Jumat, November 20, 2009

Sepotong Sesuatu ... (potongan ke 3)

Jogja; Romansa dan Misteri
Hari yang sama. 20.47 WIB. Lokasi; Angkringan Lek Man


(foto dari www.podjok.com)

Sepeda onthel, celana jeans belel warna hitam dan kaos berwarna hitam pula, seolah sudah menjadi kostum cir khas Raya, ritual membersihkan rambut panjangnya yang sudah menyentuh daerah tulang iganya memang memakan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan kesabaran ekstra, belum ada niat untuk memangkas rambutnya itu, mungkin jika sudah pasti keluar jadwal pendadaran yang dinanti-nanti, sudah hampir tahun kedelapan dirinya bergentayangan di kampus. Keluar kos selepas Isya menuju timur kemudian onthel diarahkan belok kanan dari perempatan pingit melewati sepanjang jalan Tentara Pelajar, memang jam segini belum muncul para penggoda birahi berwujud waria yang menawarkan alternatif kepuasan seks.

Melewati bundaran SAMSAT, onthel bergerak belok kiri, pada pertemuan Jalan Wongsodirjan dan Jalan Pangeran Mangkubumi inilah banyak orang terbius oleh romansa Jogjakarta dengan budaya social gathering, lesehan ditemani teh hangat atau kopi yang dicampur dengan arang panas membara yang akan menimbulkan efek bunyi… jooossss. Ini mungkin mengapa minuman racikan Lek Man terkenal dengan sebutan kopi joss.

Inilah Jogjakarta dengan sejuta gelar, selain kota pelajar, kota pariwisata juga dikenal sebagai kota pengamen dan kota sejuta kuliner lesehan, bagamana tidak unik kota ini, bahkan untuk menjual minuman keras pun tetap dalam format lesehan! Hebatnya lagi lokasi yang berada dibagian barat Jalan Malioboro ini tak pernah terdengar berita razia miras, “hla wong jamu koq mas, piye jal!” Untuk lokasi ini sudah tidak lagi Raya jadikan tujuan mencairkan malam dalam keriangan denting gelas, masih lekat trauma yang terjadi pada kawan akrabnya yang terpaksa menghentikan kuliahnya akibat bahaya laten lapen Pajeksan. Lima ribu perak dalam satu liter, lesehan pula! tapi efeknya mumet endase, eneg wetenge wis pokokmen remuk!

Teh panas, dua potong jadah bakar, tempe mendoan, tahu susur dan sebungkus sego kucing, siap saji dihadapan Raya yang duduk lesehan di atas selembar tikar, tikus wirog sudah mengincar dari balik pagar, setiap menit terdengar deru kereta api, sebelah selatan situ stasiun tugu dan Lek Man bersandar pada pagar tembok pembatasnya.
“Wah… wah! Udah abis berapa gelas teh nih?” suara dari sebelahnya mengganggu kenikmatan sego kucing dan tahu susur dalam mulut Raya, ternyata Erlang sudah duduk disampingnya.
“Jadi dari tadi sampeyan dah disini toh!” topi hitam yang semula menutupi hampir sebagian matanya diangkat sedikit, ah dasar Serse, hampir mirip siluman!






Tak terasa mereka telah larut dalam diskusi serius, kali ini reserse muda ini yang banyak mengutarakan kasus posisi yang sedang ditanganinya.
“kasus ini terkesan mudah tapi sebenarnya sulit, jadi kami gak boleh sembrono, bisa saja kasus ini langsung masuk pengadilan dan diputuskan karena kami sudah punya tersangka utama dan tunggal, selain itu juga kami sudah memegang pengakuan tersangka yang telah mengakui perbuatannya membunuh korban tapi kami tidak begiu saja mempercayai, ingat prinsip hukum paling utama?” Erlang menatap penuh harap pada pemuda satu ini.

“Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali!” mulutnya mengunyah jadah bakar.
“Oya, satu lagi; Presumption of Innocent!” Erlang menambahkan lagi satu prinsip; seseorang dianggap tidak bersalah sebelum diajtuhkannya putusan hakim.

“Aku sepakat Mas, pihak Kepolisian gak boleh sembrono dalam kasus ini, dalam Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan dirinya bersalah, tetap dibutuhkan barang bukti pendukung lainnya, bukan begitu Mas?” jadah bakar telah terdorong teh manis kental dan panas masuk tenggorokan melalui proses peristaltik.

“Oh ya Mas, semalaman aku terus kepikiran dengan kondisi mayat korban,”
“Kenapa? Kamu kenal dengan korban?”
“Bukan itu Mas, ada satu lagi kejanggalan dalam kondisi mayat korban yang kaku”
“Maksud kamu rigor mortis? Teruskan, untuk hal ini aku belum begitu paham”
“Sepengetahuan saya dari buku-buku yang saya baca, kaku pada mayat atau rigor mortis akan terjadi akan terjadi lebih kurang enam jam setelah kematian”
“Apa kondisi ini hanya terjadi setelah enam jam?” Erlang semakin tertarik


(picture taken from www.mayslaw.net)


“Oh, ada kondisi pengecualian Mas, ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses ini, bisa jadi faktor kejiwaan korban yang mengalami ketakutan hebat, seperti misalnya korban di teror terlebih dahulu sebelum meninggal atau otot korban telah melalukan aktivitas berlebihan misalnya habis berolahraga berat atau bisa juga karena korban melarikan diri dari kejaran pelaku, nah untuk yang terakhir ini maka penyebabnya dua; teror dan kerja otot berlebihan tapi jika melihat postur tubuh korban, aku ragu jika tersangka dapat melakukan teror dan intimidasi terhadap korban” Erlang menyimak serius penjelasan Raya sementara tangannya mendekatkan jadah bakar kemulutnya.

“Satu lagi Mas, bisa jadi dalam perut korban hanya terdapat sedikit sekali sisa makanan atau karbohidrat tapi untuk hal ini harus dilakukan proses otopsi tentunya. Sudah dilakukan proses otopsi pada mayat korban?” Raya menanti jawaban
“Untuk satu ini kami masih kesulitan mendapatkan Informed consent dari keluarga korban, ada kesan dari pihak keluarga yang siap mengiklaskan kematian korban, bagi keluarga hidup matinya seseorang berada di tangan Tuhan, bagaimanapun proses kematian itu, artinya proses otopsi akan sangat sulit dilakukan, terlebih Ibu dari korban tidak rela tubuh anaknya dibedah oleh Dokter Forensik” Erlang tidak menunjukkan sama sekali ekspresi bahwa dia menghadapi kendala besar, mungkin dia yakin akan ada jalan keluar untuk menghadapi ini.



http://jatiknife.blogspot.com/


“Ada perkembangan dari latar belakang belati itu Mas?”
“Anggota saya sedang dalam tahap pencarian info melalui toko-toko Adventure Equipment dan distributor senjata tajam berijin. Kamu melihat ada yang menarik dari barang bukti satu itu?” lagi-lagi Erlang menguji ketajaman pengamatan Raya, tapi Raya paham betul dalam hal ini dan mencegah adanya dominasi forum diskusi ini.
“Aku cuma curiga dengan jenis spesifik belati itu,” matanya melirik kearah Erlang dan siap mendengarkan.
“Kalau kamu cermati foto belati itu pasti kamu akan melihat banyak lagi kejanggalan”
“Seperti apa Mas?” kali ini Raya menerapkan jurus teaternya.
“Belati itu tergeletak tidak jauh dari tangan kanan korban, selain bercak darah korban terdapat juga sidik jari korban tapi tidak diketemukan sidik jari pelaku”



(picture taken from www.fbi.gov)


“Mungkin pelaku menggunakan sarung tangan atau menghapus sidik jarinya pada belati?” Raya coba menduga
“Kalau coba menghapus sidik jari pastinya bercak darah akan hilang begitu juga sidik jari korban”
“Berarti tersangka menggunakan sarung tangan Mas!” Raya mengambil kesimpulan singkat
“Hahaha... tadi kamu ragu kalau tersangka mampu melakukan itu, ingat pelaku pembunuhan ini belum tentu tersangka loh! Keraguan kita terhadap tersangka masih sama bukan?” Erlang yakin intuisi penyidiknya benar, intuisinya ini semacam sikali sense sering membantu dalam memecahkan berbagai kasus yang dihadapinya.


“Selain itu juga ada temuan yang menarik dari hasil penelitian labkrim kami, ada semacam alur tidak beraturan pada bercak darah, teori ku begini..” malam sudah semakin larut kondisi sepanjang jalan sudah mulai sepi, Erlang melihat kondisi sebentar lalu memberikan intruksi kepada Raya untuk mendekat.
“Kita ibaratkan sendok ini adalah belati yang digunakan pelaku, jika aku pelaku menusuk korban seperti ini,” Erlang memperagakan menusukkan sendok pada bagian perut korban.
“Jika kamu sebagai korban, apa yang akan kamu lakukan?”
“Ehhm.. jika aku masih kuat menahan pasti aku cabutlah Mas! Jelas terasa sakit sekali dan aku akan berupaya untuk menghilangkan sumber sakit itu” penjelasan Raya menyiratkan kesakitan korban, sementara Erlang cuek dengan tangannya memegang gelas berisi kopi joss.


Budaya minum kopi joss disini bisa dijadikan identifikasi sosial, bisa jadi si peminum kopi joss merupakan orang baru yang nongkrong di Lek Man, baru mendengar gaung nama besar kopi joss sehingga tertarik untuk mencoba racikan Lek Man atau bisa jadi si peminum sudah betul-betul ketagihan kopi joss, tapi untuk opsi kedua ini sangat jarang terjadi karena bagi mereka yang telah lama nongkrong disini pasti lebih memilih teh yang nasgitel (panas, legi tur kentel) dan kelebihan lainnya bisa tambah teh tanpa kena tambahan biaya alias `nge-jok`. Pengecualian bisa jadi untuk kasus jika si peminumnya adalah anggota Reserse terutama sekelas Erlang, bisa jadi ini sebagai motif kamuflase, agar orang sekitar menebak dirinya orang yang baru-baru ini nongkrong di Lek Man. Malam ini Raya tidak bergabung bersama kawan-kawannya di meja panjang Lek Man, dia memilih lesehan jauh dibagian barat agar tidak terlihat kawan-kawannya, dia yakin kawan-kawannya seperti memiliki radar keberadaan Intel dalam radius tertentu, sehebat apapun Intel itu berkamuflase.


Pernah suatu waktu ada seorang pengamen yang selama ini tidak pernah menjajakan suaranya disekitaran Lek Man, anehnya lagi pengamen ini menghadap pada penikmat suaranya tapi matanya berkeliaran seolah mencari target operasi, kemudian reaksi kawan-kawan satu persatu dengan gayanya masing-masing yang cukup elegan pamit pulang padahal saat itu kami tidak sedang membahas rencana untuk melakukan kudeta Republik ini, lagipula apa untungnya dan kekuatan apa yang kami miliki untuk melakukan itu, apalagi salahsatu diantara kami gembong atau pengedar narkoba, gak mungkinlah!, bisa saja ada orang lain yang dijadikan target operasi tapi begitulah reaksi mereka. Keesokan malamnya ketika kami berkumpul lagi secara serentak berbisik “aku tau kenapa kalian buru-buru pulang kemarin malam?” serentak pula kami menjawab “ooo… Assuuu!”
Malam semakin larut…. Jogja pun letih menemani para insomnia addicted.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!