Minggu, Juni 29, 2008

AKU MASIH PERCAYA REPUBLIK KU MASIH INDONESIA


(foto diambil dari; tempointeraktif.com)
Peringatan
(Wiji Thukul)

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!


(Solo, 1986)


Ya, aku masih percaya sampai detik ini Republik tempat hidupku ini masih Indonesia. Menyaksikan berita yang memberikan kabar keadaan Republik dari setiap pojok wilayahnya terutama dari Ibukota Negara akhir-akhir ini sempat terganggu keyakinanku tentang Republik ini tapi aku masih percaya ini masih di Republik Indonesia! Karena aku yakin aku tidak sedang bermimpi jadi aku bukan di negeri dongeng.

Apa yang dilakukan `Pemerintah` kita selama ini? Sebenarnya aku sendiri masih bingung mencari persamaan kata dari istilah `Pemerintah`, kebingunganku mungkin beralasan. Mari kita bermain istilah!


Kebingungan pertama;
bagaimana gak bingung! jika memang mereka `pemerintah`, apa layak mereka memerintah rakyat Republik ini? lihat situasi Republik Bung!

Kebingungan kedua;
Kalau Wiji memakai istilah `penguasa`, untuk istilah ini aku jelas menolak karena aku dan berjuta rakyat Republik ini bukan sekedar `barang yang mereka kuasai`,

Kebingungan ketiga; apalagi menyandang predikat `abdi negara`, yakin mereka mengabdi pada negara? Bukankah mereka mengabdi pada kekuasaan dan uang semata,

Kebingungan keempat;
jika mereka mengaku `wakil atau representasi` dari rakyat Republik ini (yaa, meskipun ini telah melalui mekanisme sistem yang panjang yang telah dilalui Republik ini) tapi pernahkah mereka menyampaikan suara rakyat? pernyataan keluar dari mulut mereka yang meracau; `rakyat telah sepakat dan demi kemakmuran rakyat maka kami putuskan bahwa harga BBM kembali naik, mari kita sambut dengan suka cita!`

Kebingungan kelima;
jika mereka disebut `pemimpin` aku gak paham dengan persyaratan menjadi pemimpin, kalau aku yang sekarang lagi `dipimpin` ini aja gak paham dengan syarat itu, jangan-jangan aku gak merasa sedang dipimpin!

Kebingungan keenam; jika mereka itu `raja`, bukankah negara ini berbentuk Republik? Tapi kok mereka selalu harus disembah, diagungkan dan diberi upeti dari rakyat,

Kebingungan ketujuh; apa mereka berhak mengaku sebagai `pengayom` rakyat jika setiap ada rakyatnya yang bersuara, mereka mendengarkan tidak dengan telinga tapi kok menggunakan senjata?

Kebingungan kedelapan; umumnya memang jika mengaku Republik maka ada beberapa unsur didalamnya, minimal seperti `Eksekutif dan Legislatif` tapi apa pernah mereka akur? Eksekutif bilang kami sekedar menjalankan kebijakan dari Legislatif, tapi legislatif menghujat Eksekutif yang tidak memahami kebijakan yang telah dibuat dan telah salah dalam menjalankan. Nah loh! Sama-sama berbicara tentang keBIJAKan tapi gak terlihat bijak ya? Mbingungi gak sih! Dan masih banyak kebingunganku lainnya sampai-sampai aku bingung untuk menulisnya, tapi sekarang aku lebih nyaman dengan istilah `MEREKA` aja deh.

Sekedar menyesuaikan antara; kebingunganku, keadaan republik akhir ini dan peringatannya Wiji; aku jadi bingung dengan keadaan Republik yang memperingati 100 tahun kebangkitan nasional dengan pesta kemeriahan penderitaan rakyat dan `MEREKA` memberi peringatan kepada rakyat agar harus iklas kalau tidak iklas tau sendiri resikonya. Bingung euy!

Aku baca lagi Puisi Wiji, jadi tambah bingung, ini ungkapan perasaan dia atau cerita jamannya dia dulu atau ramalan masa depan ya?. Kalau kata De Tach Tigger; puisi adalah terjemahan perasaan kedalam kata-kata, berarti Wiji menuangkan kegundahan perasaannya dalam bentuk puisi, oke lah aku terima karena siapa bisa menebak kedalaman perasaan seseorang?.

Jika ini adalah memoar Wiji yang menceritakan keadaan Republik pada jaman saat dia menulis ini (1986), aku jadi mengetahui keadaan Republik pada masa itu justru salahsatunya dari memoar ini karena saat 1986 aku masih kecil dan belum paham tentang Republik ini (eh sampai sekarang masih bingung ding!). Nah ini yang menarik, jika ini adalah ramalan masa depan Wiji terhadap Republik ini, jangan-jangan Wiji termasuk paranormal dong! Soalnya kok tulisan Wiji ini seperti ada kesamaan situasi sekarang ini (2008) dengan apa yang dulu dia ramalkan (1986).

Kalau gak percaya coba deh perhatiin lagi puisi diatas, bagian yang ini;


jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa


Memang sih rakyat gak langsung pergi tapi mendengarkan sebentar ketika `MEREKA` berpidato tentang upaya `MEREKA` untuk mensejahterakan rakyat dengan cara menaikan harga BBM, terus pergi setelah itu karena bagi rakyat pidatonya gak masuk akal, ini menyebabkan `MEREKA` putus asa tapi sayangnya rakyat kemudian gak hati-hati.

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar


Memang sih rakyat sekarang gak sembunyi-sembunyi dan berbisik lagi ketika membicarakan masalahnya ini melainkan rakyat berteriak lantang dimuka umum dan tersiar di semua televisi karena rakyat membakar foto `MEREKA` tapi kemudian menyebabkan `MEREKA` menjadi waspada dan parahnya lagi `MEREKA` gak bersedia belajar mendengar melainkan praktikum memukul.

Coba perhatiin lagi di bait berikutnya;


bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam


memang sih sebagian rakyat gak berani mengeluh, ada juga yang cuma bisa mengeluh saja seperti aku ini, gak berbuat apa-apa tapi cuma minum teh berpikiran teh bukan terbuat dari BBM karena memasak airnya pun pake arang, bahkan minum kopi yang dicampur arang!, selain itu menuju tongkrongan tempat minum teh juga aku cuma numpang motor kawan, berarti aku gak beli BBM, pernah juga jalan kaki kesana. Aku cuma bisa mengeluh karena di tempat tongkronganku juga cuma pada ngeluh! Apa ini artinya sudah gawat?
Tapi ada juga rakyat yang gak cuma mengeluh melainkan bergerak membantah omongan `MEREKA`, seperti lirik yang dinyanyikan Iwan Fals


ternyata kita harus ke jalan
robohkan setan yang berdiri menantang

(foto; keritikentang.com)


Ini mungkin karena mereka yang membantah gak pernah nongkrong minum teh tapi waktu mau bikin teh dirumah dah gak ada lagi minyak tanah dikompor, sialnya mau beli minyak tanah eh sudah jadi barang langka, yang ada cuma gas itu pun mahal dan tempatnya jauh sementara mau beli gas harus pake motor, apesnya lagi, gak ada bensin di motornya, naik angkot sama aja, makanya membantah omongan `MEREKA`, dengan cara mengorganisir, berjejaring menggalang kekuatan dengan kawan, mendekati lawan dari musuh (ingat, lawan dari musuh, bisa jadi kawan) dalam beberapa kali teklap menyusun strategi mengukur kekuatan serta menentukan titik api persinggahan dan target utama menuju `rumah rakyat` tapi kenapa rakyat tidak diberi kunci menuju rumahnya sendiri?

Apa jadinya kalau kita mau masuk rumah kita sendiri tapi pintu terkunci dan semua kunci yang ada tidak bisa membuka pintu itu sementara kita sudah sangat kebelet dan sudah tak tertahankan lagi pengen boker (buang tahi), mungkin itu yang kemudian yang terjadi di `rumah rakyat`, tidak peduli pagar itu bernilai 10 milyar, bukankah ini adalah bagian dari demokrasi yang katanya dijamin oleh `MEREKA` tapi sepertinya dianggap kudeta. Karena itu pilihan yang diambil, maka, bukan cuma kebenaran deh yang terancam tapi bisa jadi nyawa juga terancam!

Baca lagi deh tulisan Wiji, kalau masih mau bersedia sih!


(foto dari; farm1.statistic.flickr)


apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!


Kemarin nonton berita di televisi, ada seseorang yang dituduh subversif dan mengganggu keamanan Republik oleh intelijen (bagian dari `MEREKA`) hanya karena usulnya ditolak tanpa pertimbangan terlebih dulu, kritiknya dilarang tanpa alasan bahkan gak cuma kritik tapi juga suara dibungkam dan dia ditahan pun tanpa alasan penangkapan yang jelas. Jika kondisinya seperti ini, Wiji kayaknya jangan cuma kasih satu pilihan, tapi dua atau lebih; bukan cuma satu kata `LAWAN!` tapi juga `LARI!` atau `SEMBUNYI!` atau `MENYERAH!` atau `CUMA NGELUH AJA DEH!` atau yang lainnya.

Nah loh (lagi)! Jangan-jangan Wiji beneran paranormal karena Wiji bisa melihat dan menerka keadaan 2008 saat dia meramalkan pada 1986 bahwa situasi ini akan terjadi lagi…. Apapun yang terjadi tapi aku masih percaya jika 1986 Republik kita Indonesia maka 2008 pun Republik kita masih Indonesia, Bung!. Sayangnya aku (pemuda Republik ini) cuma bisa ngeluh sambil minum teh! Apa karena masih ada banyak pemuda Republik ini yang minum teh yang bukan terbuat dari BBM dan dimasak pake arang ya???

Ahh, bingung aku! Bukan karena Republik ini, tapi `MEREKA`. Supaya gak bingung lagi, Mungkin kawan punya istilah selain `MEREKA`? Atau kita ngeteh lagi aja, ngapain bingung?... bingang-bingung… bingung-bingang!

Jangan-jangan kebingunganku ini dianggap subversif?! Atau jangan-jangan (lagi), ngeteh juga dianggap mengganggu keamanan?! Lantas apa pilihan kita?

(sekedar tulisan dari salah satu Pemuda Republik yang gak memilih bersuara, membantah, turun kejalan atau berkumpul dan berorganisasi memikirkan BBM apalagi mikirin Republik ini. Pemuda Republik ini cuma menikmati teh dan jadah bakar tapi begitu pulang kampung ternyata dapur Ibu tidak ngebul bukan karena pake kompor gas tapi…..)



AKU MASIH PERCAYA REPUBLIK KU MASIH INDONESIA

...... itu sebabnya sekarang disini aku lebih memilih air putih......

1 komentar:

  1. akhir yang menyegarkan... hihihi (tunggu komen komen lainnya ah!)

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!