Kamis, November 26, 2009

Rindu Gelanggang



“Ki, antar Abang ke bandara sore ini.” Kunci Jeep Wrangler masih belum tersentuh pada perut Sepupuku yang masih tertidur malas. Aku turun sebentar menuju garasi mobil, mencari benda yang telah lama tak kugunakan, kuangkat dan kugantungkan. Ada ragu tapi gambaran orang itu membuat darahku menggelegak naik, adrenalinku membius.


“Loh, kamu kok belum mandi juga, Ki?! Ayo cepat! Sudah jam berapa ini?” kulempar muka Sepupuku dengan handuk kecil yang penuh dengan keringatku.


Baiklah disini tempatnya, tempat yang telah kau sepakati. Sepupuku masih juga belum mendapatkan jawaban siapa yang kan kujemput sore ini, rengekannya mengganggu telingaku. Satu kaleng Coca Cola Zero tidak bisa membungkam mulutnya, terpaksa kujawab juga. ”Kawan lama!” kujawab singkat sambil berdiri, memastikan sejenak lalu kulempar kaleng soft drink yang belum terbuka kearah Sepupuku, dia tidak sigap, kaleng terjatuh dan mengeluarkan semua isi soda dalam desirnya.


Begitu pula darahku berdesir hebat melihat sesosok yang kutunggu-tunggu ini, langkah kupercepat. Orang yang kutunggupun rupanya sudah melihatku, sementara Sepupuku tergopoh-gopoh mengikutiku sambil sesekali membersihkan sisa noda soda di kaosnya. ”Bang tunggu sebentar! Ngapain sih buru-buru banget?” Sepupuku selalu merengek, aku tak peduli, kali ini adrenalinku menggelegak sampai ujung tenggorokanku. Dapat kurasakan juga aura orang di hadapanku meskipun berjarak tiga puluh meter di depan, dilepaskannya troli yang berjejelan koper dan barang-barang bawaanya. Matanya nanar!


Sebuah tendangan berkelebat cepat, tiga meter bukan jarak serang efektif bung, tapi jab kirinya mendarat di dadaku kubalas counter sabit, rupanya reflek tangkapannya cukup sigap, masih bisa kuatasi dengan clints. Kali ini tangan kanannya mendorong bahuku sementara kaki kanannya menyapu tumpuan kaki kiriku, diangkatnya tinggi-tinggi badanku, kami jatuh berdebum bak karung beras terlempar di atas dermaga oleh kuli panggul. Beruntung aku masih sempat menarik bajunya.


Belum tegak kakiku bertumpu serangan tendangan lurus masuk bagian ulu hatiku, hanya bergeser beberapa senti ke belakang saja efek tendangannya menjadi sia-sia, sekarang aku yang memegang kendali, kaki kanannya pada genggamanku kali ini. Kusasar kaki tumpuannya, petarung yang cerdas tak kehilangan akal ketika kondisi kritis. Dua kali kusasar, dua kali pula dia melompat kecil, keseimbangan yang luarbiasa mengingat sebelah kakinya masih kucengkeram kuat. Kulepaskan cengkeramanku kususul sebuah tendangan kearah dadanya, serupa prajurit menusukan tombak, dia terdorong beberapa meter. Senyumnya sinis.


Kurasakan buluk kudukku bergidik melihat senyumannya, aku tahu monster itu telah lepas dari raganya. Dia menjual sebuah tendangan sabit pada rusuk kiriku, kubeli dengan jab tepat di dadanya, sekali lagi tendangan yang sama mendarat kearah rusuk kananku, tangkisanku luput mesti tangan kananku telah kualiri nafas kering. Kuimpaskan dengan tendangan belakang.


Suasana bandara menjadi riuh, kumpulan orang tiba-tiba membentuk gelanggang hidup. Beberapa petugas keamanan terlihat berlarian dari lantai dua. Sepupuku masih shock, tak tahu harus berbuat apa. Nafasku tersengal-sengal, mengutuki setiap tetes cafein yang pernah kutenggak dan deru racun nikotin yang berkarat pada paru-paru. Wajahnya masih sumringah tak terlihat kerepotan dengan pola nafasnya dan otot-ototnya terbentuk sangat sempurna, keras seperti tulang.


Kurang dari satu meter aku berdiri tepat dihadapan kuda-kudanya yang pengkuh, jarak serang sangat efektif. Kutunjukkan senyum lepasku, kali ini ekspresi wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran karena dia tahu monsterku telah lepas. Kami beradu-balas, jual-beli serangan masing-masing, masuk, tertangkis, terelak hingga pada posisi clints dia mendorong tubuhku lalu sedetik kemudian tubuhnya melayang cepat kedua kaki terbuka di udara, pinggangku tanpa perlindungan, dalam hitungan detik jatuh berdebam kukutuki kelengahanku atas serangan guntingannya. Seluruh tubuhnya berada diatas tubuhku dalam posisi mounting, tamat sudah riwayatku. Lengan kirinya mencekat bajuku, lengan kiriku menahan remasannya, sekepal bogem mentah sudah pada posisi siap terlontar, kusambut dengan tangan kananku.


Kupegang erat-erat jemari tangannya, mengguncang-guncangkan cengramannya. Kami tertawa lepas, puas, rasa rindu dan haus bertarung kami telah terpenuhi. Sempurna.


Lengannya dengan ringan menarik badanku yang melumer pada lantai keramik bandara, bisepnya terbentuk dengan sempurna dalam siluet kaos katun ketatnya. ”masih sangar juga kau ini brader!!!” hah, sialan kau kawan! Aku bertahun-tahun tak pernah menempa tubuh ini dengan latihan sementara kau di jazirah Arab sana setiap detikmu bercengkrama dengan ribuan ton beratnya alat pengeboran minyak atau mungkin sparing partnermu onta padang pasir. Aku... sparing partnerku hanya layar monitor, pelatihku Mbah Google dan suplemen multivitaminku hanya cafein dan nikotin!


Kumpulan manusia yang membentuk gelanggang hidup membubarkan diri dengan raut wajah kecewa, Sepupuku masih juga binggung sementara tiga orang petugas keamanan merasa sia-sia telah berlarian tergopoh-gopoh. Inilah salam sambutan kami, beginilah cara kami menunjukkan rasa sayang dan luapan rindu yang lama terpendam. Kapanpun dan dimanapun kami bertemu pasti selalu terjadi adegan ini, sejak SMA dulu, bahkan kawan-kawan sekolahku dan sekolahnya hampir tawuran karena salam persahabatan kami yang aneh ini. Nafasku belum pulih.


“So, bulan Desember ini jadi kita turun gelanggang, brader?” kami berjalan lemas menuju deretan cafetaria pada bandara ini. “Kau tahu brader, mengapa aku jauh-jauh pulang kampung dan rela meninggalkan pekerjaanku, hanya untuk apa?” kujawab pertanyaan kawan akrabku hanya dengan senyum. “Minggu kemarin Suhu menelponku, ada event untuk bulan desember depan. Kukira hanya untuk meminta bantuan sponsor bagi para atlet, untuk subsidi suplemen adik-adik kita seperti biasanya, rupanya ada berita yang lebih mengejutkan lagi. Suhu bilang kau akan turun gelanggang, itu sebabnya aku pulang, brader!” matanya berbinar-binar.


Minuman pocari sweet yang baru saja masuk tenggorokanku terpaksa harus keluar lagi tersembur, kena baju Sepupuku. “Hahhh!!! Kau tahu kenapa aku mau turun gelanggang? Karena Suhu telpon aku minggu lalu dan dia bilang kau duluan yang menginginkan turun gelanggang!!” kami berdua hanya berpandang-pandangan tertawa terbahak-bahak. Ahh, bapak tua itu rupanya hanya merindu melihat kami berada di tengah gelanggang! Handphoneku berdering, terlihat pada layar ’Suhu.. calling’ kutekan tombol ’yes’. 

“Sudah kamu jemput ‘musuhmu’? kalau sudah secepatnya menuju padepokan, matras padepokan sudah kangen kalian!” kami menjawabnya serempak “Siap suhu!!!”


Kota S, 26 November 2009
- Saat merindu sparing partnerku -

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!