Senin, September 08, 2008

Sepotong Sesuatu 3

(Ini adalah lanjutan dari SEPOTONG SESUATU 1-2, jd klo mau tau cerita secara runtut baca dulu SS 1-2, thx b4)
Post Mortem Internal Analisyst
Pemeriksaan Lanjutan. Sabtu, 9 Juni 2007. Lokasi; Ruang Bedah Mayat.

`Selamat pagi Indonesia, sudah bangun Mas? Ingat loh hari ini ada pemeriksaan lanjutan. Ayo cepat mandi, sampai ketemu lagi di Sardjito` sms dari Nadhien membangunkan dari nyenyak tidur Raya yang cukup berkualitas meski hanya tiga jam. Jarum jam menunjukkan pukul 5.30, ada keraguan untuk melanjutkan tidurnya kembali tapi dia harus melawan rasa kantuknya terutama kebiasaan malas bangun pagi. Laptop pinjamannya ternyata belum dimatikan, rupanya dia tertidur setelah pulang dari Poltabes mendiskusikan hasil pemotretan posisi korban dan TKP. Sebenarnya rasa lelahnya belum hilang sepulang dari Sardjito kemarin sore kemudian diteruskan di Poltabes, tapi penyakit insomnianya dan tinggi rasa ingin tahu memaksa Raya untuk meneliti lagi hasil jepretan kameranya di kamar kosnya itu. Meneliti lebih detail dan memberikan catatan penting dari setiap foto yang ada.

Pertemuan pertama dengan Nadhien dan pertemuan-pertemuan berikutnya membuat hubungan mereka semakin dekat. Tidak hanya sekedar sms lucu atau sekedar basa-basi, Nadhien lebih aktif mengingatkan Raya untuk bangun pagi, terkadang sms Nadhien berhasil menjadi terapi melawan kebiasaan buruk Raya yang sulit untuk bangun pagi, seperti pagi ini. Air wudhu yang membasuh muka Raya memberi efek segar luar biasa, sudah lama sekali dia tidak berkomunikasi dengan Tuhannya dalam ritual wajib ini. Kesadarannya semakin meningkat, semangat dan optimisme hidup kembali muncul. Rasa sesal masa lalu yang terlalu sering protes pada Tuhannya seolah tertebus dari setiap bulir air yang menitik dari matanya kala sujud setelah salam terakhir. Dadanya terasa lapang.

Nadhien melambaikan tangannya dari ruang tunggu Instalasi Kedokteran Forensik, Raya membalas dengan senyum ringan sementara tangannya masih memegang HP, membaca sms dari Erlang yang tidak dapat hadir di ruang mayat dan kembali memberikan kewenangan penuh kepada Raya untuk menjadi observer pada pemeriksaan lanjutan ini. Sms dibalas kemudian mendekati Nadhien.

“Mau permen jahe Mas? Ini bagus loh untuk perut supaya gak mual di dalam nanti, soalnya hari ini pasti akan ada pembantaian,” Nadhien tersenyum manis menawarkan permen jahe. Raya mengambil lima butir, tidak hanya untuk melawan mual tapi permen ini juga dapat dia manfaatkan sebagai penawar mulutnya yang kecut karena tidak merokok.
“Kok ambil permennya banyak sih? Yah jadi tinggal dua deh permenku!” ekspresi wajahnya yang spontan masih memperlihatkan sisa-sisa tanda kekanakkan Nadhien,
“Gitu aja marah Non, nih ku kembalikan lagi permennya,” terkadang Raya menikmati tingkah laku Nadhien yang tidak dapat menutupi manjanya pada sisi lain kedewasaannya.
“Cuma satu dibalikinnya. Iih jahat!” Raya tidak dapat mengelak dari cubitan yang mengarah pada bagian lengan.

Dokter Widjaja dan asistennya berjalan menuju pintu ruang bedah mayat, Nadhien harus menghentikan serangan cubitannya kearah Raya, dia tidak ingin pamannya melihat keakraban dirinya dengan Raya. Semua orang yang berkepentingan berkumpul didepan pintu sebelum memasuki ruangan itu, kecuali keluarga korban yang tidak hadir hari ini. Dokter Widjaja menyapa semuanya membuktikan kesan ramahnya sebagai `tuan rumah` dan mempersilahkan masuk. Tangannya mencegah Nadhien untuk tidak masuk kemudian berbisik, “Baru satu hari, kok sudah akrab ya?” sebelah matanya berkedip menggoda emosi keponakan tercintanya itu, Nadhien hanya cemberut tidak dapat mengelak. Keakraban Nadhien dengan pamannya ini pernah membuat iri Ayahnya yang jarang bertemu karena kesibukannya, terlebih Dokter Widjaja tidak dikarunia anak maka perhatian dan kasih sayang yang diberikan layaknya terhadap anaknya sendiri.

Dokter beserta asistennya dan tambahan satu asisten ahli toksikologi memulai proses otopsi mayat korban. Kecurigaan Dokter Widjaja terhadap temuan buih dan bekas muntahan berwarna hitam pada rongga mulut dan bibir korban telah dikemukakan terhadap rekan kerjanya yang lebih mengetahui segala permasalahan seputar ilmu mengenai racun. Begitu mendengar penjelasan dari Dokter Widjaja mengenai temuannya itu, Dokter Ferryal begitu antusias dan segera menyepakati untuk membantu proses ini. Dia telah banyak membantu pihak Kepolisian dalam mengungkap kasus pembunuhan yang diakibatkan oleh racun yang masuk kedalam tubuh korban.

Reputasi dokter yang terbilang muda ini cukup gemilang, namanya mulai dikenal oleh masyarakat umum ketika menangani kasus pembunuhan aktivis HAM yang ditemukan meninggal dunia dalam pesawat terbang akibat racun arsenic yang diketemukan dalam tubuh korban masuk melalui minuman. Efek arsen akan berakibat fatal, hanya dengan 150mg saja dapat mengakibatkan kematian. Terdapat dua karakter yang menggambarkan efek fatal arsenic, yang pertama seseorang dapat meninggal dunia beberapa hari setelah racun arsen masuk kedalam tubuh dimana penyebab kematiannya adalah adanya kegagalan fungsi organ dalam tubuh atau Hepatorenal failure dan yang kedua yaitu efek yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

Sementara dalam kasus terbunuhnya aktivis HAM tersebut dimana korban diketemukan meninggal dunia dalam pesawat terbang menandakan kuatnya racun arsenic yang masuk dalam tubuh bisa jadi melebihi dosis minimum lethal dose sebesar 250-300mg yang akan mengakibatkan korban menjadi shock dan adanya kegagalan kardiorespirasi. Kali ini Dokter Ferryal akan diuji ketelitianya dalam menggungkap akibat kematian pada korban yang menurut hipotesa awal Dokter Widjaja kemungkinan diakibatkan racun Sianida.

Nadhien sebagai mahasiswa observer terlihat begitu antusias begitu mengetahui adanya kemungkinan ini sementara temannya belum juga hadir diruang ini, Raya tak kalah tertarik akan hal ini. Pengetahuannya mengenai ilmu racun nantinya tidak hanya sebatas mendapatkan informasi melalui situs pribadi kawan-kawan sesama pencinta dunia forensik dalam dunia maya tapi kali ini dia mendapatkan tentor langsung dari ahlinya terlebih pada kasus kematian seseorang. Masih kuat ingatannya seputar toksikologi setelah dia mendapatkan kiriman artikel mengenai macam-macam racun ini melalui email dari kawannya yang kuliah pada jurusan Kriminologi UI. Sianida merupakan salah satu racun dengan paling berbahaya selain racun Antimony Potasisium Tartrafe yang berwarna keputihan – keputihan dimana unsur logam ini biasa digunakan sebagai campuran pembuat obat untuk pengemas campuran logam dan Thallium yang biasa digunakan untuk membunuh tikus.

Kedua dokter senior ini mulai bekerja dengan panduan dari pengalaman masing-masing. Dokter Widjaja mulai membuka mulut korban dan mengambil sample cairan mulut menggunakan swab sementara Dokter Ferryal melakukan observasi hasil swab tersebut. Dokter Feryyal memberikan tanda sepakat atas hipotesis awal Dokter Widjaja dengan bahasa tubuhnya.
“Bagaimana Dok?” Dokter Widjaja mendekati Dokter Ferryal
“Sebagaimana kita ketahui bahwa Sianida hanya bereaksi sebagai Hidrogen Sianida bebas dan oleh karena itu garam-garam yang ditelan perlu untuk bertemu baik dengan air maupun asam lambung sebelum membebaskan asam Hidro-Sianida, maka untuk memastikan hal ini kita perlu untuk melakukan pembedahan pada bagian lambung mayat.” Sorot matanya pasti menatap Dokter Widjaja.

Dokter Widjaja memberikan instruksi kepada asistennya untuk mempersiapkan semua keperluan bedah, prosedur yang biasa dilakukan dalam analisis toksikologi jika ada temuan ciri-ciri racun maka perlu diambil sample dari darah, urin, isi lambung dan liver. Pisau bedah mulai memotong jaringan kulit mayat dengan posisi antomis, menembus bagian otot, mulai terlihat bagian dalam perut korban. Raya harus menahan isi perutnya yang mendadak bergejolak, kesadaran terus memotivasi dalam dirinya agar kuat menghadapi ini semua, satu permen jahe dikulum kembali. Empat meter dari meja bedah cukup bagi Raya untuk melihat secara detail pembedahan yang sedang dilakukan.

Dokter Ferryal mengangkat bagian lambung dipisahkan pada alat khusus, sebelum dilakukan pembukaan terhadap isi lambung, dia memberikan peringatan kepada semua yang ada dalam ruangan akan kemungkinan bahaya menghirup racun hidrogen sianida dari isi perut mayat karena karakter dari racun ini bisa saja tidak tercium oleh hidung, hanya beberapa orang dengan genetika tertentu saja yang dapat mencium bau itu. Perlahan bagian luar dari lambung itu dicuci dengan air mengalir, dibutuhkan ketelitian bagi Dokter Ferryal ketika melakukan pemotongan kecil pada kurvatura mayor. Dokter Widjaja mempersiapkan tempat untuk menyimpan lambung yang telah terangkat sementara sample organ tubuh lainnya kemudian ditaruhnya di bawah meja pemeriksaan.

Proses pemeriksaan kali ini Dokter Widjaja menyerahkan sepenuhnya kepada dokter muda juniornya itu, kesempatan adalah hak semua angkatan muda dan bagi yang telah berpengalaman adalah kewajibannya untuk memberikan kesempatan itu, prinsip hidup ini yang membuat Dokter Widjaja terlihat bersahaja dimata rekan-rekannya. Kurvatura mayor dibuka lebar oleh Dokter Ferryal, potongan di mulai dari cardia ke pylorus sepanjang kurvatura mayor melewati pylorus disekitar duodenum sampai ditemukan titik temu. Penuh hormat meminta Dokter Widjaja untuk mencuci setiap lapisan yang akan diperiksa, sementara Dokter Ferryal dengan teliti memotong kandung empedu dan memisahkan untuk menjadi sample yang akan diperiksa berikutnya. Isi lambung dikeringkan untuk anilisis substansi yang melekat pada lambung kemudian melakukan reaksi kimiawi.

Raya mendapatkan sedikit penjelasan dari Nadhien dengan memperlihatkan buku pegangannya, buku itu terlalu berat untuk dipegang sehingga memerlukan mereka untuk mundur sedikit dan duduk pada kursi. Pintu ruang bedah tiba-tiba terbuka, Frans, mahasiswa observer itu terlihat panik karena telat. Nadhien hanya memberi kode dengan gelengan kepalanya, terlihat ekspresi wajah gugup dan keringat membasahi dahi mahasiswa ini. Frans khawatir mendapatkan penilaian kurang baik dimata Dokter Widjaja karena dia paham dosennya itu sangat menghargai waktu. Langkahnya ragu mendekati kedua dokter yang tengah serius meneliti sample, berjalan menuju meja mikroskop kemudian menoleh sejenak kebelakang berharap dukungan dari temannya sesama observer tapi Nadhien terlihat serius berbicara dengan Raya.

Frans masih belum dapat memberanikan dirinya untuk meminta maaf atas keterlambatannya hari ini, dihadapannya hanya kedua punggung dokter yang tenggelam dalam dunia renik. Keputusan diambilnya untuk menunda permohonan maaf karena dia tidak ingin mengganggu konsentrasi mereka kemudian menuju kursi tempat Nadhien dan Raya duduk, tapi perhatiannya tertuju pada mayat korban yang telah dibedah. Rasa penasaran merambat dalam dirinya dan sedikit penyesalan melewatkan kesempatan berharga, bagian perut korban yang belum tertutup dia perhatikan dengan mata telanjang kemudian beralih kepada sample lambung yang masih menganga, merogoh saku mencari kacamata untuk dapat membantu kekurangan kemampuan visualnya tapi sial, kacamatanya pasti tertinggal di dalam mobilnya karena terburu-buru menuju ruang bedah tadi.

Pandangan Frans yang kabur menjadi semakin buram saja bahkan apa yang dia lihat menjadi berbayang seperti melihat dua objek yang sama, sama-sama tidak fokus. Keringat dingin semakin deras keluar dari pori-pori dahi dan hampir sekujur tubuhnya. Keseimbangan tubuhnya menjadi goyah ketika menjauh dari sample itu dia mulai merasakan kejanggalan dalam tubuhnya yang menjadi lemah, kata-katanya yang ditujukan kepada Nadhien, yang masih asyik berdiskusi dengan Raya, tak dapat keluar dari mulutnya kemudian jatuh tak berdaya menimpa meja yang penuh dengan peralatan bedah yang menimbulkan suara berisik memecah konsentrasi.

Dokter Widjaja, Dokter Ferryal, Nadhien dan Raya segera mendekati Frans yang pingsan. Cekatan Dokter Ferryal memeriksa tanda-tanda vital dalam tubuh Frans kemudian memberikan instruksi pada Raya agar mengangkat tubuh Frans menjauhi sample organ tubuh penyebab hilangnya kesadaran Frans. Dokter Widjaja menghubungi lewat telepon yang terhubung ke bagian UGD. Perawat yang hadir didepan ruang bedah mayat tengah mendengarkan perintah dari Dokter Ferryal untuk memberikan informasi penting bagi penanganan medis terhadap Frans dan memberikan indikasi bahwa korban telah menghirup uap racun sianida dari isi lambung korban akibat kecerobohan korban yang berada terlalu dekat dengan sample lambung yang terkontaminasi sianida, diperparah lagi tanpa menggunakan masker. Keadaannya bisa kritis jika tidak cepat ditangani sesuai petunjuk Dokter Ferryal tadi.

Nadhien berharap cemas akan keadaan temannya sementara Raya terduduk lemas di bangku depan ruang UGD. Dia teringat kembali kejadian sewaktu identifikasi korban di lokasi TKP, jika saja saat itu Dokter Widjaja tidak cepat mencegah Raya maka kemungkinan dirinya akan mengalami hal serupa. Keduanya terduduk lemas dibangku panjang itu saling memandang satu sama lainnya, entah apa yang ada didalam benak mereka. Dering handphone menyadarkan pemilik kedua pasang mata itu, Nadhien mengangkatnya.
”Dokter Widjaja bilang pemeriksaan akan dilanjutkan setelah makan siang,” Nadhien melihat jam tangannya.
”Kita masih punya banyak waktu sebelum kembali ke ruang bedah, mungkin Mas Raya bersedia temani aku kekantin?” Nadhien memberikan tawaran kepada Raya yang masih terduduk lemas.
”Sudahlah Mas, gak usah terlalu dikhawatirkan, Frans sudah ditangani kok.” Nadhien belum juga mendapatkan jawaban atas tawarannya. Seolah ada bongkahan ungkapan yang tersangkut dalam kerongkongan Raya. Ekspresi gamang ini tertangkap oleh perasaan Nadhien.

”Kok, diam aja Mas. Ada apa?” suara lembut Nadhien perlahan melumerkan bongkahan itu, terbata-bata potongan kata-kata keluar dari mulut Raya.
”Aku bisa saja mengalami apa yang terjadi terhadap Frans waktu itu Non,” wajahnya masih menunduk
”Aku belum mengerti maksud pembicaraan Mas Raya?”
”Ya, bisa saja aku mengalami kondisi kritis itu Non, untung saja Dokter Widjaja menyelamatkan saat aku berada terlalu dekat dengan mulut korban ketika pertama kali diketemukan,” getir suara Raya diredam oleh usapan lembut tangan Nadhien pada bahu Raya yang masih tertunduk. Ada sensasi getaran aneh merambat halus menyentuh perasaan Raya ketika tubuhnya tersentuh Nadhien, ada kedamaian yang telah lama tidak dirasakannya.

Ah pemuda ini terkesan kokoh dari penampilan luar tapi begitu rapuh di dalam itu, Nadhien mengambil kesimpulan singkat yang sepihak berdasarkan pengamatan yang baru saja dihadapi terhadap sosok Raya. Tawaran Nadhien tadi dengan sopan ditolak Raya dan memberikan tawaran lain menuju tempat lain asalkan di luar lingkungan RSUP Sardjito untuk menghabiskan waktu menunggu pemeriksaan lanjutan. Nadhien memberikan opsi lain tapi tidak memberitahukan lokasi tawaran itu.


***

Istirahat Makan Siang. Lokasi; Hutan Kecil Bundaran Bulak Sumur

Nadhien sedikit bangga menunjukkan pada Raya satu titik dimana dia mendapatkan ketenangan setelah menghadapi kepenatan beban akademisnya. Hutan kecil ditengah kota, berada tidak jauh dari bundaran Bulak Sumur yang merupakan pusat aktivitas demokrasi ala mahasiswa kampus terbesar di jogjakarta ini. Dibawah kanopi pohon cemara, diatas hamparan tikar, beberapa kumpulan burung gereja turun menyusup kedalam rumput hijau yang cukup tebal mencari bebijian, sepasang diantaranya terbang kembali membawa ranting kecil yang kering, mungkin untuk dijadikan sarang sebagai tempat berlindung buah cinta mereka kelak. Seekor tupai kecil mengejar seekor tupai lainnya dari batang pohon cemara yang berlumut, meloncat berpindah dari dahan menuju ranting dan menghilang. Sepasang kupu-kupu berwarna ungu metalik, -ah, sepasang lagi, melayang anggun terbawa angin tengah hari. Dua mahluk ciptaan Tuhan lainnya hanya tersenyum menikmati aktivitas alamiah ini, dua gelas lemon tea pesanan mereka terkalahkan nikmatnya dengan sajian Maha Pencipta hari ini.

Raya akhirnya membuka diri akibat pertanyaan-pertanyaan Nadhien seputar kehidupan pribadinya tapi handphonenya bergetar, dia tahu yang menelponnya adalah Erlang karena sejak kemarin dia telah mengganti kartu telponnya untuk menghindar dari kawan-kawannya, jadi hanya Erlang beserta timnya, Nadhien dan Dokter Widjaja yang mengetahui nomor barunya. Raya minta ijin menjawab telepon sebentar, mengambil posisi menjauh dari Nadhien agar statusnya tidak terbongkar.
”Baik Mas, dari ruang bedah mayat masih dalam pemeriksaan lanjut saya belum dapat melaporkan karena saya juga belum memahami detail temuan dokter. Pemeriksaan ditunda karena tadi ada insiden kecil di ruang bedah” Raya memberikan laporan dengan suara agak berbisik meski jaraknya cukup jauh dari Nadhien, menunggu suara dari orang yang menelponnya tadi.

”Salah seorang mahasiswa observer mengalami kecelakaan karena menghirup uap sianida dari sample isi perut korban yang tadi dibedah oleh dokter tapi mahasiswa itu sudah dalam perawatan,” Raya menceritakan pada Erlang tentang insiden di ruang bedah tadi. ”Oke Mas, Saya pasti akan berhati-hati. Betul Mas, pemeriksaan akan dilanjutkan setelah makan siang. Ya, pasti Saya akan melaporkan semua perkembangan. Terimakasih juga Mas.” perhatian Erlang membuat Raya menjadi merasa sepenuhnya menjadi tim bawahan Erlang. Pembicaraan via handphone telah selesai kemudian menuju Nadhien yang duduk menikmati es lemon tea kesukaannya.

Meminta maaf atas gangguan telepon tadi, Raya mengaku ditelepon oleh Dosen Pembimbing Skripsinya yang memberitahukan agar mengirim skripsinya via email saja, Nadhien percaya sepenuhnya, Raya pun melanjutkan ceritanya. Terbiasa dengan lingkungan yang assertif, Raya menjawab keingintahuan Nadhien itu tanpa terbebani. Raya justru memulai ceritanya mengapa dia tertarik ikut bergabung dengan LSMnya yang menjadikan pintar tidak hanya dari kampus saja.
”Tuhan telah menyebarkan nikmat ilmu disetiap jengkal ciptaanNya yang Maha Dahsyat ini. Kamu tau gak Non, the great university is not this university but this universe is the great university.” Tangannya mengarah pada bangunan kampus sebelah utara tempat mereka duduk kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar, Nadhien tersenyum tanda sepakat, tak ada kesan tersinggung atas ego almamaternya.

”Jadi Mas Raya merasa sangat beruntung bisa masuk LSM itu?” mata bening Nadhien berkilauan tanpa lensa kacamatanya.
”Beruntung mendapatkan ilmunya dan lebih beruntung lagi mendapatkan jawaban dari pertanyaan masa kecilku yang tak pernah terjawab dan lebih beruntung dua kali lipat dari itu aku bisa mengimplementasikan ilmu itu” Raya betul-betul menikmati hari ini dan bening mata Nadhien setelah beberapa kali pandangan mereka bertemu pada titik yang sama.
”Apa maksud keberuntungan berlipat ganda itu? Apa hubungannya antara LSM dengan pertanyaan masa kecil dulu?” telapak tangan Nadhien menopang dagunya yang manis dari garis rahang lembut membentuk wajah oval itu.

”Aku mendapatkan setumpuk ilmu yang bisa menjawab pertanyaan masa laluku yang bisa dibilang menyedihkan dalam kehidupanku,” karakter Nadhien meyakinkan Raya untuk tidak ragu menceritakan masa lalunya, ”Seharusnya aku mempunyai kakak dan adik kandung yang sebentuk dan sebangun, maksudku kembar identik. Seharusnya aku mempunyai tujuh saudara kandung, kakakku yang pertama perempuan mereka berdua kembar, kemudian kakak laki-laki, disusul aku setelah itu adik perempuanku, lalu kemudian adik laki-laki yang juga kembar.”

”Sebentar Mas, kok seharusnya sih?” mendengar cerita itu Nadhien merubah posisinya dan mendekat. Raya hanya tersenyum.
”Kakak pertamaku sudah meninggal begitu juga adik terakhirku. Mereka semua kembar identik,” Raya memerlukan es lemon tea untuk menahan dadanya yang tiba-tiba bergetar.
”Maaf Mas, duh aku jadi enak nih membuat Mas jadi teringat kepada mereka. Maaf gak ada maksud untuk itu. Aku turut berduka cita, pasti Mas Raya merasa sangat kehilangan” empati Nadhien terpancar tulus.
”Ah, gak masalah kok. Lagi pula aku belum lahir sewaktu kakak pertamaku meninggal dan ketika adikku meninggal dunia waktu itu aku masih kecil. Mereka semua meninggal tidak lama setelah lahir kedunia ini. Aku baru paham setelah Ibu menceritakan kembali ketika aku berusia sekitar lima belas tahun tapi aku belum mengetahui jawaban mengapa mereka meninggal dunia sampai aku masuk LSM.” ekspresi wajahnya dibuat wajar agar Nadhien tidak merasa bersalah.

”Aku merasa beruntung karena Tuhan memberikanku jalan atas pertanyaanku melalui LSM yang bergerak dibidang advokasi kesehatan reproduksi, disanalah perpustakaan ilmu yang menjawab pertanyaan masa kecilku. Aku kemudian mengetahui bagaimana proses awal kehidupan manusia sebagai mahluk biologis paling sempurna, dari setitik sel sperma yang bertemu dengan sel telur yang berkembang menjadi begitu beragamnya manusia dengan bawaan genetika yang unik luar biasa manusia seperti halnya kembar identik dan segala resiko yang dihadapi Ibu dan anak selama masa perkembangan janin hingga proses melahirkan. Berkat ilmu ini aku juga bisa sharing informasi penting kepada teman-teman remaja dampingan kami juga kepada pasangan suami-istri ketika kami diundang menjadi pembicaraan dilingkungan Ibu-ibu PKK, lewat radio, koran dan berbagai kesempatan berharga lainnya dengan harapan untuk mencegah tingginya angka kematian ibu hamil dan anaknya” Nadhien kembali menemukan kekaguman atas karakter Raya, kekaguman yang lebih besar lagi ketika diskusinya seputar Kartini.

”Satu lagi Non, aku menjadi orang paling beruntung didunia ini ketika aku dapat mendampingi anak jalanan. Aku tidak bisa membayangkan jika kedua malaikat kecilku berada di jalanan tanpa ada perlindungan dari orang tua dan kakaknya, itu sebabnya aku turun ke jalan,” Raya merasa lega telah menceritakan semua ini kepada Nadhien
”Wah luar biasa banget pengalaman Mas Raya sepanjang itu. Kepedihan atas rasa kehilangan justru dibayar oleh Mas Raya dengan tindakan kongkrit yang mulia.” Nadhien tidak dapat menutupi kekaguman yang muncul setelah mendengar cerita itu.
”Eh, aku gak ada maksud untuk menyombongkan diri loh lewat ceritaku ini tapi aku harap aku bisa memprovokasi kamu untuk dapat memanfaatkan ilmu berhargamu demi kepentingan umat manusia apalagi kamu mempelajari ilmu kedokteran, mudah-mudahan aja kamu nantinya gak jadi dokter yang cuma cari uang dari hasil suntikan placebo aja” Raya menggoda Nadhien yang langsung bereaksi mencubit pada sasaran perut.

Keakraban mereka terganggu oleh nada dering handphone. Nadhien sibuk mencari asal suara yang berada di dalam tasnya, `Oom Wid calling` layar handphonenya berkedip-kedip, getar dan suara nada dering terhenti ketika Nadhien menekan tombol kemudian menjawab telpon itu. Mereka harus kembali menuju ruang bedah mayat. Kali ini mereka menghadapinya dengan optimis seolah insiden menegangkan sewaktu di ruang bedah tadi tidak pernah terjadi. Raya memberanikan diri untuk memegang tangan Nadhien, berjalan bergandengan menuju parkir motor, tidak ada reaksi penolakan oleh Nadhien. Siang yang ceria terutama dalam hati Raya.

***



Ruang Bedah Mayat. 14.30 WIB

Insiden kecil yang berakibat fatal tadi menjadikan semua orang yang nantinya memasuki ruang bedah mayat semakin berhati-hati dalam bertindak. Dokter Widjaja dan Dokter Ferryal telah bersepakat bahwa pemeriksaan dilanjutkan terpisah untuk mencegah hal yang tidak diinginkan maka Dokter Ferryal meminta agar pemeriksaan organ dalam tubuh mayat tanpa ada pihak lain didekatnya kecuali asistennya. Raya dan Nadhien tidak dapat menutupi kekecewaan atas keputusan mereka, sebenarnya bisa saja Nadhien membujuk Dokter Widjaja agar dapat menyaksikan pemeriksaan yang dilakukan oleh Dokter Ferryal tapi mereka menghargai hal itu demi profesionalitas pemeriksaan.

Dokter Widjaja memberikan kode agar mereka semua masuk ruang bedah mayat, kali ini Dokter Widjaja akan melanjutkan pemeriksaan lanjutan dari luka-luka yang ada disekujur tubuh korban. Metode top to bottom dipilihnya karena secara kasat mata pada bagian kepala hingga pinggang korban terdapat banyak bekas luka berupa abrasi, kontusi, laserasi maupun luka insisi dan luka lainnya yang belum terlihat.

Pada bagian kepala korban pemeriksaan dimulai dari bagian wajah, jelas terlihat beberapa luka memar dibagian dahi kanan dan kiri, bayang hitam disekitar kelopak mata, hidung korban yang sedikit bengkok, rahang dan dagu yang lecet belum termasuk rongga mulut. Dokter Widjaja merekam semua ucapannya menggunakan rekorder kecil yang tergantung didadanya sementara Nadhien dan Raya mencatat ulang semua ucapannya. Pada pelipis kiri, 8 cm dari puncak kepala, 2 cm di atas batas rambut samping ditemukan luka terbuka dengan tepi tidak rata, kedua sudut tumpul, ditemukan jembatan jaringan, dasar luka otot kepala, pada bagian bawahnya terdapat kulit yang menggelambir kebawah dengan ukuran 2 cm x 2 cm, luka bila dirapatkan membentuk garis lengkung kebawah sepanjang 4cm. Pada dahi sebelah kanan ditemukan bekas trauma akibat benda tumpul, tidak mengakibatkan luka terbuka, terdapat berkas memar berwarna kebiruan, berbentuk bundar dengan diameter 2cm.

Perhatian dokter menuju bagian lingkar mata yang berwarna merah kebiruan sepanjang 5cm sepanjang kelopak mata bagian bawah sebelah kiri. Nampak berkas hantaman akibat Abrasi Crushing yang diperkiraan cukup kuat hingga terjadi kebocoran dari pembuluh darah tetapi pada epidermis masih utuh meskipun tidak terlihat goresan namun terjadi memar dan tonjolan oedem lokal pada permukaan kulit. Dokter Widjaja yakin jika ini terjadi akibat trauma langsung meskipun dalam beberapa kasus ditemukan pergerakan memar yang mengikuti gaya gravitasi terlebih mayat ditemukan dengan posisi berdiri terikat pada tiang.

Kuatnya trauma langsung yang diderita korban dapat dilihat pada kondisi hidung yang sedikit bengkok kearah kanan sehingga dapat diperkirakan arah hantaman yang datang berasal dari arah kiri korban, tidak adanya luka iris atau lecet menandakan trauma diakibatkan oleh hantaman benda tumpul namun ditemukan bercak darah pada lubang hidung. Asisten Dokter Widjaja hanya mencatat tetapi Raya dalam hatinya dapat menyimpulkan kemungkinan hidung itu dipukul dengan tangan kanan, dilihat dari akibat luka pada hidung maka kemungkinan terbesar korban tidak ada kesempatan untuk mengelak, bisa jadi dilakukan ketika korban terikat pada tiang.

Raya mencuri pandang kearah Nadhien yang masih serius memperhatikan Dokter Widjaja yang tengah membuka mulut korban, jangan sampai hidung mungil itu terluka sedikitpun. Raya sudah menaruh perhatian khusus terhadap Nadhien sejak luka di kepalanya yang kembali infeksi telah dirawat Nadhien dengan telaten meskipun pada waktu itu mereka baru dua kali bertemu setelah obrolan seputar penelitian diangkringan Lek Man. Nadhien menoleh kearah Raya seolah merasa ada yang memperhatikan tapi Raya sudah tenggelam dalam buku catatan kumalnya. Nadhien hanya tersenyum melihat buku itu.

“Mbak Nadhien saya perlu bantuan anda, tolong bantu membalikkan tubuh korban, saya ingin melihat bagian samping kepala korban dan Mas Raya tolong tahan sebentar pad posis tubuh miring,” Dokter Widjaja memberikan instruksi kepada mereka berdua sementara asistennya mempersiapkan pisau cukur untuk mencukur sedikit rambut yang terkena darah. Lewat senter kecil dan bantuan kaca pembesar, Dokter Widjaja menemukan luka terbuka dibagian samping kepala dekat telinga.

Adanya Nadhien disampingnya membuat Raya tidak ragu lagi untuk menahan tubuh korban agar tetap pada posisi yang diinstruksikan, wajah korban yang terlihat tersiksa dengan mata yang hampir menutup menatap langsung kearah Raya. Posisi yang tidak menguntungkan sementara ketiga orang lainnya berada dibagian belakang tubuh korban tapi Raya menemukan titik pengalihan perhatian. Nadhien tepat dihadapannya, juga bertugas menahan tubuh korban, meskipun mereka berdua mengenakan masker hijau tapi senyum mereka dapat terlihat dari tarikan otot yang mengangkat masker itu beberapa senti meter dan mata mereka tak dapat saling membohongi, terlebih Dokter Widjaja meminta untuk tidak menciptakan gerakan kecil pada tubuh korban. Mereka tidak sekedar tersenyum melainkan tertawa kecil.

Terlihat luka terbuka sepanjang 7cm dekat telinga korban memanjang vertikal, kedalam luka hanya beberapa milimeter saja juga ditemukan penggumpalan darah dibawah lapisan kulit dekat luka terbuka. Dokter Widjaja melakukan swab pada luka terbuka, dengan bantuan kaca pembesar Dokter Widjaja menemukan unsur logam hitam dari luka terbuka itu sementara pada daerah bahu hingga belikat terlihat jejas tekan berwarna merah muda dengan panjang 15cm sebanding lurus dengan luka dekat telinga itu. Mendengar itu Raya jadi teringat posisi korban yang terikat pada tiang besi, bisa jadi ini merupakan hasil benturan tubuh yang terhantam oleh pelaku dan luka di kepala dan jejas panjang itu tepat mengenai bagian menonjol pada tiang besi itu. Kesimpulan Raya itu mengakibatkan rambut-rambut halus disekitar tangannya berdiri, dia membayangkan kekejaman pelaku yang menganiaya korban dalam keadaan tak berdaya.

Pusat perhatian kini berpindah kearah leher koban secara detail temuan itu tercatat. Terlihat jejas berupa luka lecet tekan arah pada lingkar leher sepanjang 10cm dibawah dagu, Dokter Widjaja tidak ragu membuka sarung tangan karetnya kemudian meraba permukaan kulit leher depan tepat pada jejas itu. Temuan lainnya adalah satu luka lecet tekan dengan lebar 8mm berbentuk bulat sabit dengan posisi vertikal tepat dibawah rahang sebelah kanan sementara ditemukan lagi empat jejas yang hampir sama dibagian bawah rahang sebelah kiri, tiga jejas relatif berukuran sama selebar 5mm dan satu lagi berukuran lebih kecil.

Bagian dada korban tidak luput dari pemeriksaan, dengan mata telanjang saja terlihat beberapa jejas kontusi, luka lecet dan abrasi. Diantara jejas itu Raya lebih tertarik pada abrasi crusing dengan pola seperti bentuk bagian bawah sepatu, jejasnya terlihat begitu jelas menandakan kekuatan tekanan yang menciptakan pola itu. Hantaman hebat ini mungkin mengakibatkan luka pada bagian dekat telinga tadi, korban terhantam keras dan membentur besi tiang. Dokter Widjaja mengukur panjang jejas itu kemudian melakukan perabaan tulang dada mencari kemungkinan retak atau bahkan patahan dengan sarung tangan yang telah terpakai lagi untuk menghindari resiko karena darah korban berceceran didekat dada sisa pembedahan bagian perut.

Pemeriksaan daerah dada dirasakan cukup, Dokter Widjaja meminta kepada Raya untuk mundur dan memperhatikan dari kursi saja karena pemeriksaan berikutnya menuju kearah bagian iga korban yang begitu dekat dengan rongga perut korban yang telah terbuka, mengingat resiko besar yang kemungkinan dapat terjadi lagi seperti dialami Frans pagi tadi maka Raya dan Nadhien hanya dapat memperhatikan dari jauh saja. Lega rasanya menemukan kursi untuk sandaran menghilangkan lelah sejenak, Raya bersandar dengan menegadahkan kepalan untuk mengendorkan otot disekitar leher dan bahunya.

Secarik kertas berpindah pada buku yang berada dipangkuannya. `Capek ya Mas?`, Raya tersenyum membaca pesan Nadhien yang melakukan komunikasi bisu lewat tulisan pad kertas. Raya membalas dengan tulisan pada kertas yang sama. `Ya, lumayan capek sih tapi masih kuat kok. Kamu masih kuat?` tak lupa gambar wajah senyum dibubuhkan pada kertas itu. `Sebenarnya masih kuat sih, tapi kakiku dah protes aja dari tadi. Kelamaan berdiri sih!` kali ini Nadhien membubuhkan gambar dua titik dan satu garis melengkung kearah bawah sebagai representasi perasaannya. Raya menahan tawa gelinya dan membalas lagi, `Coba aja kalo aku `dah punya sertifikat pijat pasti kaki kamu kupijat biar ilang capeknya` Raya memberi tambahan dua titik dan huruf `P` yang tertidur pada pesan singkatnya itu. Nadhien membalasnya dengan cubitan, Raya hanya menahan sakit didaerah lengan kirinya, pasti terdapat jejas tekan berwarna merah dan putih pada kulit dibalik lengan kaosnya.

Dokter Widjaja telah selesai melakukan pemeriksaan mayat korban hingga bagian telapak kaki. Jam dinding menunjukkan waktu telah bergulir pada pukul 17.02 WIB. ”Mengingat waktu shalat Ashar hampir habis dan pemeriksaan bagian depan mayat korban telah selesai jadi lebih baik kita istirahat terlebih dahulu. Saya memberikan tawaran bagi anda berdua jika masih berminat untuk hadir pada pemeriksaan berikutnya yaitu bagian belakang tubuh korban. Kita bertemu lagi disini selepas shalat Isya, tepatnya pukul 20.30, malam ini kita lembur!” informasi dari Dokter Widjaja ini membuat kekaguman tersendiri dalam benak Raya, bahkan dalam tugas yang begitu penting dan membutuhkan ketelitian tingkat tinggi ternyata Dokter Widjaja tidak lupa akan waktu beribadah. Jejas hitam pada dahi dokter itu dapat dipastikan tidak hanya sekedar jejas belaka melainkan cerminan keimanan sang dokter.

Lega rasanya begitu menghirup udara segar setelah keluar dari ruang bedah mayat. Nadhien mengajak Raya untuk shalat berjamaah di mushola, semula Raya ragu untuk menyanggupi tapi juga tidak tega menolak permintaan Nadhien.
”Mas Raya bersedia menjadi imam untuk aku?” permintaan itu menjadi intropeksi diri Raya akan pengetahuan ilmu agamanya, jangankan menjadi imam untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat saja dalam sebulan dapat dihitung dengan jari yang berada ditangan kanannya, itupun hanya ibadah setiap jumat saja.

”Ehm...badan dan bajuku kotor Non, didalam tadi kita `main` dengan mayat sih!” Raya tergagap mencari alasan,
”Tapi kalau kamu mau, tunggu aku mandi dulu, sebentar aja ya.” rasa bersalahnya cepat menyentuh batinnya dan berusaha untuk memperbaiki.
”Mas Raya bawa perlengkapan mandi? Aku bawa nih,” Nadhien bersiap mengambil sesuatu dari tas.
”Aku bawa kok, percuma dong bawa `kantong doraemon` tapi gak digunakan. Didalam sini ada kaos, sabun, sampo, handuk bahkan bak mandi juga ada!” Raya tersenyum menunjukkan tas ranselnya, Nadhien terpancing ikut tersenyum geli.

***



Paska pemeriksaan mayat. Lokasi; Menuju Kos Nadhien
Yang Jauh Mendekat, Yang Dekat Merapat

Setelah shalat, Nadhien meminta untuk diantarkan ke kosnya agar bisa bersama menuju Sardjito lagi selepas Isya nanti, Raya menyanggupinya. Keluar dari gerbang RSUP Sardjito motor diarahkan menuju lokasi tujuan dengan navigator duduk dibagian belakang. Tak lebih dari 10 menit mereka telah memasuki gerbang halaman kos Nadhien, sebenarnya kontrakan lebih tepatnya namun Nadhien tidak begitu akrab dengan teman-teman satu atapnya bahkan mereka juga satu fakultas dengannya. Kehidupan teman-temannya terlalu glamor bagi Nadhien, maklum untuk masuk kedalam fakultas bergengsi sekelas kedokteran dapat dipastikan mereka berasal dari keluarga berkecukupan tapi bukan berarti harus sombong dengan kekayaan orang tuanya.

Nadhien memilih merasakan menjadi anak kos meskipun rumah orang tuanya berada di utara kota Jogja tak jauh dari sini, segala kebutuhan sudah pasti terpenuhi dengan baik disana. Alasan agar lebih dekat dari kampus dan bujukan mobil baru dari Bundanya tidak mengendorkan niat Nadhien.
”Mas, tunggu disini sebentar. Aku mau mandi dulu, sudah hampir magrib nih, nanti kita shalat berjamaah lagi ya? Mas Raya masih mau menjadi imam `kan?” senyum ragunya menandakan ketidak kuasaannya untuk menolak. Sebenarnya Raya lebih memilih menunggu di teras depan agar dia dapat menghisap rokoknya, berjam-jam mulutnya terasa pahit belum terkena efek nikotin tapi Nadhien melarang dengan alasan kurang baik duduk di luar sementara hari hampir magrib.

Semangkuk mie instan lengkap dengan telur dan potongan lombok rawit ditemani teh panas setelah shalat magrib menambah lagi rasa damai dalam hati Raya. Suara musik dan lagu terbaru terdengar dari balik masing-masing kamar teman satu kontrakan Nadhien sejak kehadiran Raya sampai detik ini masih terdengar non-stop tak peduli panggilan dari atap masjid dan mushola sekitar kontrakan mereka. Hanya kamar Nadhien yang terasa tentram yang kini dinikmati Raya. Ini waktu yang tepat bagi Raya untuk mengetahui karakter Nadhien yang belum terungkap. Kumpulan foto yang tersusun rapi dan manis dalam album dijadikan media bagi Nadhien untuk menjawab pertanyaan-pertanyan Raya. Pose-pose dalam foto lebih banyak dihiasi dengan background pesawat helikopter, `maklum Ayahku cuma supir tapi supir helikopter` Nadhien merendah dengan senyum manisnya.

Masa liburan saat Nadhien remaja banyak dihabiskan dengan tur ke berbagai kota di luar dan dalam negeri, Nadhien menceritakan segala keceriaan cerita dibalik lembar-lembar foto itu sementara Raya menjadi pendengar yang baik dan mencoba membayangkan berada ditempat yang sama seperti dikunjungi Nadhien. Jangankan liburan ke luar negeri, bagi Raya, Nusantara Indonesia saja belum terekplorasi secara keseluruhan Bagian barat terjauh dari wilayah Indonesia yang pernah dia singgahi saja hanya Jambi sementara daerah timur terjauh adalah Malang, itu pun dalam rangka urusan keluarga dan menjadi delegasi kampus dalam pertemuan nasional mahasiswa bukan untuk liburan.

”Kok, Mas Raya mirip Bayu sih kalau aku lagi bercerita, mirip banget! Cuma diam sambil meneteskan air liur, hihiiihii.” Nadhien berhasil menggoda Raya yang duduk tersihir mendengar cerita itu lalu sibuk mengusap bagian bibirnya yang tentu saja air liur itu tidak keluar dari mulutnya. Nadhien menikmati momen kemenangan karena berhasil membuat Raya terkecoh sementara Raya menikmati deretan gigi putih dari rekahan bibir tipis itu. Sekarang keduanya hanya terdiam saling menatap dalam-dalam, memandangi bola mata lawannya satu sama lain yang berkedip dan berbinar sementara senyum mereka tertahan beberapa detik hampir satu menit, kemudian tawa terlepas bebas meredam emosi masing-masing didalam dada mereka. Adzan Isya bergema.

Nadhien dan Raya kembali kegedung Instalasi Kedokteran Forensik, kali ini mereka datang lebih cepat dari Dokter Widjaja. Raya tidak pernah menyangka bisa terlibat begitu jauh dengan kasus ini, kesadaran akan hal ini muncul ketika dia merasakan suasana yang hening di ruang tunggu.

***


Silent of The Innocent
Sabtu, 9 Juni 2007. 09.15 WIB. Lokasi; Ruang Interograsi Poltabes

Ruang berukuran 4x4m hanya terdapat satu meja, tiga kursi dan tiga manusia dengan raut muka tegang. Wajah tua itu semakin menunduk, hampir tidak ada darah yang mengalir menuju pembuluh darah yang berada dibalik kulit wajah tersangka hanya air yang keluar dari pori-pori kulit coklat itu. Erlang masih dengan sabar menggali informasi dari pengakuan tersangka, nalurinya masih membimbing keyakinannya bahwa tersangka bukan merupakan pelaku sesungguhnya.
”Saya ulangi sekali lagi, tolong Pak Jono mengatakan dengan sesungguhnya. Perlu Bapak ketahui semua ucapan Bapak bisa jadi membantu di persidangan atau justru memberatkan Bapak. Saya yakin ada sesuatu yang Bapak tutupi, percayalah kami disini untuk membantu Pak Jono.” Sorot mata tajam milik Erlang tak mampu menembus pertahanan tersangka.

Yanto yang mendampingi di ruangan yang sama sudah tidak sabar lagi menungu jawaban tersangka yang tak kunjung keluar satu kata pun. Lengan kekarnya mencengkram kaos bergambar salah satu partai jaman orde baru yang dikenakan tersangka.
”Jangan bikin kesabaran kami hilang Pak! Ayo katakan! Hormati orang yang sedang berbicara, lihat mata saya!” lengannya masih mengguncang tubuh korban yang ringkih, Erlang mencegah tindakan Yanto dan berbisik untuk melepaskan cengkramannya.
”Tapi Dan, orang ini tidak akan berbicara jika tidak kita paksa” Erlang memahami tekanan kerja pada diri Yanto tapi dia lebih menghargai hak seseorang untuk diperlakukan manusiawi.

”Oke, Pak Jono bisa liat sendiri, teman saya ini sebenarnya seorang yang sabar tapi Bapak juga tahu kami hanya manusia yang juga mempunyai batas kesabaran. Kemarin kami sudah tawarkan kepada Bapak untuk dapat didampingi pengacara selama proses ini tapi Bapak menolaknya,” Erlang masih menjaga emosi dalam dirinya, kekerasan tidak akan dapat membuat titik terang itu datang, dia memahami konsep orang jawa yang jika sudah dalam keadaan pasrah maka akan sulit untuk merubah pilihannya itu. Erlang menyodorkan map Berkas Acara Perkara kehadapan tersangka, ditunjukkan tulisan yang dia harapkan dapat terbaca oleh tersangka.

”Pak Jono bisa baca ini?” ekspresi wajah yang diharapkan mulai terlihat dari sikap wajah yang menunduk itu
”Kalau Pak Jono tidak bisa atau tidak berminat untuk membaca tulisan ini maka saya akan bacakan” Erlang menunjukkan ekspresi wajah ceria kepada partnernya itu menandakan umpan telah berhasil, Yanto masih belum memahami maksud Komandannya.
”Tolong dengarkan baik-baik, menurut KUHP Pasal 340 yang mengatur bahwa `Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama DUA PULUH TAHUN.` Bapak dengar itu DUA PULUH TAHUN!” Intonasinya ditekankan pada akhir kalimat. Yanto mulai memahami maksud Komandannya itu dan memperhatikan kedua telapak tangan tersangka yang bertumpu rapat dibawah perut, ada getaran yang tidak bisa dikontrol oleh tersangka. Yanto pun beraksi menambahkan tekanan psikologis pada tersangka.

”Perlu Bapak ketahui bulan lalu, kami baru saja mengeksekusi mati pelaku pembunuhan yang keji membantai empat orang korbannya. Bapak tahu apa yang dilakukan oleh pembunuh itu? Dia hanya diam bahkan sampai dipersidangan pun tidak banyak yang diucapkan, tapi dihadapan tim Brimob yang siap untuk menembaknya akhirnya pembunuh itu menangis, apa gunanya tangisan setelah peluru menembus dadanya?” kini Yanto dapat memperhatikan kedua kaki tersangka yang tersembunyi dibawah kursi itu bergetar cukup kencang.

Erlang menepuk bahu Yanto agar memberikan kesempatan bagi dirinya kali ini. Tenang Erlang duduk diatas meja disamping tersangka, meyakinkan bahwa dirinya berada dipihak tersangka untuk membantu. Bujukan dan rayuan agar tersangka membuka mulutnya ternyata belum juga berhasil merubah keyakinan tersangka meskipun keringat semakin membasahi wajah dan punggung tersangka. Posisi duduknya pun tidak berubah, menandakan keteguhan hatinya mampu meredam tekanan psikologis yang menyerangnya bertubi-tubi.
”Saya katakan sekali lagi bahwa kami disini untuk membantu Bapak karena Saya pribadi percaya bahwa Bapak bukan orang jahat” Erlang menanti jawaban, perlahan kepala tersangka terangkat dan bersiap mengucapkan sesuatu, mungkin karena mendengar perkataan Erlang yang tulus, hati kecilnya terguggah dan memberanikan diri.
”Kulo khilaf Pak Polisi, saestu, kulo khilaf....” bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu, dalam batinnya pasti bergejolak menyatakan pengakuan yang dipaksakan mengatakan kejujuran tapi Erlang bukanlah penyidik yang tidak mengetahui mana pengakuan yang benar atau kebohongan belaka.

”Oke, katakanlah jika Bapak memang benar-benar khilaf saat itu tapi Bapak bisa ceritakan pada kami apa alasannya Bapak sehingga tega membunuh korban? Kesalahan apa yang dilakukan korban sampai-sampai membuat Bapak menjadi khilaf?” tatapan tajam Erlang menjadi sia-sia karena tersangka kembali tertunduk, diam dan jawaban tak kunjung keluar dari mulut tersangka. Yanto semakin tidak sabar, kursi yang didudukinya terlempar menghantam tembok. Tak hanya tersangka yang terkejut atas reaksi Yanto itu, Erlang pun tak kalah terkejutnya. Lengan Yanto dengan cepat mencengkram tersangka dan mengangkat tinggi-tinggi hingga wajah tua itu berhadapan langsung dengan wajah yang tak mampu menahan emosi. Ledakan pertanyaan Yanto hanya dijawab dengan kalimat yang sama keluar dari mulut tersangka tadi kali ini dengan tambahan tangisan kecil dan mata yang terpejam pasrah, bisa saja nasibnya sama seperti kursi yang hancur berantakan tadi.

Erlang berusaha menenangkan Yanto meminta untuk melepaskan cengkramannya. Tiga jam berada diruangan tanpa mendapatkan hasil apapun. Erlang mengajak Yanto untuk keluar menghirup udara segar sementara tersangka dibiarkan didalam ruangan. Taman kecil belakang ruang kerja Erlang mereka masih menunduk dengan asap rokok yang terhembus kearah bawah, jika dalam teori psikologi bahasa tubuh, prilaku seorang perokok dengan ciri seperti ini menandakan mereka sedang mengalami depresi atau tertekan. Erlang sebagai komandan tidak boleh terbawa arus emosi bawahannya yang bisa saja menjebak mereka pada hal yang justru merugikan. Yanto masih saja menggerutu dan memuntahkan kekesalannya menghadapi tersangka satu itu. Dia selalu berhasil membuka mulut para pengedar kecil sehingga menemukan bandar besar narkoba dengan metode intimidasinya bahkan tak segan-segan kekerasan fisik dia pergunakan.

”Apalagi yang harus kita lakukan Dan? Kenapa kita tidak melakukan cara lama yang jelas-jelas telah terbukti!” Yanto masih menghormati atasannya ini meskipun usianya jauh lebih tua. Erlang masih menatap kearah kolam ikan koi yang berenang tenang, perlahan emosinya ikut terbawa tenang. Menghisap dalam-dalam batang rokok diengan kirinya, mengambil handphone yang tersimpan di pinggangnya kemudian menghubungi bawahannya.
”Ada temuan dan perkembangan baru?”
”Siap Dan!, Saya telah menyelidiki latar belakang tersangka dan keluarganya, ada beberapa temuan yang mungkin bisa membantu kita.” Hari melaporkan hasil investigasinya.
”Oke, bagus! Posisi sekarang dimana? Harap segera meluncur kearah markas.” Ekspresi Erlang menjadi sedikit cerah mendengar laporan itu, Yanto masih juga memendam emosi yang perlu diluapkan segera. Erlang menekan kembali tombol handphonenya untuk menghubungi Raya.

”Hallo Mas Raya, ada perkembangan baru dari ruang bedah mayat? Maaf kami hari ini masih belum sempat mampir kesana. Tolong setiap ada perkembangan beritahukan segera atau jika perlu bantuan jangan sungkan-sungkan.” Ada perasaan tidak enak hati dalam diri Erlang yang membebani Raya dengan tugas yang begitu berat tapi dia tidak meragukan kemampuan Raya. Erlang sedikit terkejut mendengarkan laporan Raya yang memberitahukan adanya insiden kecil.
”Insiden kecil bagaimana maksud kamu?” Erlang menunggu penjelasan Raya
”Wah, kok bisa gitu ya! Pasti mahasiswa itu melakukan kelalaian. Hati-hati, jangan sampai kamu mengalami kejadian yang sama. Oh ya, terus bagaimana keadaan mahasiswa itu?” Erlang merasa lega insiden itu tidak menimpa Raya dan mahasiswa itu telah mendapatkan perawatan berdasarkan laporan Raya.
”Saya minta tolong setiap ada perkembangan yang penting segera laporkan Saya. Nanti pulsa akan dikirim supaya kita tidak terhambat hanya karena kehabisan pulsa. Jaga diri baik-baik.” Percakapan berakhir.

Hari segera menghadap Erlang dan melaporkan hasil temuannya. Erlang mendapatkan ide baru setelah mendengarkan laporan Hari. Kedua bawahannya terlihat setuju dengan rencana komandannya itu. Kedua bawahannya undur diri dari kantornya untuk melaksanakan perintah. Erlang kembali ke ruang introgasi, menjelaskan bahwa interigasi hari ini dirasakan cukup kemudian mengantar tersangka kedalam sel tahanan.

***

1 komentar:

  1. wah, capek juga membaca seperti ini, namun asyikkk bangeeeettt
    :-)

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!