Selasa, November 24, 2009

Jalan Lantang ke 2


”Kau ingat Lantang, beratus-ratus tahun lalu Plato pernah berkata; `jiwa rindu terbang pulang dengan sayap-sayap cinta menuju dunia ide. Ia ingin dibebaskan dari rantai badan...` wahai Lantang kawanku, `kan kemana jiwamu terbang jika ia merindu? sementara kau tak lagi memiliki sayap itu!” gema suara itu perlahan menghilang. ”Siapa kau? Tunjukkan wujudmu! Keluar!” tak ada jawaban, hanya ada satu lingkaran terang, asal cahaya itu tepat berada jauh di atas ubun-ubunnya, entah di luar lingkaran itu, gelap pekat, entah berada dimana dirinya kini? Pertanyaan itu tidak membuatnya memberanikan diri untuk keluar dari lingkaran cahaya. Tersilau matanya ketika coba melihat keatas, jatuhan sinar pada permukaan retina memaksanya agar takluk dan tak lagi mencoba.


Samar di hadapannya berjarak sekitar dua puluh meter, lingkar cahaya yang sama menyinari sesosok tubuh, semakin mendekat jaraknya, barulah dia ketahui asal suara itu walau masih ragu untuk menerka siapa orang itu, setidaknya Lantang pernah mendengar suara itu, ingatannya menggiringnya pada satu kesimpulan; Arius `wong gendeng Bulak Sumur`. Kawan lamanya, seorang mahasiswa filsafat yang menghabiskan hidupnya berkelana disepanjang trotoar Malioboro tertutup debu jalan dan polusi asap kendaraan, tapi Arius sudah mati! Bagaimana bisa dihadapan Lantang?


Arius, kawannya ini pernah beranggapan sudah saatnya mengakhiri peran penipuan diri, cukup sudah manusia menjadi boneka kehidupan dengan tali-tali takdir mencengkram kuat jiwa manusia, belum lagi raga –baginya- adalah penjara paling ketat penjagaannya, sekalipun Alcatraz sombong mengaku sebagai penjara terhebat di dunia dengan sistem super maksimum security-nya, masih tak sebanding dengan dengan raga manusia.


Lantang tetap beranggapan Arius terlampau bodoh, terlebih ketika dia temukan kawannya, Arius, tergolek mati konyol. Tiba-tiba Arius sudah berada di atas gedung BNI tepat sebelum perayaan sekaten digelar. Mungkin bekal diksar pecinta alam yang membawanya pada atap gedung tua tepat diperempatan Malioboro itu. Keras kepalanya terkalahkan setelah beradu dengan kerasnya aspal jalan, mati konyol hanya ingin membebaskan jiwanya terbang dari penjara raga.


Lantang yang saat itu tengah mengatur jajaran sepeda motor yang terparkir dalam batas wilayah kekuasaannya, tak kuasa menahan rasa jengkel terhadap kawannya yang tewas bunuh diri setelah terjun dari gedung tua peninggalan kompeni itu, ”Dasar bodoh kau Arius!!!... Kau pikir kau ini malaikat Seth hah!!! Bodoh!!” teriakan lantangnya memudar dari lengkingan tinggi hingga tak bersuara sama sekali meskipun mulutnya masih menganga lebar. Lantang masih ingat ketika Arius begitu bersemangatnya menceritakan satu adegan film City of Angel ketika malaikat pencabut nyawa bernama Seth terjun dari gedung tinggi menanggalkan keabadiannya menjadi manusia fana hanya demi merasakan satu sentuhan, dipikirnya jika manusia melakukan hal yang sama maka akan bertukar posisi menjadi malaikat. Satu gagasan konyol.


”Lantang kawanku, akhirnya kaupun menyusulku. Sudah bosan rupanya dengan duniamu yang heroik atau kaupun sama bodohnya seperti aku? Kau pikir aku tak dengar teriakanmu pagi itu? Aku bahkan sempat memukulmu agar diam tapi ternyata baru kusadari atom penyusun ragamu tak dapat kusentuh! Ada apa kawan? Rindukah kau atas kawanmu si gendeng ini?” Jarak yang ada membuat Lantang tak berucap.


”Apa ini Arius? Dimana...” belum sempat Lantang mengakhiri ucapannya ”Ruang penantian kawan! Sebuah dimensi lain, Tuhan telah ungkap misteri kegaiban zat kuasaNya, dimensi tanpa batas ini yang ada hanya hampa dan sinar terang itu kawan!” Tangannya merentang lebar, kepalanya menengadah seolah menikmati jatuhan sinar. Detik itu juga Lantang betul-betul melihat sayap Arius.


”Kau tahu kawan, beruntung aku dapat bertemu dengan dirimu, selama ini aku tak pernah bertemu zat selain gelap dan terang tapi sekarang aku tengah melihat kawanku dihadapanku. Disini hanya ada hening, hening ini yang kucari kawan.” terkadang sinar yang jatuh pad sosok Arius redup-terang mengikuti tekanan suaranya. ”Kawanku Lantang, kukira disini bukan duniamu, tak kan kau temui Lapen, Vodka, Wiski bahkan pedang kebanggaanmu tak kan kau genggam lagi disini kawan! Hanya ada sunyi disini, jelas bukan tempatmu kawan.. bukan!”


”Aku kagum dengan keberanianmu, tak bisa aku sepandai kau dalam mengayunkan pedang, tak pernah pula kutikam tubuh orang lain atas dasar apapun, meski dengan mudahnya kau katakan; atas dasar solidaritas! Persaudaraan! Seorang bijak jauh pada masa lampau pernah berkata; `saat debu-debu menghilang, kau kan tahu, kudakah yang kau tunggangi ataukah keledai?` kawan sekarang sadarkah kau tengah menunggangi apa?” bahkan pada dimensi antah-berantah ini, Arius masih juga mengoceh hal yang sama.


Sosok Arius dibawah sorotan cahaya itu semakin menghilang. Serupa efek lighting dalam pementasan teater, lampu fade out dan monolog pun selesai. Belum sempat Lantang berkata, kawannya kini menghilang entah kemana. Tersadari berada sendiri ditengah dimensi yang belum juga dia pahami, Lantang bertumpu lemah pada lututnya. Meraung gejolak dalam dadanya, ”Dimana aku?!!” fade out, gelap.



..bersambung ke Jalan Lantang 3

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!