?” tiba-tiba wajah Langi menjadi tidak manis dilihat dari sini. Aku harus berusaha menghiburnya. “Ada kok” kujawab tulus seadanya. “Ngaco kamu, bagaimana bias?! Sekarang aja musim panas, jangan pelangi hujan aja malas muncul” Langi, bocah ini sudah terbiasa dengan pikiran terbuka, rasional dan logis berkat didikan bundanya yang lulusan Sarjana Pendidikan dan Ayahandanya yang ahli perkebunan. “sumpah aku gak bohong! Dari sini aku bias lihat pelangi” telunjukku dua kali menekan tombol kamera.


“Ooh, maksudmu aku ya! Hihihi…benar juga ya, kenapa aku gak sadar kalau namaku pelangi!” deretan geligi putih dari bibir dan pipi menggemaskan itu kurekam dengan baik melalui jepretan kamera ini. “Eh Ris, kenapa dari tadi kamu pake blitz terus sih? `kan aku kasih tau kalau cahaya cukup gak perlu pake blitz.” Dari layer LCD ini aku lihat bibir mungilnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.


“Hehehe.. maaf aku lupa. Maklum kameramen amatir!” sebenarnya ini adalah penentu abadinya memori terakhir kami. “Ya udah coba ulangi lagi aja” Langi memberikan instruksi. Aku menahan geli bukan karena pose-pose Langi yang hampir sama dengan model pada almanak seperti yang kulihat di kamar Agung tapi jauh dibelakang Langi kulihat warna-warni berkilauan serupa pelangi. Kilatan blitz tadi menjadi kode bagi kawan-kawanku beraksi dibawah sana. “Udah ah capek!. Coba aku lihat hasil jepretanmu, Ris” Langi bergerak kearahku, kuberikan kamera itu kepada Langi.


“Yaa ampun Haris!! Kok bisa begini?!” teriakan spontan Langi sudah dapat kuduga pasti akan keluar begitu melihat kamera itu. Matanya masih tidak percaya dengan citra hasil jepretanku, dilihatnya berulang-ulang file-file foto digital itu bahkan menggunakan alat zoom untuk menjawab rasa penasarannya.


Langi berlari menuju ujung pagar, dia berteriak keras kearah padang rumput tempat asal warna-warni itu, tapi percuma tak akan sampai sana suaranya. Langi bergegas masuk rumah kemudian keluar dengan dua lembar bendera berwana merah berpadu kuningditangan kanan dan kirinya. Dia mengirimkan sandi semapoer kearah lapangan dimana sahabat-sahabat terbaiknya berlarian dengan lembar-lembar plastik panjang sekali berwarna-warani. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu merangkai warna dasar pelangi tiruan MEJIKUHIBINIU.


Kucerna sandi yang ditujukan kepada mereka;
TERIMA…KASIH…SAHABATKU…AKU… CINTA… KALIAN… SEMUA… COBA… LAKUKAN… SEKALI… LAGI… DONG…PELANGI… TIRUANNYA…AKU…SUKA…SEKALI
Aku yakin kawan-kawan dibawah sana mampu memecahkan sandi semapoer yang dikirm Langi dari sini. Mereka mulai bergerak membentuk formasi pelangi tiruan. Merah oleh Agung, Sapto memegang jingga, kuning dipercayakan pada Wawan, hijau oleh Andi, si kecil Bayu harus merelakan warna ungu berpindah ketangan Ayu dan mengibarkan warna nila, hanya karena ungu adalah warna favoritnya. Langi terlonjak begitu gembira, dia menatapku nakal dan menebak bahwa ini semua adalah ulahku. Aku mendapatkan hadiah dari Langi untuk ini, cubitan diperut.


Angin tiba-tiba bertiup kencang membawa tempias ribuan butir air, mencipta gerimis. Hari ini turun hujan! Luarbiasa-fantastis! Sudah tiga bulan ini bumi kami meradang kekeringan bahkan kami tekah dua kali bersama tetua dan ulama bersama seluruh warga kampung memohon keridoan Tuhan agar menurunkan hujan tapi tidak berhasil, justru kami bocah-bocah kecil dengan warna meniru pelangi telah berhasil mebujuk hujan turun ke bumi dengan iklas.



Kuamang Kuning, 11 Sept 2008

Selasa, September 16, 2008

Ranjang-Alam

(picture taken from www.peakware.com)


“Mo, malam ini aku harus gantiin shift jaga malamnya Wanto, jadi maaf banget aku gak bisa jagain kamu di sini?” tak tega rasanya meninggalkan Marmo sendirian di bangsal ekonomi rumah sakit milik pemerintah kota Yogyakarta ini.



Penyakit paru-paru basah yang dialaminya sejak kecil itu mulai menggerogoti seluruh kekuatannya sampai-sampai Marmo yang dikenal sebagai mahluk Super Aktif ini tergolek lemah. Jabat tangan yang biasa kami lakukan sebgai ritual bertemu dan berpisahdengan gerakan tangan yang rumit dan penuh dengan hentakan kini tidak lagi dapat dilakukan oleh si pencipta ritual jabat tangan belasan tahun yang lalu ini.


Aku ingat saat itu kami duduk di kelas 4 SD, Marmo sebagai ketua regu pramuka sekolah kami dengan nama tim Badak Putih. Ide kreatifnya seolah tak pernah berhenti. Berkat ide kreativitasnyalah sekolah kami memenangkan lomba baris-berbaris dengan memberikan tambahan yel-yel dan gerakan tari suku Indian yang belum pernah ada dalam sejarah perlombaaan baris-berabris dalam tingkat Kwarda sekalipun. Selama ini setiap tim hanya menampilkan gerakna kakidan tangan yang serempak sementara Ketua regu berteriak “Naan… kiri…kanan… Satu!” begitu monotonnya dari garis Start hingga Finish.


Marmo berpendapat setiap juri yang menilai di titik-titik tertentu itu harus dihibur karena mereka pasti bosan. “Ya, selain menghibur juri-juri itu pastinya kita juga bisa merebut hati mereka dan tentunya nilai kita akan lebih besar!” Marmo mengaum di tengah lingkaran kami yang duduk bersila merendahkan posisinya menatap wajahku, dia melihat percikkan api yang sama. Malam ini nyala mata itu redup.



“Kadir, jangan lupa kamu hubungi kalau dia belum juga tunjukin batang hidungnya yang bengkok itu,” kawanku satu itu memang sulit dipegang janjinya hampir seperti caleg yang memuntahkan janji manisnya, meski begitu jangan tanyakan arti kesetia kawanna pada Kadir. Pernah suatu waktu kami bertiga mencuri mangga milik Pak de Samino. Aku dan Marmo memanjat pohon itu, sementara Kadir menunggu di balik tembok setinggi 3 meter sebagai batas pekarangan.



Sialnya puluhan ekor semut rangrang dengan ganas mencabik-cabik kaki kiriku yang kujadikan tumpuan pad cabang terkuat sementara kaki kanan dan hamper sebagian besar bagian tubuhku condong kedepan menggapai mangga ranum yang sudah kami incar dari luar tembok. Berat badanku berpindahdari kaki kiri yang semula mantap pad cabang terkuat sekarang mengalihkan seluruh beban terfokus pada kaki kananku yang menari diatas cabang kecil ditambah angina yang cukup kuat menjadikan keseimbanganku dan kekuatan dari cabang itu tertarik gaya gravitasi bumi. Tunduk pada hukum alam, what goes up must goes down.




Patahan cabang penopang kaki kananku menimpa atap seng kandang ayam milik Pakde Samino. Ayam-ayam dalam kandang itu seolah berfunsi sebagai alarm anti maling, Pakde Samino seketika itu juga menghambur dengan parang terhunus. Seluruh penduduk. Warga kebun binatang keluar dari mulut Pakde Samino berupa umpatan, cacian dan makian dengan tekanan nada tinggi yang dapat memecahkan gendang telinga.


Kadir yang tidak berani memanjat saat itu sebenarnya mempunyai peluang besar selamat dari makian tapi tiba-tiba dia mengetuk pintu halaman belakang temapt persidangan kami dan dengan santunnya berkata ingin bergabung bareng Aku dan Marmo. Kamipun menikmati dakawaan Pakde Samino dengan pembelaan cekikikan kecil tapi Kadir justru bergetar hebat sampai terkencing dicelana mendengarkan gelgar suara Pakde Samino.


“Kadir bilang malam ini pasti datang bahkan dia bilang ad surprise tapi sebebnarnya dia bilang rahasia tapi kamu tau sendirilah, gak ada rahasia diantara kau dan aku. Sayangnya kau gak bisa kasih tau karena Kadir gak mau bilang, kamu tunggu dulu deh sebentar, jadi kalau malaikat maut menjemput kamu sore ini, kamu mintalah perpanjangan waktu sedikit saja” Senyum Marmo justru berkembang, dia tidak pernah takut unutk dijemput kapanpun. “Eh Mo, pulsamu itu masih ada toh?” Aku cek hp bututnya yang sama miskinnya dengan pulsanya.



Aku pamit, gerakan tangannya lemah sekali, tidak ada adu buku-buku jari yang terkepal keras seperti biasanya. Aku mengingatkan diriku sendiri unutk mengisi pulsa dan ke ATM, sejenak kupandangi layar yang memberikan informasi saldo tabunganku, ada 2dua juta lima ratus ribu perak! Ibu pasti sudah paham betul sebagian gajiku akan kusisihkan untuk biaya berobat Marmo. Maaf ibu, lebaran ini rukuh dan sajadahmu masih sama seperti lima lebaran sebelumnya.



Dering Hp membangunkanku tidur sejenakku, rupanya aku tertidur selama sepuluh menit tadi. Untung saja Komandanku belum samapi di pos SATPAM ini, pasti dia masih patroli atau mendapat titipan pesan khusus dari tamu hotel agar dicarikan teman kencan singkat. Lima panggilan tidak terjawab dan satu sms masuk dari Marmo. Aku Cuma berharap bukan perawat yang menghubungiku untuk memberi kabar kematian Marmo.


Kubaca sms Marmo, “Git, malam ini Kadir belum juga datang tp no problem bro! ada pasien baru masuk di sebelahku. Sori ganggu kerjamu” . Kutekan no Marmo pada fitur buku telpon “Hallo Mo, kamu baik-baik aja kan disana?” nada bicaraku tak bisa menutupi kekhawtiranku. “Eh Git, aku selalu sehat seperti biasanya”, batuk kecilnya tidak meyakinkanku. “Kenapa kamu baru kabari aku? Ini sudah jam dua pagi, tau gitu aku gak pergi jaga hotel Mo. Sialan Kadir itu! Apa alasannya lagi? Biar ku pukul mulutnya nanti.” Emosiku tiba-tiba meninggi bukan hanya karena ulah Kadir tapi juga karena Komandanku tengah mengandeng genit Sheila –adik tingkatku dikampus dulu, dia pujaan hati Marmo.



Pasti dia pesanan dari kamar kelas VIP, Sheila memang terkenal sebagai teman kencan berkelas tinggi, selain postur tubuhnya yang mengairahkan, status mahasiswinya ikut menaikkan tarifnya. Aku selalu memberikan second opinion bagi Marmo agar mencari sasaran lain tapi dia tidak bisa berpindah ke lain hati. Hanya karena status Sheila ini terbendang rahasia antara aku dan Marmo. Tidak mungkin aku membeberkan siapa Sheila sebenarnya, bisa mati berdiri kawanku jika mendengarkan jika Sheila adalah ayam kampus yang bisa dinikmati siapa saja yang berduit.




“Sudahlah Git, mungkin Kadir masih sibuk dengan skripsinya atau dia kecapekan semalaman lembur ngetik. Ini juga karena salah aku yang terlalu memaksa dirinya” Suara lemah Marmo meredakan emosiku. Aku jadi ingat ketika Marmo telah satu Minggu menginap di rumah sakit. Kadir menangis begitu keluar dari kamar tempat Marmo berbaring. Aku menghambur kedalam, kulempar obat yang baru saja kutebus. Marmot tergolek lemah dengan mata terpejam, kugoncang tubuh ringkihnya yang hanya bersisa kulit, kerangka butut dan kentut saja itu. “Ahh… kukira kau mati Mo!! Bikin copot jantungku saja kau ini.” Marmo bersandar lemah mencerita kan bahwa baru saja dia mengancam Kadir.



“Mungkin hanya kamu yang kan selalu kuhantui jika aku mati kawan” batuk-batuk kecil dan panjang pasti keluar dari mulut Marmo jika berbicara serius. “Apa maksudmu Mo?” Kadir masih belum mengerti inti pembicaraan Marmo. “Kalau kamu tidak juga menyelasaikan skripsimu, dapat dipastikan aku akan mati penasaran. Setidaknya aku mau melihat kau wisuda sebelum kawanmu ini mati” kali ini batuk itu menjadi parah seolah ada bongkahan paru-paru yang keluar setiap kali terbatuk-batuk.



“Jangan kau berkata begitu kawan. Umur kita masih panjang, ingat janji kita dulu. Kalau kita semua sudah sukse dan punya anak masing-masing maka kita akan melakukkan pendakian gunung Rinjani tersantai abad ini! Bersama kawan-kawan kita dan anak-anak kita!” Kadir menangis pada tubuh ringkihnya. Marmo terbatuk tersiksa. Untung saja mu Kadir cepat sadar. “Kau jangan mati dulu Mo, aku belum kawin dan punya anak, kamu juga belum Bung! Sigit sebentar lagi nikah, Hendra si playboy itu sudah punya dua anak. Ari yang kita kira mandul saja anaknya kembar” Kadir berupaya memacu semangat hidup kawan akrabnya ini.



“Kemungkinan besar aku gak ikut Bro. sekarang gak cumabadan ini yang gak kuat tapi semangat saja aku gak punya lagi, jadi tolonglah bahagiakan kawanmu yang malang ini, beri aku hadiah sebelum aku ke surga. Setidaknya aku bias ceritakan pada Mbah Kakung mu disana bahwa aku hadir di pesta wisuda mu. Bisa bro?” Napasnya tersengal menciptakan kebulatan tekad Kadir yang menangis sekuatnya dan meninggalkan Marmo, bahkan tak menyapaku yang berpapasan membawa obat Marmo.




Aku mengatur nafasku, mencoba menata emoasi yang campur aduk. Pikiranku terganggu oleh Sheila yang melintas pos SATPAM tempatku, bayangan Marmo yang menangis darah didepan kamar hotel tempat Sheila di booking dan bayangan Kadir yang terkapar didepan computer yang masih menyala. “Kamu sudah hubungi Kadir belum tadi Mo?” jawaban Marmo belum juga terdengar. “Mo…Mo…Hey!! Kamu dengar gak mo” pkiranku bertambah kalut lagi, aku gak mau menjadi orang pertama yng mengabarkan kematian Marmo, terlebih dia mati ketika menerima telapon dariku. “Mo…” menunggu harap cemas. “Eh Sori Bro, kamu ngomong apa tadi?” sial manusia satu ini, aku setengah mati ketakutan eh dia malah enak tidur. Ku urungkan niat menelpon Kadir setelah Marmo memaksa unutk tidur sendirian malam ini.



Usai subuh hp ku berkedip, kali ini nomor Kadir muncul pada layar LCD handphoneku. “Yaa..hallo. Kamu mau pake alasan apalagi? Gak usah minta maaf padaku, sana minta maaf sama Marmo, barangkali sudah berpindah kekamar mayat dia!” suaraku sengaja kubuat dingin sbagai hukuman bagi orang yang tidak dapat menepati janji. “Ah, maafkan aku kawan, sudahlah nanti bisa kujelaskan. Pokoknya sekarang kau kebandara pagi ini, adayang harus kau jemput disana” ringan saja Kadir memberi perintah, ah kalau sajatidak diberi wasiat oleh Marmo pasti sudah ku tinju orang itu. “Hey, enak saja kau ini, kau pikir aku jonggos mu!” ah kecerahan pagi setelah subuh ini tertutup oleh emosi, bikin jengkel saja kawan satu ini.



“Dengar dulu kawan, ini memang masih surprise jai aku gak bisa kasih tau misi ku ini. Ayo cepat ke bandara, semuanya sudah diatur. Percayalah ini semua demi kawan kita Bro!” walaupun masih jengkel atas perintah yang tak jelas tapi aku merasa ketika dia bilang demi kawan kita, pasti ini semua ada kaitannya dengan Marmo, lagipula sejak kapan Kadir punya inisiatif samapi-sampai dia meng-klaim “misi ku”.



Kupacu motorku menuju arah bandaraAdi Sucipto, pada ruang tunggu kedatangan aku seperti orang bodoh yang tengah menjadi korban lelucon Kadir. Aku harus menjemput orang yang tidak kuketahui siapa orang itu. Sial!. “Oom Sigit….oom Sigit…oom!!!” suara anak kecil berusia sekitar enam tahun yang hanya kukenal lewat layer computer yang dilengkapi kamera kecil diatasnya dan dihubungkan oleh satelit. Meru, kenapa bocah ini bisa ada disini? Bukankahseharusnya ada di Jakarta, lalu kemana orangtuanya. Kumasukkan hpku kedalam saku jaket menyambut tangan kecil yang menghambur kearahku.


“Hallo Git, apa kabar?” suara lembut itu, ahh betapa aku rindu dengan sapaan khas itu. Laya, ahh mata bening dan lesung pipit manis yang biasa ku ciumi dulu, masih teawat dengan baik. Kuletakkan Meru dibawah. Kupeluk sebentar Laya. “Hey, dia sudah jadi istriku bung! Bukan pacarmu lagi…awas ya…hahahaha” sebenarnya aku muak mendengarnya, seolah tawa kemenangan besar. Keparat Ari ini telah merebut jantung hatiku bahkan melahirkan anak dari rahimnya, padahal setiap malam kurapal mantra kutukan agar penisnya tidak dapt berdiri saat awal pernikahannya dulu, tapi itu sebelum aku mendapatkan pengganti Laya.




Belum sempat ku mengerti kejutan kehadiran mereka, tiba-tiba Hendra beserta Istri dan kedua anaknya melambaikan tangan dan bersuit keras khas keahliaannya.
Rupanya kedatangan mereka terlambat, seharusnya malam tadi sudah mendarat di landasan Adi Sucipto tapi cuaca buruk menghambat penerbangan Jakarta-Yogyakata
Dan Balik Papan-Yogyakarta. Aku masih menatap takjub kearah kawan-kawanku yang tiba-tiba berada dihadapanku saat ini.



“Apa maksud semua ini Bro?” mulutku menggigit roti khas Amerika yang berlubang ditengahnya. Ari dengan gaya congkaknya mentraktir kami sarapan di kedai taraf internasional itu. Pekerjaannya sebagai produser penyiaran disalah satu perusahaan televise di Jakarta pasti memberikan penghasilan lebih dibandingkan SATPAm sebuah hotel. “Ya… ini semua sebagai bukti tanda cinta kita kepada kawan kita bro” Ari membuka awal misteri kejutan. “Kita seharusnya berterimakasih pada Kadir yang telah mengatur semua ini meskipun kita tahu, mana pernah dia punya inisiatif!” Hendra membuka memori awal persahabatan kami. Laya menambahkan kepingan teka-teki kejutan ini dengan suara lembutnya. Ahh… Himalaya Putri Pertiwi, kalau saja dulu aku tidak menyakiti hatimu pasti si keparat Ari itu tidak sempat menitipkan anak dirahimmu.



“Oke Dir, ya…ya… semua sudah kumpul disini. Tiket dan segala persiapannya suah beres, kamu tinggal bawa bocah tua nakal itu kesini, oke!” Ari menutup handphonenya, kemudian berkoar-koar tentnag kesuksesannya, sesekali mulutnya dibasahi cappucinno panas.


Kaki-kaki kami sudah berada pada satu titik astronomis delapan derajat – dua koma lima derajat Lintang Selatan dan seratus enam belas – dua puluh enam Bujur Timur, menatap kagum penuh kerinduan pada karya agung Sang Pencipta. Gunung Rinjani, tinggi menjulang dalam sapuan kabut tipis. Tiga ribu tujuh ratus enam puluh dua meter diatas permukaan laut pad Pulau Lombok. Gunung terfavorit dalam album gunung terindah bagi Marmo, anehnya gunng itu dia puja setelah mengetahui Sheila Diandra Anjani, gadis pujaan hatinya itu mengambil nama gunng tempat kelahirannya.



Kami sepakat mengambil jalur utara. Marmot sudah terlihat begitu ceria sejak dari terminal Sweta, ketika bus benrhenti di Swela nafasnya menderu, batuk menyerang. Belum sempat sampai Batu Koq, badannya bergetar samapi memuntahkan cairan kuning tanpa ada tanda sisa makanan yang tercerna keluar dari lambungnya itu. Berhenti di Senaru, Aku mulai protes pada penggagas ide unutk membatalkan rencana gila ini tapi justru Marmo yang meradang menolak bahakan dengan ancaman kematianlah!. Si Kecil Meru bersikeras untuk mandi di air terjun Sindang Gile, kedua orang porter yang sengaja dibayar unutk mengusung Marmo mengingatkan tentang kejadian aneh yang sering terjadi di air terjun ini.



Kami semua melepas lelah, mencelupkan kaki-kai yang lama tak bercumbu dengan jalan gunung. Mendadak Marmo berlari kecil masuk menuju arah titik pusat jatuhnya air sambil meneriakkan nama lengkap Sheila, unutng saja Hendra berada dilintasan terdekat, dicegahnya tubuh ringkih yang meronta meminta dilepaskan dengan kekuatan yang tak terduga, kekauatan Marmo berlipat terpengaruh jelamaan gaib dengan rupa Sheila. Badan Marmo bergetar hebat kedinginan.



Hari kedua kami bergerak lambat dari Plawangan Senaru menuju Danau Segara Anak. Laya tertegun kagum oleh kecantikan danau ini. Siang itu nuansa damainyamasih terasa, kabut tipis yang seolah permanent menjadi selmut permukaan danau pada ketinggian dua ribu delapan ratus delapan meter diatas permukaan ini. Laya tersenyum manis kearahku, mungkin teringat masa dimana dulu aku pernah memintanya untuk menjadi kekasihku, jawabannya adalah tantangan terjun keair dingin itu. Aku pun diterima bahkan dengan bonus hypothermia!



Marmo membuka pembicaraan ketika kami berkumpul ditepi api unggun dengan latar Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari disisi barat. Pidatonya berisi ucapan terimakasih, kenanganmasa lalu, kesempurnaan hiudp dan keberaniaannya menghadapi malaikat kematian mebuat kami bangga bercampur haru. Kini Kadir tak mua kalah, berdiri, mendehem, mengangkat dagunya menunjuk kearah Marmo. “Kawanku tercinta tahukah kamu dan kalian semua bahwa aku Kadir Ruslan Bachtiar ini bulan depan akan bergelar Sarjana Antropologi, kau dengar itu kawan Sarjanaaa!!!” tepuk tangan, derai bahagia, teriakan suka cita dan tangisan Marmo mewarnai malam di tepi Danau Segara Anak disaksikan bulan purnama.



Sinar mentari sedikit menembus kabut pagi ini. Kunyalakan kembali perapian yang membeku. Kunikmati setiap aliran oksigen yang masuk melalui lubang hidungku berlari kecil menuju paru-paru. Kulihat pad tepi danau seseorang terduduk pad kursi kecil portable, dari syal berwarna biru langit kukenali milik Laya. Kudendangkan lagu yang paling kami hafal jika berad digunung; `Penjelajah Alam` karya Sawung Jabo tapi tidak ada yang membalas seperti biasanya. Betapa terkejut aku begitu mengetahui bukan perempuan idamanku, melainkan Marmo yang terbujur kaku tapi matanya berkilauan dan senyumnya mengembang puas. Aku berteriak sekeras mungkin. Alam terkesiap.



Secarik kertas dari dada Marmo kubaca perlahan, alhirnya akulah si pembawa kabar pesan kematian Marmo; “Terimakasih telah mempertemukan aku dengan Anjani. Terimakasih kawan-kawanku tercinta, kalian telah membuatku tidak mati sia0sia diatas ranjang rumah sakit keparat itu. Seperti kata Gie `Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati ditempat tidur`. Terimakasih…terimakasih”.

Kami tidak menangis kawan.




KK X 06-09-08
(thanks to Hatib AK for your book)

Senin, September 08, 2008

Sepotong Sesuatu 4*

(CATATAN PENULIS; UTK MENDAPATKAN CERITA YG RUNTUT, SEBAIKNYA BACA DULU " SEPOTONG SESUATU 1 " DST. thx)
Rencana B, Siap Laksanakan!
Menjelang malam. Lokasi; Sel tahanan

Pintu baja berderit terbuka sebentar kemudian tertutup kembali dengan dua gembok besar dan tambahan rantai tergantung mengunci pintu sel tahanan. Pak Jono terduduk menunduk sendirian pada sebuah sudut sel tahanan itu meratapi nasibnya. Pertanyaan-pertanyaan di ruang interogasi tadi masih terbayang dalam selnya kesendiriannya sepanjang sore. Setiap teringat dengan cengkraman, teriakan dan mata merah Yanto wajahnya semakin tenggelam pada posisi duduk dengan tangan menggenggam erat kedua kakinya.
”Kena kasus apa sampeyan sampai masuk bui ini?” Pak Jono terkejut bukan main mendengar suara itu, dia tidak memperhatikan ada orang masuk sel yang sama dia tempati ketika pintu itu terbuka tadi.
Posisinya tambah merapat pada sudut itu, teman satu selnya itu berpenampilan besar, seram dan beberapa hiasan tato jelas terlihat mengisi lengan bagian atas kanan dan kiri begitu membuka baju tahanan. Bayangan tentang cerita-cerita mengerikan dari balik jeruji yang sering terjadi sesama tahanan membuat Pak Jono semakin takut, hari ini dia harus berbagi dengan orang lain dalam sel itu.
”Kenapa Pak? Jangan takut, aku gak akan ngapa-ngapain sampeyan!” baju tahanannya digunakan sebagai kipas untuk sedikit mengurangi hawa panas yang terasa menguap di sel tahanan.
”Sudah lama di masuk sini pak? Hey, sampeyan dari tadi belum kasih tau kena kasus apa?” orang yang ditanya menjawab singkat tetap tenggelam dalam ketakutannya.

”Tolong perhatikan kalau ditanya, lihat saya pak! Hey, jangan nunduk terus gitu, sini kamu!” gelegar ucapannya membuat gemertak tulang pada kaki Pak Jono, mendekat ragu kearah kawan satu selnya.
”Ampun Pak, jangan pukul saya Pak, tolong kasihani saya” posisinya menggapurancang rapuh dengan getaran halus seluruh tubuhnya, membayangkan apa yang akan dialami setelah ini.
”Loh, sampeyan kira saya ini penjahat apa? Diluar sana saya memang penjahat, perampok dan pembunuh tapi sekarang saya cuma mau dipijat, itu saja! Tolong pijat bahu saya ini pak, rasanya pegel banget.”

Tangan kasar Pak Jono terampil dalam mengatasi otot-otot yang bermasalah, disela-sela menunggu penumpang yang menggunakan jasa angkutan genjotnya Pak Jono juga menawarkan jasa pijat atau urut, lewat karton bekas mie instan yang ditulisi `Jasa Pijat dan Urut` yang dia gunakan sebagai media promosi layanan jasanya yang biasa dia gelar disebelah becaknya. Penghasilan tambahannya ini justru lebih menguntungkan, dia hanya mengeluarkan sedikit tenaga menyusuri setiap jalur-jalur otot manusia jika dibandingkan pekerjaan utamanya mengayuh becak yang berjarak kiloan meter belum lagi beban penumpang dan barang bawaan demi lembaran ribuan rupiah.

”Nama asliku Sardi tapi sampeyan gak akan nemuin nama Sardi kalau tanya ke preman-preman Jogja atau sepanjang daerah Jawa Tengah, mereka panggil aku Izroil karena urusan cabut-mencabut nyawa sudah jadi keahlianku. Kadang-kadang aku juga disebut sebagai Jagal dari Jagalan, gara-gara isu usaha potong kerbau dan sapi milik keluargaku bangkrut makanya aku jadi jagal manusia. Nama sampeyan siapa Pak? Kerja apa dijogja?”

Tekanan psikologis yang diderita Pak jono rupanya sedikit teralihkan dengan adanya kawan ngobrol yang baru masuk dalam selnya itu. Awalnya Pak Jono hanya sekedar menjawab pertanyaan pasien pijatnya ini tapi keterbukaan kawan satu selnya ini yang menceritakan masa lalunya yang kelam telah membunuh banyak orang hanya demi menaikkan statusnya dan mendapatkan gelar bergengsi dimata sesama preman, namun bagaimanapun sadisnya dia ketika menghabiskan korbannya, sebagai manusia dia pun sering menghadapi teror-teror mental lewat mimpi yang membuatnya menangis jika terbangun ditengah malam.

”Korbanku terakhir adalah seorang bocah berusia empat tahun, sebenarnya dia bukan sasaranku tapi terpaksa kuhabisi karena dia melihat aku ketika membantai keluarganya. Waktu itu aku panik karena tangisan bocah itu sangat keras, entah setan apa yang merasuk ketubuh aku, tiba-tiba dia sudah berlumuran darah dan parang yang kupegang meneteskan darah dari bocah tidak bersalah itu. Aku jadi teringat anakku yang seusia dia tapi terlambat bocah itu sudah meninggal waktu aku coba mengangkat tubuhnya. Kupikir aku bisa menyelamatkan dan kubawa lari kerumah sakit saat itu juga, temanku mengajak aku segera kabur dari situ tapi bayangan bocah itu terus menghantui selama masa pelarianku.”

”Akhirnya aku menyerahkan diri karena aku sudah tidak tahan lagi. Dipersidangan aku lebih tak tahan lagi mendengar jeritan histeris isteri dan anakku yang mendengar putusan hakim bahwa aku dijatuhi hukuman mati. Jantungku terasa berhenti saat itu juga. Tujuh tahun aku menjalani masa hukumanku sambil menunggu waktu eksekusi tapi kemudian aku melarikan diri setelah mendengar kabar anakku sakit keras, aku harus bertemu dengan anakku saat itu juga tapi dasar apes setelah dua minggu menunggu di rumah sakit akhirnya aku tertangkap lagi seminggu kemarin. Hukuman matiku dipercepat setelah aku tertangkap terlebih tambahan hukuman akibat dua penjaga yang kubunuh saat melarikan diri. Sekarang yang kupikirkan hanya nasib anakku, aku gak tega ninggalin isteriku menanggung ini semua, ahh...”

Lengan Pak Jono berhenti sejenak dari aktivitasnya ketika suara sang jagal sedikit bergetar terbata-bata menceritakan masa lalunya dan kerinduannya terhadap anaknya yang telah berusia dua belas tahun yang harus ditinggalkan karena keberadaannya didalam sel. Pak Jono memperhalus pijatan tangannya menjadi usapan pada punggung, sedikit menghibur ketika emosi Sardi menjadi tak terkendali tenggelam dalam isak tangisnya sementara kepala tangannya memukul-mukul lantai, Pak Jono merasakan penyesalan mendalam.

Sardi merubah posisi duduknya dan dengan cepat menguasai emosi begitu mendengar suara langkah sepatu lars penjaga sel yang mengantarkan bungkusan nasi, air putih dan kopi hitam, dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan penjaga. Mereka menikmati nasi dan tempe penyet, cukup telat untuk disebut sebagai makan malam. Kopi hitam kini menemani mereka yang hanya terdiam beberapa saat setelah makan, bibir Pak Jono bergetar seperti hendak berbicara namun tidak satu pun kata yang terucap. Tegukan kopi hangat ditenggorokannya membuat dia memberanikan diri bercerita tentang detail kasusnya kepada kawan satu selnya itu, kepalanya masih tetap tertunduk selama menceritakan bagaimana dia hinga masuk sel ini, rasa penyesalan mendalam keluar begitu saja. Sardi hanya tersenyum. Malam semakin melarutkan mereka kedalam tragedi hidup yang tidak mereka duga sama sekali.

Adzan subuh menghentikan cerita Pak Jono, Sardi mengajak untuk beribadah subuh berjamaah. Derit pintu baja kembali terdengar menggangu mereka berdua yang khusuk dalam doa, seorang penjaga masuk dan meminta Sardi agar keluar dari sel karena ada hal penting yang harus diselesaikan. Satu jam kemudian Sardi kembali masuk dengan langkah lunglai kemudian terduduk lemas sementara kertas pada tangan yang terselip cincin perak berbentuk rantai kecil di jari kelingkingnya tak kuat menahan lembar surat itu, kemudian melayang jatuh ke lantai. Pak Jono mendekat, memungut kertas itu, setelah membaca isi surat itu muka menunjukkan ekspresi terkejut. Kawan satu selnya akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan eksekusi hukuman matinya akan dilaksanakan satu bulan lagi terhitung hari ini. Kertas itu pun melayang kembali terlepas dari tangan.

****


Target Operasi dalam Sasaran
Kamis, 14 Juni 2007. 15.45 WIB. Lokasi; Kali kuning.

”Lapor Komandan, Target Operasi masih berada didalam gubuk tua itu, ada tiga orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Ciri-ciri cocok dengan orang yang kita cari. Hasil pengintaian saya selama dua hari mendapatkan informasi bahwa setiap malam mereka melakukan aktifitas berat seperti latihan perang, setiap pagi mereka berlari seputar bukit dan lereng ini kemudian dilanjutkan latihan memanah juga melempar pisau. Mereka memiliki kemampuan militer cukup handal meskipun tidak terlihat tanda-tanda latihan menggunakan senjata api tapi berdasarkan informasi beberapa warga yang pernah memancing di sungai balik bukit ini sering terdengar suara seperti letusan senjata api. Saat ini tidak terlihat ada tanda-tanda aktifitas, laporan selesai.” Salahsatu anggota pengintaian berpakaian layaknya petani itu melaporkan keadaan sekitar lokasi.

Erlang meminta anggota tim mendekat, selembar peta dihamparkan diatas kap mesin Jeep berwarna hitam. Beberapa anggota dengan pakaian khusus berwarna hitam turun dari truk lengkap dengan rompi anti peluru, helm baja, senapan M15 tersanding dipunggung sementara pistol colt berkaliber 45 mm terpasang pada bagian paha mereka sebagai senjata cadangan. Erlang memberikan instruksi sebagaimana Standar Operasi penanganan teroris, membagi beberapa tim yang akan melakukan penyergapan dari beberapa titik yang telah ditentukan pada peta.

”Oke perhatikan, sebagaimana telah Saya sampaikan tadi malam dimarkas jadi saya hanya mengingatkan lagi, perlu diketahui yang kita hadapi kali ini tiga orang sipil yang telah memiliki pengalaman pelatihan perang, mereka angggota pasukan jihad lulusan pemberontakan Filipina, sementara kita lihat sendiri medan yang kita hadapi juga cukup sulit mengingat banyaknya tanaman dan kontur tanah berbukit-bukit, sasaran telah menguasai medan dengan baik jadi kita harus ekstra hati-hati.Tim Hijau akan berada pada ring tiga. Satu orang pada posisi utara gubuk, masing-masing satu orang disebelah barat dan timur, saya yakin pasti ada jalan rahasia selain dari pintu itu. Kalian harus siap pada ring ini. Sekarang pukul 16.58 WIB, semua sudah cocokkan waktu? Dapat dipahami?” empat orang dengan pita berwarna hijau dilengan kirinya serempak menjawab komandannya.

”Tim Kuning, bergerak perlahan dari ring tiga menuju ring dua tepat dibelakang melindungi tim merah yang menyusup dari arah pintu, dua jendela sebelah barat dan timur, kita paksa sasaran keluar menggunakan gas airmata, sementara khusus penembak jitu saya percaya anda dapat menepatkan diri pada posisi paling tepat di empat penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai sasaran kabur dan usahakan tidak ada korban jiwa terutama pada diri kita karena keluarga menunggu di rumah. Semua perlengkapan sudah siap? Berdoa mulai.” Seluruh anggota tertunduk sejenak.

Lewat alat komunikasi yang terpasang pada telinga tersambung pada mikropon fleksibel dibagian pipi, Erlang siap memimpin pasukan dari jarak diluar ring tiga. Meminta alat teropong pada salah satu anggotanya, sebuah teropong disodorkan kearahnya. Erlang memperhatikan sejenak cincin pada jari kelingking dari anggotanya yang memberikan teropong itu.
”Sekali lagi aku ucapkan terimakasih, berkat kelihaianmu bersandiwara didalam sel tempo hari, akhirnya kita mendapatkan titik terang sampai sejauh ini, mungkin sebaiknya kau jadi artis sinetron saja kawan.” Erlang menunjukkan apresiasi atas prestasi anggotanya yang telah berhasil membuka mulut tersangka yang tidak mau memberikan keterangan lewat pemeriksaan verbal, pilihan pendekatan personal dengan memasukan anggotanya kedalam sel yang sama ternyata berbuah hasil sampai sejauh ini.

”Hahaha... justru yang hebat itu sutradara gadungannya,” tangan bercincin itu menepuk-nepuk bahu Erlang.
”Kalau saja kamera CCTV dalam sel itu bisa melihat mukamu yang sedang akting didalam sel itu pasti kamu akan diketawai semua orang di korp kita! Pasti tampangmu jelek sekali saat menangis, jagal kok nangis.” Erlang tertawa lepas, tapi saat itu dia sempat kebingungan mencari akal untuk memperkuat akting anggotanya ini yang mengarah kepada skenario eksekusi mati, tiba-tiba saja sebuah ide terlintas, kemudian dia membuat petikan surat yang berisi percepatan eksekusi mati untuk Sardi.
”Siap-siap minggu depan kamu akan dieksekusi mati kawan.” Tawa mereka terlepas bebas.
Erlang mendapatkan laporan dari tim merah yang siap mendapatkan perintah dadakan karena sebelum mereka berada titik yang telah ditentukan, dari dalam gubuk itu terdengar suara bunyi kaleng yang saling beradu, rupanya sekeliling gubuk itu telah dipasangi alarm sederhana.
”Lemparkan gas air mata lewat jendela, tim merah dobrak pintu depan lalu masuk kedalam! Tim Hijau tetap pada posisi perhatikan sekitar” Erlang menerima laporan singkat dari anggota yang diperintahkannya.

Enam puluh detik kemudian laporan masuk.

”Tim Merah kepada Kepala Suku, target tidak berada didalam, target telah melarikan diri, kami menemukan satu lubang dilantai tanah sepertinya ada terowongan didalamnya. Mohon ijin untuk masuk kedalam.” Ketua tim melaporkan temuan dan minta ijin untuk mendapatkan perintah secepatnya.
”Tim Merah pecah menjadi dua, satu lakukan pengumpulan bukti sisanya lakukan pengejaran, segera laporkan terowongan itu menuju arah mana, laksanakan! Tim Hijau perhatikan dengan cermat sekeliling, tangani setiap gerakan mencurigakan. Elang satu bagaimana keadaan arah utara? Ada tanda-tanda pergerakan? Elang dua, tiga dan empat laporkan setiap gerakan, lakukan eksekusi pelumpuhan, ingat jangan dihabisi!” Erlang mengambil kembali teropong yang ditaruhnya diatas peta, menyapu semua daerah sasaran.

”Lapor komandan, terowongan mengarah menuju selatan sepertinya tembus menuju sungai dibalik bukit” Erlang segera bereaksi setelah mendapatkan laporan temuan tim merah itu. Memberi kode kepada Yanto untuk siap didalam mobil jeep dan memberikan perintah kepada anggota tim hijau bergerak kearah utara, tim kuning mendapatkan perintah kearah barat sementara tim penembak jitu tetap pada posisi karena daya pantau dan tembak mereka dapat menjangkau jarak yang sangat jauh.

Kemampuan Yanto mengendalikan kendaraan di medan berat tidak lagi diragukan, Erlang memerintahkan secepatnya menuju bibir sungai dan bergerak menyusuri kearah selatan. Mobil jeep yang handal dalam segala medan pun harus terhenti karena kumpulan bebatuan besar akibat muntahan Gunung Merapi menghadang mereka. Erlang dan Yanto dengan sigap dan cekatan keluar mobil dan berlompatan pada bebatuan besar sepanjang aliran sungai yang hanya mengalirkan sedikit air karena tertimbun pasir dan material vulkanis lainnya.

”Tim Merah kepada Kepala Suku, lapor Komandan, terowongan terpecah menjadi dua, satu kearah selatan sementara satu lagi menuju barat, Tim Merah kami bagi menjadi dua.” Erlang memerlukan sejenak berhenti untuk memproses laporan anggotanya sambil mengamati sekeliling aliran sungai. Yanto berlari kearah batu besar untuk mendapatkan pandangan pencarian lebih luas. Ketua Tim Merah memberi kode dengan gerakan tangannya, dua orang menuju barat sementara dia sendiri kearah selatan, lampu senter yang terpasang disenapan harus dinyalakan untuk mendapatkan visual yang jelas dalam lorong kecil dan gelap itu.

”Tim Merah sudah sejauh mana kalian menyusuri terowongan?
”Sekitar empat ratus meter dari titik sergap, delapan enam!”
”Elang Tiga, ada tanda-tanda pergerakan menuju selatan? Tim Kuning, kalian dengar laporan tim merah tadi, cepat lakukan penyisiran sepanjang titik barat! Seluruh anggota segera laporkan semua temuan secepatnya!” Erlang tidak ingin usaha semua anggotanya yang telah bergerak sejauh ini hanya mendapatkan temuan nihil.

”Elang Dua kepada Kepala Suku, ada gerakan satu orang dari arah barat lima ratus meter dari titik sergap, pelumpuhan sulit dilakukan akibat terhalang tanaman, Tim Kuning apakah dapat diterima dengan baik? delapan enam!” laporan itu membuat lega dalam diri Erlang, tepat perkiraannya telah membagi tim dan dia yakin Tim Kuning dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Yanto yang mengamati dari atas bebatuan memberi kode temuannya. Terdapat banyak jejak sepatu tertinggal pada pasir mengarah kepada seberang sungai ada juga yang berlawanan arah, Erlang dan Yanto saling berpandangan kemudian Erlang memberi kode anggukan kepala, mengeluarkan pistol otomatisnya dari sarungnya yang bergantung diantara lengan dan badannya yang terlindung oleh rompi anti peluru itu. Berjalan hati-hati mengikuti jejak, menyeberangi sungai yang ketinggian airnya hanya sebatas betis mereka.

Erlang berhenti sejenak ketika mereka sampai disisi seberang sungai, mengamati jejak kaki.
”Kamu lihat ini Mas? Tadi dari seberang sana kita lihat banyak sekali jejak kaki, disini juga masih terdapat banyak jejak yang sama tapi perhatikan” Erlang dan Yanto berada dalam posisi merendah memperhatikan dan menyentuh permukaan pasir hitam itu.
”Benar Dan, hanya ada satu jejak kaki yang basah menuju arah bukit itu” Yanto mengikuti jejak dengan sapuan matanya.
”Adanya yang aneh, Tim Merah yang menuju selatan dari dalam terowongan belum juga keluar padahal kita tadi mengambil jarak yang lebih jauh dari mereka. Coba kontak seluruh anggota Tim Merah, jika tidak ada laporan segera kembali menuju terowongan tadi dengan mengikuti jejak sementara aku akan lakukan pengejaran kearah bukit itu, laporkan setiap perkembangan. Oh ya, bawa lampu senter?”.

Erlang bergegas mengikuti jejak temuannya, selain mengejar sasarannya dia pun diburu waktu yang semakin mengarah menuju gelap. Sepanjang pinggiran sungai hanya terdapat pasir hitam,bebatuan berbagian ukuran dan debu tebal sisa-sisa letusan Merapi, tidak ada pepohonan, semua kering akibat debu dan awan panas Merapi. Yanto melaporkan telah menemukan pintu terowongan dan telah masuk kedalam, tapi belum sempat pertanyaan tentang tanda-tanda dari Tim Merah terjawab saluran komunikasi mengalami gangguan. Erlang menghubungi Hari yang berjaga pada pos awal penyergapan, meminta bantuan keterangan apapun mengenai lokasi menuju arahnya mengejar target karena peta tertinggal dalam mobil jeep hitamnya, tapi tidak ada jawaban.

Erlang memberikan perintah agar sisa tim yang berada ring satu segera menyusul kedalam terowongan dengan perintah khusus agar menggunakan masker. Firasatnya menjadi yakin ketika anggotanya yang melakukan pengumpulan bukti menemukan beberapa bola tenis lapangan, jika dugaannya benar maka bola itu akan digunakan sebagai senjata rakitan yang dapat mengeluarkan gas pelumpuh otot yang disebut sebagai senjata senyap, biasa digunakan oleh gerakan milisi untuk melarikan diri sekaligus melumpuhkan orang yang mengejar mereka. Kali ini Erlang kebingungan dengan jejak yang diikutinya tiba-tiba saja menghilang, jejak sepatu yang basah itu telah mengering karena debu tebal tapi kini dihadapannya hanya ada bongkahan batu-batu besar sehingga jejak yang semula dapat terlacak pada permukan debu tebal tak lagi dapat dia ikuti, tiba-tiba dikejutkan dengan suara letusan senjata api.

Erlang berteriak berharap siapapun dapat memberikan laporan secepatnya, gangguan komunikasi membuat dirinya harus menaiki batu besar itu namun yang terdengar hanya suara-suara tidak jelas, dirinya baru sadar telah berada diluar jangkauan efektif komunikasi mereka, sementara langit mulai tidak bersahabat dengan mendungnya. Erlang merasakan rasa sakit luar biasa pada bagian belakang paha kirinya, sebuah belati telah tertancap cukup dalam pada kakinya itu menyebabkan Erlang kehilangan keseimbangan namun sebelum terjatuh dia sempat melihat gerakan seseorang yang berlari diantara bebatuan besar.

Getaran tubuhnya seperti diguncang-guncang dan tetesan hujan yang cukup lebat menyadarkan Erlang dari pingsan sesaat akibat terjatuh dan kepalanya menghantam batu dibawahnya, darah yang keluar dari pelipisnya tidak sebanyak dari bagian pahanya yang masih tertancap belati. Bagian pelipis dan paha kirinya kini terasa hangat membangunkan kesadarannya dengan cepat memberikan instruksi bagi dirinya sendiri agar menghentikan pendarahan yang hanya mengeluarkan sedikit darah menggunakan sobekan kain dari baju lengan panjangnya. Menahan sakit pada bagian kaki dan pusing kepalanya, dia merasa heran karena tidak lagi menemukan belati yang tadi tertancap pada pahanya, sepotong doa dia panjatkan dalam guyuran hujan gerimis. Entah berapa lama dirinya pingsan tapi hari telah gelap sementara alat komunikasinya rusak akibat terjatuh tadi.

Penguasaan dirinya harus cepat pulih, sebuah senter dikeluarkan dari saku celana khaki berwarna hijaunya, tertatih mencari pistol kaliber 45nya. Rasa lelahnya memaksa dirinya harus bersandar pada bongkahan batu tapi dia merasakan kehangatan yang memberikan kenyamanan pada bagian paha dan pelipisnya, kesulitan komunikasi dan jarak yang ada, memposisikan dirinya harus berjuang sendirian tapi setidaknya malam ini dia ditemani pistolnya. Kesadarannya yang masih tipis mencoba mengingat-ingat sesuatu. Dia yakin disekitar lokasi terdapat bungker tempat perlindungan bagi petani jika suatu waktu Gunung Merapi meletus sementara mereka terlalu jauh untuk berlindung pada posko terdekat.

Sementara itu seluruh tim telah bergabung pada titik yang sama, gubuk tua itu berguna bagi mereka untuk berlindung dari hujan dan tempat sementara untuk pengobatan angota yang kritis terkena peluru serta dua anggota yang belum juga sadar akibat menghirup gas pelumpuh otot. Dua orang tersangka tertangkap, salah satu diantaranya terkena luka tembak pada bahu kirinya. Penembak jitu dengan sandi Elang Dua telah melumpuhkan target setelah terdengar letusan senjata Ak 4 yang dipakai target menembak salahsatu anggota Tim Kuning yang tengah mengejar target operasi, dari posisinya dia mendapatkan target berada pada pandangan yang jelas meski bersembunyi dari balik batu tapi target operasi itu tidak sadar jika dia pun menjadi sasaran penembak jitu dari atas bukit, sebuah peluru tepat mengenai bahu kiri bagian belakang hingga menembus batu tempat perlindungannya.

Hari masih mencoba menghubungi Komandannya tapi nihil tidak ada tanda-tanda jawaban sama sekali, sementara Yanto yang menjadi korban senjata senyap setelah menyusul kedalam terowongan itu belum dapat memberikan keterangan posisi terakhir dirinya bersama sang Komandan. Kemampuannya menjadi Ketua Tim dadakan sedang diuji oleh situasi kritis meskipun diantara Erlang dan Yanto, dirinya memang lebih junior, tapi bimbingan kedua partnernya selama ini membuat kepercayaan dirinya muncul. Hari mengambil keputusan setelah mengadakan instruksi dadakan. Dia hanya meminta dua orang menemani dirinya mencari komandannya sementara yang lain menunggu bantuan medis dan mempercayakan Ketua Tim Hijau mengambil alih pimpinan hingga menuju markas dan rumah sakit.

Hari memberi kode kepada dua anggota yang ditunjuknya agar mempersiapkan semua perlengkapan yang diperlukan, mereka berencana menyusul Erlang dengan cara menyusuri kembali terowongan yang sama karena jalan tercepat, sebelum mereka turun kedalam terowongan seorang penembak jitu memberikan teropong berkemampuan penglihatan malamnya kepada Hari. Masker, senter dan senjata api memberikan keyakinan bagi mereka untuk dapat menyusul Komandannya yang berada entah dimana dan bagaimana kondisinya diluar sana.


Firasat Buruk
Kamis, 14 Juni 2007. 18. 45 WIB. Lokasi; Kontrakan Nadhien.

Gelas berisi teh panas itu tiba-tiba terlepas begitu saja dari genggaman Raya menghantam lantai keramik, membuat Nadhien terkejut mendengar suara pecahan gelas itu sementara Raya hanya terdiam kaku melihat pecahan gelas. Gerimis belum juga berhenti sejak sore tadi, rupanya hujan kecil ini merata membasahi wilayah Jogjakarta, bulan yang seharusnya bersinar terang tertutup awan tipis. Nadhien merawat kaki Raya yang berdarah akibat terkena pecahan gelas, lagu berjudul Firasat yang dilantunkan oleh Marcel, terdengar dari laptop Nadhien menambah kuatnya kekhawatiran perasaan dalam hati Raya yang masih terkesan shock tidak banyak berbicara seperti biasanya.

Nadhien menawarkan Raya segelas air putih kali ini, baru kali ini dia melihat Raya berprilaku tidak sebagaimana mestinya yang selalu ceria. Air putih digelas itu berisi tinggal separuh, Nadhien memberanikan diri memegang tangan Raya yang menggenggam erat gelas itu khawatir akan jatuh lagi. Sentuhan lembut tangan Nadhien memberikan sebentuk suport mental bagi Raya untuk menjawab pertanyaan Nadhien yang berulang-ulang dilontarkan namun belum juga dia jawab sejak menjatuhkan gelas tadi.
”Mas, Mas Raya baik-baik saja? Ayo dong ngomong, kenapa toh? Koq dari tadi cuma diam aja.” sorot mata teduh Nadhien baru tersadarkan oleh Raya setelah dagunya terangkat oleh tangan Nadhien yang masih penasaran dengan kondisi anehnya itu. Nadhien melihat sorot mata Raya seperti kosong tetapi pergerakan pupil dan kornea menunjukkan ada aktifitas otak yang berlebih dan gerakan jantung yang bekerja dengan cepat. Nadhien menangkap sinyal kecemasan dalam diri Raya kali ini meskipun tubuhnya tidak melakukan pergerakan yang menunjukkan hal itu misalnya berjalan mondar-mandir seperti orang bingung.

”Non, kurasa ada sesuatu hal buruk yang terjadi pada orang dekatku saat ini, aku yakin tapi belum pasti siapa orang itu” mata Raya kali seperti menyala menatap Nadhien yang belum memahami maksud ucapannya.
”Tapi kamu baik-baik saja kan? Apa hal seperti pernah terjadi sebelumnya Mas?” kekhawatiran dan rasa ingin tahu Nadhien bercampur.
”Ya, aku baik-baik aja cuma aku perlu waktu sebentar untuk menstabilkan diriku. Sering sekali aku merasakan hal ini terutama jika orang-orang terdekatku sedang dalam musibah. Aku boleh minta tolong gak?”
”Ya, apa pun Mas, gak masalah”
”Aku harus berada dalam posisi setenang mungkin, supaya aku mengetahui siapa yang sedang mengalami musibah. Bisa minta tolong matikan musik itu sebentar saja.” Nadhien melakukan sebagaimana permintaan Raya.

”Boleh aku melakukan meditasi disini sebentar saja, selain itu aku juga perlu bantuanmu untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa menggangu konsentrasiku, bisa?”
”Bi..bisa.. Mas, tapi untuk apa?” Nadhien tergagap masih belum juga memahami kehendak Raya.
”Nanti aku ceritakan setelah ini” Raya sudah mengambil posisi meditasi, duduk bersila dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri yang terlipat menyentuh lantai, badannya tegak namun tidak tegang, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya sementara jari-jarinya membentuk cincin, nafasnya teratur ringan.

Nadhien hanya diam memperhatikan, dia terkejut melihat sekeliling tubuh Raya bersinar lembut terutama didahinya ada titik bersinar terang, seperti ada aura transparan menyelimuti tubuh itu. Penuh konsentrasi Raya mengatur nafasnya berada dalam hitungan tujuh ketukan setiap tarikan, tahan dan hembusan nafasnya. Dia mencoba menyatukan unsur pribadi, bumi dan angkasa sebagaimana biasa dia lakukan setiap kali berlatih pernapasan pada sebuah Paguyuban Seni Pernapasan dan Meditasi. Alam bawah kesadarannya dipanggilnya untuk mengetahui firasat apa yang dia rasakan. Citra-citra seluruh keluarga serta orang terdekatnya dia tampilkan dengan kekuatan pikirannya, dengan cara inilah dia dapat mengetahui keadaan mereka meskipun berjauhan jaraknya. Dia percaya ada media yang dapat menghubungkan antara dirinya dengan mereka melalui cara meditasi.

Citra yang pertama kali dia hadirkan adalah Ibunya kemudian Bapaknya dan kedua saudaranya, dari alam bawah sadarnya Raya mengetahui mereka semua baik-baik saja. Konsentrasinya kini menampilkan citra kawan-kawan akrabnya, dia bertemu Jane disana bahkan sempat berkomunikasi karena Jane memiliki keistimewaan bawaan lahir. Hampir semua keluarga dan teman terdekatnya sudah dia hubungi dengan cara ini tapi dia masih belum mendapatkan jawaban atas kegelisahannya tadi. Kali ini dia memaksa penuh kemampuan dirinya, lintasan bola warna-warni beterbangan dihadapan Raya.

Nadhien menjadi semakin khawatir ketika tubuh Raya yang semula hanya diam tenang kini perlahan bergetar hingga seperti terguncang-guncang tubuhnya meski tetap dalam posisi meditasi awalnya. Ada keinginan untuk memegang Raya dan menghentikan ini tapi tiba-tiba dia seperti mendengarkan suara Raya yang berbisik, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, percayakan pada dirinya. Di alam pikirannya Raya merasakan sinyal penyebab firasatnya itu, dia seperti berada disuatu tempat gelap penuh dengan kabut tipis, berjalan perlahan mencari apapun yang tertemui. Sebuah bola cahaya berwarna emas sejenis orb menjadi pemandu pada sesosok tubuh yang tergeletak lemah, dia kenali sosok itu meski hanya berupa bentuk tubuh berwarna merah dan hitam terutama dibagian wajah menyala merah.

Raya menyandarkan sosok yang ditemukannya pada sebuah batu besar, telapak tangan Raya bersinar keemasan terang kemudian mencabut sesuatu dari dikaki itu dan berkonsentrasi pada bagian luka dikepala dan paha dari sosok yang ditemukannya, dia percaya energi murni dalam tubuhnya yang merupakan hasil olahan Adenossin Tri Pospat dapat digunakan sebagai penyembuhan alternatif yang dapat ditransfer pada siapapun. Energi hangat mengalir keluar dari titik pusat Kundhalini berputar menjulur melewati titik-titik cakra tubuhnya kemudian disalurkan melalui tangan kepada titik-titik yang diinginkan untuk memperbaiki jaringan yang rusak disitu.

Nadhien masih memperhatikan tubuh Raya yang kini bergetar halus sementara sekujur tubuhnya dibasah keringat. Suasana kamar menjadi panas padahal sejak sore tadi suhu kamar cukup dingin akibat turun hujan. Getaran tubuh Raya mulai mereda dan berhenti, tubuhnya terkulai lemah dari posisi meditasi awalnya, membuka kelopak matanya dan melihat wajah Nadhien yang begitu cemas akan keadaan Raya. Segelas air putih habis diteguk menggantikan cairan tubuhnya yang keluar cukup banyak.

Kondisi Raya masih lemah tapi seperti ada hal penting yang harus dia lakukan saat itu juga, Nadhien mencegah Raya yang hendak keluar dari kamarnya. Dia khawatir kondisinya saat ini dapat membahayakan dirinya terlebih malam ini hujan mulai turun cukup deras diselingi angin kencang. Raya mengalah dengan tatapan Nadhien tapi bukan berarti menghentikan niatnya, dia mengambil handphonenya yang berukuran cukup besar biasa digunakan bagi penggemar kegiatan petualangan alam terbuka, berteknologi kurang canggih namun memiliki kelebihan kekuatan sinyal. Nomor Erlang coba dia hubungi tapi gagal, kali ini dia mencoba menghubungi Yanto tapi tidak ada jawaban sementara handphone milik Yanto hanya bergetar tak terdengar oleh siapapun yang ada disitu. Hanya ada satu kesempatan lagi, nomor Hari.
Suara dering monoponik dari handphone bermerk dan seri yang sama seperti milik Raya terangkat oleh Hari, menjawab pangilan masuk.
”Maaf Mas jangan sekarang, nanti saja hubungi saya lagi. Saya ada keperluan penting” suara Hari terdengar cukup jelas dengan backsound suara hujan, angin dan gelegar petir yang memberikan gambaran disekitar situ. Hari memutuskan hubungan telepon, masih bingung menentukan arah mana yang harus dia ambil dipinggir sungai setelah keluar dari terowongan. Raya terkejut setelah Hari memutuskan hubungan teleponnya, dia menekan kembali tombol panggilan keluar.

”Hallo Mas Hari, dengarkan dulu sebentar, tolong jangan dimatikan! Saya tahu dimana lokasi Mas Erlang” suara Raya terdengar sangat jelas ditelinga Hari membuat dirinya terkejut. Bagaimana Raya bisa mengetahui posisi Erlang sedang mereka saja tidak dapat menghubungi Komandannya itu, terlebih Operasi Penyergapan itu bersifat rahasia jadi tidak mungkin Raya mengetahui dimana posisi Erlang.
”Apa maksud kamu Mas?” Hari masih belum mengerti, langkahnya terhenti tapi tangannya memberi kode agar dua anggotanya mencari petunjuk sekecil apapun sementara dia mendengarkan Raya.
”Percaya saya Mas!, sekarang Mas Hari dan kedua anggota cepat menyeberangi sungai itu kearah timur terus lewati bebatuan, nanti disebelah kanan batu paling besar disitu ada pohon jati yang kering pada akarnya ada sebilah belati, ambil saja mungkin berguna sebagai bukti.” Kali ini ada dua orang, Hari dan Nadhien, yang tercengkang kebingungan mendengarkan perintah Raya. Segera Hari memerintahkan anggotanya untuk bergerak.


Lokasi; Pengejaran Target Operasi yang lolos

Erlang sudah sepenuhnya menguasai dirinya, berjalan terseok diantara bebatuan kecil yang menjadi licin akibat guyuran hujan dan lumpur. Sebuah bangunan kecil yang sebagian terkubur pasir dan bebatuan pada jarak puluhan meter terlihat berkat kilatan petir yang membelah gelapnya malam, panduan lampu senter kecil ditangannya membimbing langkah Erlang diantara bebatuan. Lampu senternya dimatikan ketika jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari sisi bagian kiri bungker itu dia tidak ingin kehadirannya diketahui target operasinya. Merapatkan tubuhnya pada dinding bungker, Erlang memastikan peluru dalam magazinenya masih ada dan melepaskan tombol pengaman pelatuk pada pistolnya. Terdengar suara dari dalam bungker yang gelap gulita.

Batu sebesar kepalan tangannya dilemparkan pada pintu baja yang tidak lagi dapat tertutup sempurna akibat desakan material vulakinik Merapi, menunggu reaksi dari dalam. Sebuah batu dilemparkan sekali lagi, tiba-tiba dia seperti melihat kelebatan dari arah dalam berlari menyeruak kegelapan malam. Teriakannya terdengar keras memberikan peringatan agar orang yang dicarinya itu berhenti dan memberi tahukan identitasnya bahwa dia adalah seorang Polisi. Kilatan petir membantu Erlang yang sesaat melihat targetnya yang lari diantara bebatuan, Erlang berlari mengejarnya tapi sayang kondisinya yang belum pulih dan licinnya medan membuat dirinya terperosok, lampu senter kecilnya terlepas dari tangannya dan tidak menyala. Erlang menunggu dengan posisi membidik diatas bebatuan berharap kilatan petir, satu-satunya bantuan penglihatannya, agar datang kembali. Doanya terkabul, petir mengelegar dan membuat terang dalam hitungan beberapa detik saja. Terdengar dua suara letusan senjata api, kemudian gelap kembali.

Rasa sakit dan panas luar biasa dibagian depan bahu kirinya menyebabkan darahnya mengalir kembali, rupanya bukan hanya dia yang melepaskan tembakan tapi dia juga yakin pelurunya tepat mengenai sasaran karena terdengar suara orang terjatuh. Erlang terus memaksa dirinya untuk tetap melangkah mengejar sasarannya, lima belas meter dari posisinya melepaskan tembakan terdapat bercak darah pada sebuah batu tapi dia tidak menemukan siapapun disana. Erlang melompat bersembunyi kearah batu setinggi satu meter, jantungnya berdetak kencang, luka baru dibahunya membuat dirinya sangat menderita, sekarang dia dan pistolnya harus mempersiapkan diri setelah mendengar suara dari belakangnya.

Badannya yang bersandar membelakangi batu pelindungnya, beberapa sorot lampu senter terlihat. Tiga orang, setidaknya dia memperkirakan serangan dari belakangnya, Erlang menekan tombol untuk mengeluarkan magazine dari body colt 45nya, mengecek kembali jumlah peluru yang ada, minimal harus ada tiga peluru didalam situ, lebih banyak lebih baik lagi. Suara langkahnya semakin jelas, perkiraannya sekarang mungkin mereka berada tepat didepan bungker tadi, berarti sekitar dua puluh meter jarak dia dengan orang-orang yang baru saja datang dan semakin mendekat. Erlang merubah posisinya dari balik batu itu dengan pistol mengarah kepada asal suara, berharap kembali petir yang membantu dirinya tadi dapat datang kembali.

Jari telunjuknya sudah siap pada pelatuk, membidik sasaran yang dapat saja muncul dalam hitungan detik dari balik gelapnya malam. Kilatan petir seperti akar terang yang menjalar cepat dihamparan langit hitam muncul kembali. Suara letusan kembali terdengar dari pistol Erlang yang masih mengeluarkan asap efek yang diciptakan akibat letusan mesiu, diujung laras pendeknya. Erlang berteriak menyebutkan identitasnya dari balik batu itu dan menanyakan keadaan sasaran baru bidikan pistolnya tadi. Untung saja Hari berteriak sesaat sebelum kilat menyambar, refleknya merubah bidikan kearah lebih tinggi lagi telah menyelamatkan anggotanya dari serangan Komandannya sendiri. Erlang dan ketiga anggotanya merasa lega.

Hari meminta ijin melakukan pengejaran sementara dia harus meninggalkan seorang anggota untuk merawat Erlang dan memanggil bantuan. Informasi terakhir Komandannya mengenai status sasaran yang terluka tembak membuat Hari dan satu orang anggota menjadi lebih bersemangat tapi pesan Erlang agar mereka tetap berhati-hati karena sasaran membawa senjata api.


Kontrakan Nadhien

Raya terduduk lemah akibat kehilangan energi cukup banyak dalam meditasinya tadi. Tangannya berusaha menekan tombol panggilan terakhir kepada Hari untuk mengetahui perkembangan. Jawaban yang didapat hanya singkat, penolakan Hari untuk berbicara dengan Raya bisa saja membuat konsentrasi terpecah dan membahayakan nyawa Hari. Nadhien sudah mulai menguasai dirinya dari kecemasannya dan menawarkan teh hangat dicampur sedikit madu.

”Minum ini Mas, lumayan supaya kamu gak terlau lemas” ucapan terimakasih hanya terdengar pelan sekali.
”Gimana sudah agak baik?” anggukan kepala itu sebagai jawabannya
”Mas, bisa tolong ceritain tadi itu kenapa toh Mas? Kenapa tiba-tiba Mas Raya jadi begini? Terus yang Mas hubungi tadi siapa?” Nadhien sudah tidak tahan lagi untuk mengetahui jawaban kecemasannya, dia tidak peduli lagi apakah Raya telah kuat untuk menjawab pertanyaannya itu.

Raya menguatkan dirinya untuk bercerita, statusnya yang berada dalam ruang bedah mayat dia jadikan sebagai pembuka cerita kemudian dia menjelaskan kaitan dirinya yang sangat rumit hingga menjadikan dirinya terlibat pada kasus pembunuhan itu dan terakhir dia menjelaskan mengapa dia harus melakukan meditasi tadi. Dia menyadari kemampuan lebihnya yang dapat melihat dan mengetahui kejadian yang berjarak jauh dari dirinya atau dalam ilmu para-psikologi dikenal sebagai clair voyance ini didapatkan hasil dari latihan meditasi dan pernafasan karena sering terus dilatih maka dia akan keluar dengan sendirinya, dia juga yakin setelah mendengarkan penjelasan dari pelatihnya bahwa manusia baru menggunakan sekitar dua puluh persen dari potensi dalam dirinya dan jika diagali terus maka manusia baru sadar akan kemampuannya yang tak terkira selama ini. Itu sebabnya tiba-tiba dia seperti merasakan ada sesuatu hal buruk sedang terjadi, kali ini kaitannya dengan Erlang yang sedang mengalami masa kritis.

Nadhien yang terbiasa dengan ilmu pasti dan pikiran-pikiran skeptisnya cukup sulit untuk mempercayai hal itu, meskipun dia sering melihat buku-buku tentang penggalian kemampuan bawah sadar manusia melalui berbagai meditasi tapi dia hanya melihat cover bukunya saja karena baginya itu adalah bohong belaka, sekarang dia baru sadar dengan istilah ”don`t judge abook from it`s cover”, selain itu juga dia sangat terkejut dengan status Raya yang selama ini mengaku sebagai mahasiswa yang sedang penelitian skripsi. Nadhien berharap informasi lebih banyak lagi dari keterangan Raya, tapi dia meminta waktu untuk tidak menjelaskannya saat ini. Raya mengingatkan Nadhien bahwa mereka belum menunaikan ibadah malam ini, Raya juga meminta secara khusus agar Nadhien berdoa untuk keselamatan Erlang dan timnya.


Jawaban atas Doa Tulus
Lokasi; Rumah Sakit Sardjito, bagian ICU. 01.05 WIB

Raya dan Nadhien menunggu dengan cemas didepan bagian Intensif Care Unit, mereka mendapatkan informasi dari Hari bahwa Erlang telah dibawa kerumah sakit dalam kondisi kritis. Raya yakin bahwa suara deru mesin helikopter yang melintas diatas kontrakan Nadhien selepas shalat tadi adalah helikopter yang membawa Erlang dari lokasi menuju Rumah Sakit Sardjito yang letaknya tidak jauh dari kontrakan itu. Hari datang mendorong Yanto pada kursi roda, sesaat setelah sadar dari ruang UGD, dia memaksa untuk melihat kondisi Komandannya yang kritis, dihadapan mereka Yanto menangis merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Erlang. Hari menenangkan dan menjelaskan kepada Yanto bahwa dia tidak bersalah bahkan diri masih belum bisa berjalan akibat ototnya yang belum dapat digerakkan tapi ini hanya bersifat sementara menurut keterangan dokter.

Pintu ruang ICU terbuka, seorang dokter dan perawat mendekati mereka. Menjelaskan bahwa Erlang telah melewati masa kritisnya dan peluru yang bersarang pada bahunya telah dikeluarkan sejak diruang operasi tadi tapi dia masih perlu waktu yang lama untuk istirahat. Dokter memberikan ijin bagi keluarga dekatnya untuk melihat kondisi Erlang tapi berlaku untuk dua orang setiap kali masuk. Raya dan Nadhien mendapatkan kesempatan pertama karena Hari harus menenangkan Yanto terlebih dahulu, dia tidak ingin nanti didalam sana emosinya tidak terkendali.

Raya mengambil kursi kecil dan mempersilahkan Nadhien untuk duduk disamping tempat Erlang terbaring. Status jantung Erlang dapat termonitor seperti sandi rumput atau kilatan listrik pada sebuah layar kecil itu. Nadhien tidak dapat berbuat apa-apa hanya terdiam mungkin merapal doa dalam hati meskipun dia hanya bertemu sekali didalam ruang bedah mayat tempo hari tapi empatinya terhadap Erlang cukup tinggi. Raya mulai mengosok-gosokan kedua telapak tangannya lalu merasakan getaran halusnya muncul ketika beberapa detik kedua telapak tangan saling berhadapan tanpa bersentuhan kemudian mendekatkan telapak tangan kanannya kearah luka dibahu dan telapak kirinya memegang telapak tangan Erlang. Nadhien hanya dapat menyaksikan saja sambil bertanya-tanya dalam hati, entah apa lagi yang dilakukan Raya yang terpejam penuh konsentrasi.

Beberapa detik setelah Raya melepaskan tangannya, Erlang memperlihatkan tanda-tanda vitalnya, kelopak matanya terbuka lemah sekali nafasnya dibantu masker yang mengalirkan oksigen. Nadhien tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya, dia berdiri seolah ingin menunjukkan kehadirannya disisi Erlang memberi suport baginya, Raya hanya tersenyum memahami kedipan mata lemah itu. Nadhien sampai menitik air mata, salut dengan kegigihan Erlang untuk bertahan hidup.

”Gak masalah Mas. Biar aku saja yang tunggu Mas Erlang disini, Mas Hari dan Mas Yanto istirahat saja dulu.” Raya memahami alasan Hari dan Yanto setelah keluar dari ruang ICU yang tidak dapat menunggui Komandannya malam ini, sementara anggota lainnya juga disibukkan menjaga tahanan yang baru saja mereka tangkap yang juga dirawat di rumah sakit ini dan beberapa lagi diantaranya istirahat di markas setelah melakukan operasi penangkapan yang melelahkan. Nadhien memaksa Raya untuk menemaninya malam ini, meskipun Raya melarang tapi kemauan kerasnya tidak dapat dicegah karena dia juga tidak yakin dengan kondisi Raya.

Malam terus bergerak menuju pergantian hari, Nadhien mempercayakan dirinya tertidur dalam pangkuan Raya. Penyakit Insomnianya tetap tidak dapat dikompromikan meskipun tubuhnya masih terasa lelah, sepanjang malam dia hanya memperhatikan wajah Nadhien yang polos dan tenang dalam tidurnya, tangannya masih mengelus rambut halus itu, tidak menyangka dapat sedekat ini dengan Nadhien. Tepat jam dua dini hari seorang anggota berpangkat rendah datang mengantar kopi, susu panas dan beberapa makanan ringan kemudian pamit kembali untuk menjaga tahanan di ruang UGD.

Nadhien terbangun namun kepalanya terasa berat dan sakit sekali, migrainnya kambuh lagi. Raya melarang Nadhien yang hendak duduk, meminta agar tetap pada posisi tidurnya dalam pangkuan. Raya kembali melakukan gosokan tangannya itu, meminta ijin pada Nadhien, memberikan instruksi agar diam saja dan membantunya dengan nafas teratur. Nadhien merasakan hangat dan seperti ada gelombang yang merambat lembut dari telapak Raya yang didekatkan kearah kepalanya, perlahan rasa nyamannya membuat rasa sakit pada pembuluh darah dikepalanya berkurang, Raya hanya tersenyum melihat Nadhien yang tidak lagi menahan rasa sakit. Nadhien mencium telapak tangan Raya sebagai bentuk rasa terimakasihnya kini dia mengetahui rahasia kemampuan Raya yang terpendam itu.

”Ada kopi dan susu panas, kamu mau minum atau lanjut tidur lagi?” Raya menawarkan minuman panas yang diantarkan bagi mereka. Nadhien terbangun dengan semangat.
”Kebetulan malam ini aku belum minum susu, Mas Raya minum kopi aja ya?” Nadhien telah mengambil pilihannya dan menyodorkan gelas plastik berisi kopi panas pada Raya. Nadhien memperhatikan langit kemudian mengajak Raya untuk keluar menikmati bulan yang bersinar terang didepan taman kecil itu.

Raya merasa kikuk untuk berbicara dengan Nadhien, gelas kopi panas tidak pernah lepas dari tangannya.
”Non, aku boleh tanya sesuatu?” Raya akhirnya memberanikan diri bertanya pada Nadhien yang masih memperhatikan bulan.
”Tanya apa Mas?”
”Eh, gak jadi deh. Nanti aja.” senyum Raya terkesan kaku dan dipaksakan
”Loh kok gak jadi! Mau tanya apaan sih tadi?” Nadhien menjadi semakin penasaran.
”Aku takut kamu nanti marah. Besok lagi aja deh!”
”Marah? Kenapa aku harus marah Mas?” tetap tidak juga mau berbicara meskipun Nadhien terus mendesak dan mencubiti Raya semakin membuatnya menjadi jengkel.
”Ya sudah kalau gak mau kasih tahu. Lebih baik aku tidur lagi, sudah ngantuk nih.” Nadhien mengajak Raya kembali pada ruang tunggu.

Permintaan Nadhien untuk tidur pada pangkuan Raya dikabulkan, lagipula tidak ada bantal diruang tunggu itu. Nadhien sudah pada posisinya untuk tidur, mengucapkan selamat tidur. Raya memperbaiki posisi jaketnya yang dijadikan penghangat bagi tubuh Nadhien. Pandangan mereka bertemu pada titik yang sama sebelum Nadhien memejamkan mata, kemudian tersenyum.
”Non, boleh aku pegang rambutmu selama kamu tidur?” Raya meminta ijin atas tindakan yang telah dia lakukan sebelumnya.
”Boleh aja kok Mas, lagian dari tadi kan Mas Raya juga dah pegang rambutku” Raya tak dapat menyembunyikan malunya tapi Nadhien terkesan tidak berkeberatan.
”Oohh, jadi dari tadi kamu gak tidur toh?” Raya menarik gemas hidung Nadhien yang mungil.
”Aduh sakit Mas, ampun. Hiihiiihii lepasin dong!” Nadhien berontak agar terlepas.
”Ssstt... jangan berisik. Kamu sadar gak? Kita lagi di rumah sakit.” Raya mengecilkan suaranya agar tidak menganggu orang disekitar meskipun malam ini di ruang tunggu tidak ada orang lain.

Nadhien sudah tidak bersuara lagi dalam pangkuan Raya yang terus mengelus lembut rambut halus itu. Kopi panas yang diminumnya tadi justru memperkuat efek insomnianya. Dia hanya termenung memperhatikan wajah Nadhien, matanya menikmati keindahan bibir tipis, hidung yang mungil dan alis yang bergaris hitam tegas tidak terlalu tebal, tiba-tiba mata Nadhien terbuka.
”Hayo, Mas Raya ngelamunin apa?” reflek tangan Raya pun memencet hidung Nadhien, mereka tertawa kecil menahan agar tidak meledak keluar.
”Non, kamu mau gak jadi pacar aku? Yaa itung-itung merawat orang telantar kayak aku ini sama seperti merawat anak asuh, nanti kamu dapat pahala loh!”
”Ah Mas Raya ini becanda, mana mungkin kamu suka dengan aku yang jelek ini?” Nadhien tersenyum menggoda
”Aku serius Non, bersediakah kamu menjadi pacarku, seperti Adam yang menemukan Hawa sebagai belahan jiwanya?” sorot mata Raya berbinar serius menerobos bening mata Nadhien untuk mengetahui dalam hatinya. Nadhien yang berada dalam pangkuan Raya tersentak dengan ucapan dan sorot mata itu.
”Mas Raya seriuskah?” suaranya bergetar, dari posisinya ini Raya dapat mendengarkan detak jantung Nadhien.
”Insya Allah, aku tidak ragu atas perasaanku terhadapmu!” Raya menunggu jawaban Nadhien, teror mental beberapa detik itu seperti membunuh Raya, apa jadinya jika Nadhien menolak? Betapa malunya dia nanti jika cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Nadhien hanya tersenyum mengamati Raya yang mulai gelisah, dahinya mulai basah berharap cemas akan jawaban Nadhien. Lembut tapi pasti Nadhien memberi kode dengan kepalanya. Raya tersenyum puas tapi tidak cukup hanya dengan jawaban itu.
”Bisa jadi aku salah mempersepsikan anggukan kepalamu, jadi tolong jawab dengan bibir manismu itu Non.” Raya menantikan detik-detik itu.

Tangan Raya ditarik kearah dada Nadhien yang berdebar cukup kencang, bibir tipisnya seperti siap memberikan jawaban.
”Mas Raya tidak yakin dengan perasaanku ini? Aku bersedia Mas!” perasaan lega dan sensasi lainnya bergejolak bercampur seperti hendak meledak dalam dada. Mereka terus tersenyum saling berpandangan. Meminta ijin agar dapat mencium kening Nadhien, dijawab dengan anggukan lembut dan mata terpejam. Raya mencium kening itu, hanya sejauh inilah batasan itu, dalam hatinya berjanji akan menjaga kepercayaan ini dan kewajiban Raya untuk dapat menjaga kehormatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Nadhien menarik tangan Raya mencium telapak itu dan menaruhnya pada pipi lembutnya. Nadhien tertidur dengan damai, sedamai perasaan Raya yang masih mengelus rambut halusnya.

Suara panggilan bagi umat untuk menghadap penciptaNya, membangunkan Nadhien yang terasa nyaman dari tidur singkatnya. Raya tertidur bersandar pada tembok.
”Mas...Mas... Bangun Mas” suara lembut itu membangunkan Raya yang disambut dengan senyuman manis kekasih hatinya kini.
”Bersedia menjadi imam buat aku, Mas?” Raya merasakan sempurna hidupnya kini.


RSUP Sardjito, Empat jam kemudian.

Handphone milik Raya berdering, terdengar suara Hari meminta agar Raya dan Nadhien bisa pulang untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain, Hari menunggu di ruang UGD. Tepat jam sembilan pagi, hari ini Nadhien harus masuk kampus, mereka meninggalkan Erlang yang masih tertidur, berjalan menuju tempat Hari menunggu.
”Apa kabar kalian? Pasti lelah sekali ya?” Hari keluar dari ruang UGD memeriksa keadaan dua hasil tangkapan mereka yang terluka pada bagian bahu dan kaki kiri mereka masing-masing. Jawaban ringan mereka tidak menggambarkan kelelahan yang dikhawatirkan Hari.
”Tolong titip Mas Erlang, mungkin nanti sore aku jenguk kesini lagi. Maaf aku harus antar tuan puteri ini ke kampus.” Nadhien yang disebut sebagai tuan puteri tersenyum manis dan mencubit kecil tangan Raya, Hari hanya tersenyum melihat kemesraan mereka.

”Jadi semalam dapat berapa orang yang tertangkap Mas? Bagaimana keadaan mereka?” Hari menjawab pertanyaan Raya sambil menunjukkan hasil tangkapan mereka kedalam ruang UGD. Ruangan itu hanya berisi dua orang pasien titipan Polisi, mereka terborgol pada tempat tidur mereka masing-masing. Ruangan luas itu menjadi sempit karena terbagi menjadi beberapa ruang kecil yang tersekat dengan selembar kain hijau untuk setiap pasien. Hari, Raya dan Nadhien berada pada pasien yang terluka pada kakinya sementara hasil tangkapan satu lagi berada disebelah satunya dibatasi kain hijau.

Teriakan Nadhien membuat Raya dan Hari terkejut. Nadhien hanya menangis, terguncang, menatap lemah pada kekasihnya yang baru saja dia miliki, sementara Raya tak dapat berbuat apapun. Hari hanya mengarahkan pistolnya dengan ragu, ancaman seseorang yang berlindung dibalik sandera tidak bisa dianggap main-main. Rupanya salah satu tersangka yang berada dibalik kain hijau itu bangkit mengalungkan leher Nadhien dengan pisau bedah yang mungkin dia sembunyikan semalam ketika dilakukan operasi penanganan luka tembak dibahu kirinya, meskipun tangan kanannya terborgol pada ranjang besi dan luka dibahu mengeluarkan darah lagi tapi ancamannya membuat Hari harus memenuhi permintaan orang itu.

Hari meletakan senjatanya dilantai, menendangnya kearah pintu dan memberikan kunci borgol untuk diberikan kepada Nadhien sesuai perintah orang yang berlindung dibalik tubuh Nadhien. Raya hanya bisa menenangkan Nadhien lewat tatapan matanya. Tangannya gemetaran dengan luka sayatan kecil dileher akibat pisau bedah yang tertekan pada kulitnya, Nadhien membukakan borgol dari tangan penyanderanya. Kunci kecil itu telah berpindah tangan, kemudian memerintahkan kepada Hari untuk memasangkan borgol itu ketangannya sendiri dan tangan Raya. Kini penyandera dapat bergerak leluasa, dengan sandera dan penghalangnya akan kesulitan menyerang dengan borgol ditangan mereka.

Penyandera berjalan mundur, tangannya masih memegang pisau bedah yang diarahkan menuju leher sanderanya, berjalan perlahan dengan ancamannya menuju pintu, mengambil pistol milik Hari bahkan sebelum keluar dari pintu itu dia menyempatkan membuang kunci borgol kedalam wastafel tempat bagi dokter untuk mencuci tangan. Nadhien jatuh terdorong setelah penyandera itu berlari keluar dengan acungan senjata api. Hari dan Raya memastikan keadaan Nadhien yang masih terguncang kemudian lari mengejar dengan kondisi terborgol satu sama lain. Tidak sulit mengikuti arah penyandera itu berlari, sepanjang koridor yang mulai didatangi orang yang akan menjenguk menjadi ramai dengan teriakan begitu melihat seseorang berlari dengan senjata api, menabrak siapa saja yang menghalangi.

Hari dan Raya terus mengejar buruannya, seorang perempuan muda terjatuh akibat diterjang, Raya mengenali orang itu dan mendekati.
”Kamu tidak apa-apa Jane?” membantunya berdiri
”Gak apa-apa. Dia lari kearah parkir utara!” tangannya menunjuk kearah larinya orang yang menabraknya.
”Jane kamu tolong ke UGD, disana ada temanku yang shock, dia pakai jaketku!” Raya sambil berlari berteriak memberitahukan agar Jane melihat keadaan Nadhien. Jane hanya mengangkat satu tangannya memberi tanda setuju.

Hari menjelaskan situasi yang terjadi pada seorang SATPAM yang mendekati mereka kemudian membuka borgol.
”Saya memerlukan senjata kamu, cepat hubungi semua anggota yang ada dan minta bantuan Kepolisian terdekat, lakukan penyisiran didalam dan diluar. Kamu disini saja, tangani Nadhien” senjata api berisi peluru tak tajam milik SATPAM telah berpindah tangan, kemudian Hari bergegas mengejar, tapi rasa penasaran Raya tidak menghentikannya hanya sampai disitu.

Raya mendekati petugas SATPAM yang sibuk menghubungi meminta bantuan sesuai perintah Hari.
”Maaf Pak, saya perlu alat ini dan tolong Bapak cepat periksa keadaan saksi dan tahanan titipan di ruang UGD. Cepat laksanakan!” perintah tegas dari Raya meyakinkan petugas keamanan itu seolah mendapatkan perintah langsung dari seorang anggota Polisi. Raya menyusul mengejar menuju parkir utara.

Hari melompati pagar setinggi dua meter, pada tembok itu terlihat jejak kaki buruannya yang melompat kearah rawa kecil yang ditumbuhi tanaman dan semak lebat berbatasan dengan tembok itu. Raya sempat melihat Hari melompati pagar kemudian menyusulnya.
”Kenapa kamu ikut mengejar? kamu tahu ini sangat berbahaya!” Hari terkejut begitu dia menyentuh tanah ternyata tak lama kemudian Raya sudah berada disampingnya.
”Tenang saja Mas, aku bawa ini?” Raya menunjukkan pentungan karet yang dipinjamnya dari SATPAM tadi.
”Gila kamu ini!”
”Ssst... dengar itu Mas?” Raya mendengar kawanan burung pipit yang terbang dari balik semak-semak berjarak sekitar tiga puluh meter didepan mereka.

Hari memberikan kode agar Raya mengejar kearah kanan sementara dia mengambil kearah kiri kemudian sudah hilang dibalik semak belukar. Keadaan rawa menjadi sangat sepi, tidak ada suara ataupun gerakan binatang kecil penghuni rawa, penyandera itu menyadari kehadiran mereka. Raya berjalan perlahan menunduk, berusaha sekecil mungkin tidak menimbulkan suara., dirinya sadar berada dalam situasi berbahaya, tidak sekedar dalam permainan memperebutkan bendera lawan saat perang-perangan dengan senapan mainan berpeluru cat warna-warni. Kepalanya dengan cepat menunduk begitu terdengar suara letusan, sebuah dahan pohon Sengon patah terkena tembakan, hanya setengah meter diatas kepalanya.

”Thanks Jane!” dalam hati bergumam, rupanya kawan dekatnya ini dari ruang UGD memberikan peringatan akan adanya bahaya lewat komunikasi batin dengan Raya, telat satu detik saja peringatan itu, mungkin kepalanya terkena sasaran peluru. Jane memberitahukan keadaan Nadhien yang tengah ditangani perawat. Kelebihan kemampuan indera keenam yang dimiliki Jane dapat keluar begitu saja tidak seperti Raya yang harus melakukan meditasi terlebih dahulu. Raya mengejar penembak itu yang bergerak lari kearah barat setelah menembaknya. Buruannya berlari lemah didaerah terbuka, pentungan ditangannya dilemparkan sekuat tenaga dan tepat mengenai bagian belakang kepala sasarannya, meskipun sempat terjatuh tapi dia masih bisa berlari kearah semak-semak.

Lewat komunikasi batin kali ini Jane memberitahukan posisi buruan mereka yang sedang menahan rasa sakitnya bersembunyi di balik semak, Raya bisa mendekati orang yang hampir sekarat karena mengeluarkan darah banyak sekali dari luka dibahunya. Hari terlebih dahulu menemukan buruannya yang terkapar lemah setelah mengikuti jejak darah, tangannya masih menodongkan senjata dan mengambil senjata miliknya yang berada tidak jauh dari kakinya. Hari memberikan perintah agar Raya memborgol menggunakan borgol yang sama mereka kenakan tadi pada buruannya yang sudah berada dalam posisi tidur telungkup dengan kedua tangan diatas kepala, membawa keluar menuju jalan raya.

Raya bergegas mencari Nadhien, menerobos kerumunan wartawan yang terhadang Polisi didepan sebuah ruang periksa. Jane tengah memeluk Nadhien yang masih terguncang akibat kejadian tadi, Raya memegangi jarinya memastikan bahwa semua baik-baik saja dan telah selesai. Tidak lama kemudian orang tua Nadhien menjemput dan membawa Nadhien, sebenarnya Raya berkeinginan untuk mendampingi Nadhien tapi Hari membutuhkan dirinya setelah dia menghadapi pertanyaan kumpulan wartawan yang memaksa masuk.

”Terimakasih banyak Jane, you save my life once again” Raya meneguk kopi dari gelas plastik.
”Thats what friend are for, aku cuma kecewa selama ini kamu tidak tidak terbuka dengan aku” mereka duduk di kursi tunggu menikmati kopi panas.
”Kamu kan tahu aku gak pernah bohong dan gak akan bisa menutupi apapun dari kamu, aku juga yakin kamu mengetahui alasan mengapa aku gak pernah cerita tentang hal ini, aku harap kamu bisa mengerti.” meskipun Raya berbicara dengan Jane tapi pikirannya masih tertuju kepada Nadhien.
”Aku bisa mengerti jika ini semua masih ada kaitannya dengan skripsimu. Ingat, aku harus berbohong, mengatakan kepada kawan-kawan bahwa kamu pulang kamu untuk urusan penelitian, semua ini demi menutupi keberadaanmu yang hilang begitu saja.” walau bagaimanapun Jane tidak pernah bisa marah terhadap kawan satunya ini.
”You better call her, i know you still worried about her condition.” Jane menyodorkan handphonenya, Raya hanya tersenyum bahkan untuk handphone miliknya yang habis baterenya saja, karena semalaman tidak dicharge, Jane bisa mengetahui hal itu, bagaimana dia bisa menutupi hal lainnya dari kawan akrabnya ini.


Lokasi; Kediaman orang tua Nadhien. 13.30 WIB

Raya menepati janjinya untuk melihat keadaan Nadhien secepatnya setelah urusan selesai. Hari terpaksa memberikan ijin lebih cepat keluar bagi Raya dari pertemuan seluruh tim di ruang kerja Erlang karena melihat Raya tidak fokus mengikuti pembahasan mengenai tindakan berikutnya. Raya bergegas menuju lokasi yang telah disebutkan Nadhien lewat telepon tadi. Gerbang tinggi itu terbuka, seorang penjaga keamanan rumah memberitahukan agar Raya dapat menunggu di ruang tamu. Halaman rumahnya cukup luas dan terawat dengan baik, dihiasi tanaman mahal, Raya masih belum mengerti alasan Nadhien yang memilih untuk tinggal di kontrakan sementara rumahnya sendiri cukup nyaman dan jarak tempuh menuju kampus hanya sekitar empat puluh menit saja.

Ayah Nadhien sudah menunggu di ruang tamu menunggu penjelasan Raya tentang posisi Nadhien hingga bisa berada dalam situasi yang membahyakan puteri kesayangan mereka karena Nadhien belum bisa diajak berbicara sementara belum ada satu pihak pun yang sempat memberikan penjelasan kepada mereka karena langsung membawa Nadhien pulang. Sikap pembawaan Ayah Nadhien yang egaliter tapi tidak menutupi perasaan khawatir terhadap anaknya membuat Raya menjadi tenang menceritakan kejadian yang sesungguhnya, tentu saja menutupi statusnya dengan memberikan alasan bahwa mereka ada di rumah sakit untuk menjenguk kawannya yang sakit.

Raya diajak ke pekarangan belakang rumah, disana Nadhien duduk pada kursi santai memeluk kucing kesayangannya, perempuan tua yang menjadi pengasuhnya sejak kecil tidak bisa membujuk Nadhien yang belum juga menyentuh makan siangnya. Ayahnya membiarkan mereka berdua. Raya tidak tega melihat Nadhien yang tiba-tiba saja terjebak pada situasi yang membuat dirinya terguncang, pandangan matanya masih kosong menatap kedepan, tiba-tiba menangis begitu mengingat kejadian tadi, membuat kucing kesayangannya lari menjauh, terduduk lemah dikursi memeluk Raya yang berdiri disampingnya. Raya mengelus rambutnya menenangkan dan membujuk Nadhien agar mau makan karena sejak tadi pagi dia belum makan.
Lelucon kecilnya tentang ayam tetangga yang masuk rumah sakit karena sering melamun dan tidak mau makan, menciptakan senyum ringan dan berhasil membujuk Nadhien memakan bubur ayam meski tidak habis dan meminum segelas susu. Nadhien meminta agar Raya tidak meninggalkan dia lagi, Raya hanya tersenyum bangga dengan kekuatan hati Nadhien dan berjanji akan selalu berada disisinya kapan pun dia membutuhkan bantuannya, tentu saja tidak termasuk jika berkaitan dengan ujian di kampus atau urusan ke kamar kecil. Mereka sudah bisa tertawa lagi, Ayah Nadhien tersenyum puas, melihat dari balik kaca lantai satu, dia percaya puteri kesayangannya berada di tangan orang yang tulus.


Lokasi Ruang ICU. 20.00 WIB

Raya masih bertanya-tanya dalam hatinya sepanjang perjalanan dari utara Jogjakarta menuju Sardjito, mengapa Hari menelpon dirinya agar segera kesana? Tanpa penjelasan lengkap, hanya keterangan penting. Sebenarnya Nadhien mencegah kepergiannya dan Ayahnya pun tidak berkeberatan jika Raya bersedia menginap di kamar tamu yang telah disediakan, tapi karena ini menyangkut Erlang, dia berjanji akan berhati-hati dan akan terus menghubungi akhirnya Nadhien memahami.

Langkahnya dipercepat menuju ruang ICU, disetiap penghubung satu gedung dengan gedung lainnya dia melihat penjagaan rumah sakit ini menjadi diperketat, mungkin untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi karena dia sudah dikenal oleh beberapa petugas maka dengan leluasa melewati mereka, meski tidak ada satupun penjaga yang dapat menjelaskan keadaan Erlang ketika dia bertanya-tanya. Pintu ICU terbuka, dia terkejut, seluruh tim telah berkumpul di tempat Erlang terbaring, dadanya berdegup cukup kencang tapi begitu Hari membalikkan badannya menyambut Raya, terlihat Erlang sudah terduduk bersandar, melepas masker oksigen dan menyapa kehadirannya.Raya tidak dapat menutupi kebahagiaannya, matanya berkaca-kaca. Erlang mendengarkan penjelasan perkembangan kasus dari Hari, kasus ini harus segera diselesaikan karenanya dia memaksakan diri, bahkan dalam keadaan baru saja melewati masa kritis. Ruangan ICU telah disulap menjadi markas sementara......
(bersambung...)