Kamis, November 19, 2009

Sepotong Sesuatu ... (potongan ke 20)

RSUP Sardjito, Empat jam kemudian.

Handphone milik Raya berdering, terdengar suara Hari meminta agar Raya dan Nadhien bisa pulang untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain, Hari menunggu di ruang UGD. Tepat jam sembilan pagi, hari ini Nadhien harus masuk kampus, mereka meninggalkan Erlang yang masih tertidur, berjalan menuju tempat Hari menunggu.
”Apa kabar kalian? Pasti lelah sekali ya?” Hari keluar dari ruang UGD memeriksa keadaan dua hasil tangkapan mereka yang terluka pada bagian bahu dan kaki kiri mereka masing-masing. Jawaban ringan mereka tidak menggambarkan kelelahan yang dikhawatirkan Hari.
”Tolong titip Mas Erlang, mungkin nanti sore aku jenguk kesini lagi. Maaf aku harus antar tuan puteri ini ke kampus.” Nadhien yang disebut sebagai tuan puteri tersenyum manis dan mencubit kecil tangan Raya, Hari hanya tersenyum melihat kemesraan mereka.

”Jadi semalam dapat berapa orang yang tertangkap Mas? Bagaimana keadaan mereka?” Hari menjawab pertanyaan Raya sambil menunjukkan hasil tangkapan mereka kedalam ruang UGD. Ruangan itu hanya berisi dua orang pasien titipan Polisi, mereka terborgol pada tempat tidur mereka masing-masing. Ruangan luas itu menjadi sempit karena terbagi menjadi beberapa ruang kecil yang tersekat dengan selembar kain hijau untuk setiap pasien. Hari, Raya dan Nadhien berada pada pasien yang terluka pada kakinya sementara hasil tangkapan satu lagi berada disebelah satunya dibatasi kain hijau.

Teriakan Nadhien membuat Raya dan Hari terkejut. Nadhien hanya menangis, terguncang, menatap lemah pada kekasihnya yang baru saja dia miliki, sementara Raya tak dapat berbuat apapun. Hari hanya mengarahkan pistolnya dengan ragu, ancaman seseorang yang berlindung dibalik sandera tidak bisa dianggap main-main. Rupanya salah satu tersangka yang berada dibalik kain hijau itu bangkit mengalungkan leher Nadhien dengan pisau bedah yang mungkin dia sembunyikan semalam ketika dilakukan operasi penanganan luka tembak dibahu kirinya, meskipun tangan kanannya terborgol pada ranjang besi dan luka dibahu mengeluarkan darah lagi tapi ancamannya membuat Hari harus memenuhi permintaan orang itu.

Hari meletakan senjatanya dilantai, menendangnya kearah pintu dan memberikan kunci borgol untuk diberikan kepada Nadhien sesuai perintah orang yang berlindung dibalik tubuh Nadhien. Raya hanya bisa menenangkan Nadhien lewat tatapan matanya. Tangannya gemetaran dengan luka sayatan kecil dileher akibat pisau bedah yang tertekan pada kulitnya, Nadhien membukakan borgol dari tangan penyanderanya. Kunci kecil itu telah berpindah tangan, kemudian memerintahkan kepada Hari untuk memasangkan borgol itu ketangannya sendiri dan tangan Raya. Kini penyandera dapat bergerak leluasa, dengan sandera dan penghalangnya akan kesulitan menyerang dengan borgol ditangan mereka.

Penyandera berjalan mundur, tangannya masih memegang pisau bedah yang diarahkan menuju leher sanderanya, berjalan perlahan dengan ancamannya menuju pintu, mengambil pistol milik Hari bahkan sebelum keluar dari pintu itu dia menyempatkan membuang kunci borgol kedalam wastafel tempat bagi dokter untuk mencuci tangan. Nadhien jatuh terdorong setelah penyandera itu berlari keluar dengan acungan senjata api. Hari dan Raya memastikan keadaan Nadhien yang masih terguncang kemudian lari mengejar dengan kondisi terborgol satu sama lain. Tidak sulit mengikuti arah penyandera itu berlari, sepanjang koridor yang mulai didatangi orang yang akan menjenguk menjadi ramai dengan teriakan begitu melihat seseorang berlari dengan senjata api, menabrak siapa saja yang menghalangi.

Hari dan Raya terus mengejar buruannya, seorang perempuan muda terjatuh akibat diterjang, Raya mengenali orang itu dan mendekati.
”Kamu tidak apa-apa Jane?” membantunya berdiri
”Gak apa-apa. Dia lari kearah parkir utara!” tangannya menunjuk kearah larinya orang yang menabraknya.
”Jane kamu tolong ke UGD, disana ada temanku yang shock, dia pakai jaketku!” Raya sambil berlari berteriak memberitahukan agar Jane melihat keadaan Nadhien. Jane hanya mengangkat satu tangannya memberi tanda setuju.

Hari menjelaskan situasi yang terjadi pada seorang SATPAM yang mendekati mereka kemudian membuka borgol.
”Saya memerlukan senjata kamu, cepat hubungi semua anggota yang ada dan minta bantuan Kepolisian terdekat, lakukan penyisiran didalam dan diluar. Kamu disini saja, tangani Nadhien” senjata api berisi peluru tak tajam milik SATPAM telah berpindah tangan, kemudian Hari bergegas mengejar, tapi rasa penasaran Raya tidak menghentikannya hanya sampai disitu.

Raya mendekati petugas SATPAM yang sibuk menghubungi meminta bantuan sesuai perintah Hari.
”Maaf Pak, saya perlu alat ini dan tolong Bapak cepat periksa keadaan saksi dan tahanan titipan di ruang UGD. Cepat laksanakan!” perintah tegas dari Raya meyakinkan petugas keamanan itu seolah mendapatkan perintah langsung dari seorang anggota Polisi. Raya menyusul mengejar menuju parkir utara.

Hari melompati pagar setinggi dua meter, pada tembok itu terlihat jejak kaki buruannya yang melompat kearah rawa kecil yang ditumbuhi tanaman dan semak lebat berbatasan dengan tembok itu. Raya sempat melihat Hari melompati pagar kemudian menyusulnya.
”Kenapa kamu ikut mengejar? kamu tahu ini sangat berbahaya!” Hari terkejut begitu dia menyentuh tanah ternyata tak lama kemudian Raya sudah berada disampingnya.
”Tenang saja Mas, aku bawa ini?” Raya menunjukkan pentungan karet yang dipinjamnya dari SATPAM tadi.
”Gila kamu ini!”
”Ssst... dengar itu Mas?” Raya mendengar kawanan burung pipit yang terbang dari balik semak-semak berjarak sekitar tiga puluh meter didepan mereka.

Hari memberikan kode agar Raya mengejar kearah kanan sementara dia mengambil kearah kiri kemudian sudah hilang dibalik semak belukar. Keadaan rawa menjadi sangat sepi, tidak ada suara ataupun gerakan binatang kecil penghuni rawa, penyandera itu menyadari kehadiran mereka. Raya berjalan perlahan menunduk, berusaha sekecil mungkin tidak menimbulkan suara., dirinya sadar berada dalam situasi berbahaya, tidak sekedar dalam permainan memperebutkan bendera lawan saat perang-perangan dengan senapan mainan berpeluru cat warna-warni. Kepalanya dengan cepat menunduk begitu terdengar suara letusan, sebuah dahan pohon Sengon patah terkena tembakan, hanya setengah meter diatas kepalanya.

”Thanks Jane!” dalam hati bergumam, rupanya kawan dekatnya ini dari ruang UGD memberikan peringatan akan adanya bahaya lewat komunikasi batin dengan Raya, telat satu detik saja peringatan itu, mungkin kepalanya terkena sasaran peluru. Jane memberitahukan keadaan Nadhien yang tengah ditangani perawat. Kelebihan kemampuan indera keenam yang dimiliki Jane dapat keluar begitu saja tidak seperti Raya yang harus melakukan meditasi terlebih dahulu. Raya mengejar penembak itu yang bergerak lari kearah barat setelah menembaknya. Buruannya berlari lemah didaerah terbuka, pentungan ditangannya dilemparkan sekuat tenaga dan tepat mengenai bagian belakang kepala sasarannya, meskipun sempat terjatuh tapi dia masih bisa berlari kearah semak-semak.

Lewat komunikasi batin kali ini Jane memberitahukan posisi buruan mereka yang sedang menahan rasa sakitnya bersembunyi di balik semak, Raya bisa mendekati orang yang hampir sekarat karena mengeluarkan darah banyak sekali dari luka dibahunya. Hari terlebih dahulu menemukan buruannya yang terkapar lemah setelah mengikuti jejak darah, tangannya masih menodongkan senjata dan mengambil senjata miliknya yang berada tidak jauh dari kakinya. Hari memberikan perintah agar Raya memborgol menggunakan borgol yang sama mereka kenakan tadi pada buruannya yang sudah berada dalam posisi tidur telungkup dengan kedua tangan diatas kepala, membawa keluar menuju jalan raya.

Raya bergegas mencari Nadhien, menerobos kerumunan wartawan yang terhadang Polisi didepan sebuah ruang periksa. Jane tengah memeluk Nadhien yang masih terguncang akibat kejadian tadi, Raya memegangi jarinya memastikan bahwa semua baik-baik saja dan telah selesai. Tidak lama kemudian orang tua Nadhien menjemput dan membawa Nadhien, sebenarnya Raya berkeinginan untuk mendampingi Nadhien tapi Hari membutuhkan dirinya setelah dia menghadapi pertanyaan kumpulan wartawan yang memaksa masuk.

”Terimakasih banyak Jane, you save my life once again” Raya meneguk kopi dari gelas plastik.
”Thats what friend are for, aku cuma kecewa selama ini kamu tidak tidak terbuka dengan aku” mereka duduk di kursi tunggu menikmati kopi panas.
”Kamu kan tahu aku gak pernah bohong dan gak akan bisa menutupi apapun dari kamu, aku juga yakin kamu mengetahui alasan mengapa aku gak pernah cerita tentang hal ini, aku harap kamu bisa mengerti.” meskipun Raya berbicara dengan Jane tapi pikirannya masih tertuju kepada Nadhien.
”Aku bisa mengerti jika ini semua masih ada kaitannya dengan skripsimu. Ingat, aku harus berbohong, mengatakan kepada kawan-kawan bahwa kamu pulang kamu untuk urusan penelitian, semua ini demi menutupi keberadaanmu yang hilang begitu saja.” walau bagaimanapun Jane tidak pernah bisa marah terhadap kawan satunya ini.
”You better call her, i know you still worried about her condition.” Jane menyodorkan handphonenya, Raya hanya tersenyum bahkan untuk handphone miliknya yang habis baterenya saja, karena semalaman tidak dicharge, Jane bisa mengetahui hal itu, bagaimana dia bisa menutupi hal lainnya dari kawan akrabnya ini.


Lokasi; Kediaman orang tua Nadhien. 13.30 WIB

Raya menepati janjinya untuk melihat keadaan Nadhien secepatnya setelah urusan selesai. Hari terpaksa memberikan ijin lebih cepat keluar bagi Raya dari pertemuan seluruh tim di ruang kerja Erlang karena melihat Raya tidak fokus mengikuti pembahasan mengenai tindakan berikutnya. Raya bergegas menuju lokasi yang telah disebutkan Nadhien lewat telepon tadi. Gerbang tinggi itu terbuka, seorang penjaga keamanan rumah memberitahukan agar Raya dapat menunggu di ruang tamu. Halaman rumahnya cukup luas dan terawat dengan baik, dihiasi tanaman mahal, Raya masih belum mengerti alasan Nadhien yang memilih untuk tinggal di kontrakan sementara rumahnya sendiri cukup nyaman dan jarak tempuh menuju kampus hanya sekitar empat puluh menit saja.

Ayah Nadhien sudah menunggu di ruang tamu menunggu penjelasan Raya tentang posisi Nadhien hingga bisa berada dalam situasi yang membahyakan puteri kesayangan mereka karena Nadhien belum bisa diajak berbicara sementara belum ada satu pihak pun yang sempat memberikan penjelasan kepada mereka karena langsung membawa Nadhien pulang. Sikap pembawaan Ayah Nadhien yang egaliter tapi tidak menutupi perasaan khawatir terhadap anaknya membuat Raya menjadi tenang menceritakan kejadian yang sesungguhnya, tentu saja menutupi statusnya dengan memberikan alasan bahwa mereka ada di rumah sakit untuk menjenguk kawannya yang sakit.

Raya diajak ke pekarangan belakang rumah, disana Nadhien duduk pada kursi santai memeluk kucing kesayangannya, perempuan tua yang menjadi pengasuhnya sejak kecil tidak bisa membujuk Nadhien yang belum juga menyentuh makan siangnya. Ayahnya membiarkan mereka berdua. Raya tidak tega melihat Nadhien yang tiba-tiba saja terjebak pada situasi yang membuat dirinya terguncang, pandangan matanya masih kosong menatap kedepan, tiba-tiba menangis begitu mengingat kejadian tadi, membuat kucing kesayangannya lari menjauh, terduduk lemah dikursi memeluk Raya yang berdiri disampingnya. Raya mengelus rambutnya menenangkan dan membujuk Nadhien agar mau makan karena sejak tadi pagi dia belum makan.
Lelucon kecilnya tentang ayam tetangga yang masuk rumah sakit karena sering melamun dan tidak mau makan, menciptakan senyum ringan dan berhasil membujuk Nadhien memakan bubur ayam meski tidak habis dan meminum segelas susu. Nadhien meminta agar Raya tidak meninggalkan dia lagi, Raya hanya tersenyum bangga dengan kekuatan hati Nadhien dan berjanji akan selalu berada disisinya kapan pun dia membutuhkan bantuannya, tentu saja tidak termasuk jika berkaitan dengan ujian di kampus atau urusan ke kamar kecil. Mereka sudah bisa tertawa lagi, Ayah Nadhien tersenyum puas, melihat dari balik kaca lantai satu, dia percaya puteri kesayangannya berada di tangan orang yang tulus.


Lokasi Ruang ICU. 20.00 WIB

Raya masih bertanya-tanya dalam hatinya sepanjang perjalanan dari utara Jogjakarta menuju Sardjito, mengapa Hari menelpon dirinya agar segera kesana? Tanpa penjelasan lengkap, hanya keterangan penting. Sebenarnya Nadhien mencegah kepergiannya dan Ayahnya pun tidak berkeberatan jika Raya bersedia menginap di kamar tamu yang telah disediakan, tapi karena ini menyangkut Erlang, dia berjanji akan berhati-hati dan akan terus menghubungi akhirnya Nadhien memahami.

Langkahnya dipercepat menuju ruang ICU, disetiap penghubung satu gedung dengan gedung lainnya dia melihat penjagaan rumah sakit ini menjadi diperketat, mungkin untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi karena dia sudah dikenal oleh beberapa petugas maka dengan leluasa melewati mereka, meski tidak ada satupun penjaga yang dapat menjelaskan keadaan Erlang ketika dia bertanya-tanya. Pintu ICU terbuka, dia terkejut, seluruh tim telah berkumpul di tempat Erlang terbaring, dadanya berdegup cukup kencang tapi begitu Hari membalikkan badannya menyambut Raya, terlihat Erlang sudah terduduk bersandar, melepas masker oksigen dan menyapa kehadirannya.Raya tidak dapat menutupi kebahagiaannya, matanya berkaca-kaca. Erlang mendengarkan penjelasan perkembangan kasus dari Hari, kasus ini harus segera diselesaikan karenanya dia memaksakan diri, bahkan dalam keadaan baru saja melewati masa kritis. Ruangan ICU telah disulap menjadi markas sementara......
(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!