Jumat, November 20, 2009

Sepotong Sesuatu ... potongan ke


Silent of The Innocent
Sabtu, 9 Juni 2007. 09.15 WIB. Lokasi; Ruang Interograsi Poltabes

Ruang berukuran 4x4m hanya terdapat satu meja, tiga kursi dan tiga manusia dengan raut muka tegang. Wajah tua itu semakin menunduk, hampir tidak ada darah yang mengalir menuju pembuluh darah yang berada dibalik kulit wajah tersangka hanya air yang keluar dari pori-pori kulit coklat itu. Erlang masih dengan sabar menggali informasi dari pengakuan tersangka, nalurinya masih membimbing keyakinannya bahwa tersangka bukan merupakan pelaku sesungguhnya.
”Saya ulangi sekali lagi, tolong Pak Jono mengatakan dengan sesungguhnya. Perlu Bapak ketahui semua ucapan Bapak bisa jadi membantu di persidangan atau justru memberatkan Bapak. Saya yakin ada sesuatu yang Bapak tutupi, percayalah kami disini untuk membantu Pak Jono.” Sorot mata tajam milik Erlang tak mampu menembus pertahanan tersangka.

Yanto yang mendampingi di ruangan yang sama sudah tidak sabar lagi menungu jawaban tersangka yang tak kunjung keluar satu kata pun. Lengan kekarnya mencengkram kaos bergambar salah satu partai jaman orde baru yang dikenakan tersangka.
”Jangan bikin kesabaran kami hilang Pak! Ayo katakan! Hormati orang yang sedang berbicara, lihat mata saya!” lengannya masih mengguncang tubuh korban yang ringkih, Erlang mencegah tindakan Yanto dan berbisik untuk melepaskan cengkramannya.
”Tapi Dan, orang ini tidak akan berbicara jika tidak kita paksa” Erlang memahami tekanan kerja pada diri Yanto tapi dia lebih menghargai hak seseorang untuk diperlakukan manusiawi.

”Oke, Pak Jono bisa liat sendiri, teman saya ini sebenarnya seorang yang sabar tapi Bapak juga tahu kami hanya manusia yang juga mempunyai batas kesabaran. Kemarin kami sudah tawarkan kepada Bapak untuk dapat didampingi pengacara selama proses ini tapi Bapak menolaknya,” Erlang masih menjaga emosi dalam dirinya, kekerasan tidak akan dapat membuat titik terang itu datang, dia memahami konsep orang jawa yang jika sudah dalam keadaan pasrah maka akan sulit untuk merubah pilihannya itu. Erlang menyodorkan map Berkas Acara Perkara kehadapan tersangka, ditunjukkan tulisan yang dia harapkan dapat terbaca oleh tersangka.

”Pak Jono bisa baca ini?” ekspresi wajah yang diharapkan mulai terlihat dari sikap wajah yang menunduk itu
”Kalau Pak Jono tidak bisa atau tidak berminat untuk membaca tulisan ini maka saya akan bacakan” Erlang menunjukkan ekspresi wajah ceria kepada partnernya itu menandakan umpan telah berhasil, Yanto masih belum memahami maksud Komandannya.
”Tolong dengarkan baik-baik, menurut KUHP Pasal 340 yang mengatur bahwa `Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama DUA PULUH TAHUN.` Bapak dengar itu DUA PULUH TAHUN!” Intonasinya ditekankan pada akhir kalimat. Yanto mulai memahami maksud Komandannya itu dan memperhatikan kedua telapak tangan tersangka yang bertumpu rapat dibawah perut, ada getaran yang tidak bisa dikontrol oleh tersangka. Yanto pun beraksi menambahkan tekanan psikologis pada tersangka.

”Perlu Bapak ketahui bulan lalu, kami baru saja mengeksekusi mati pelaku pembunuhan yang keji membantai empat orang korbannya. Bapak tahu apa yang dilakukan oleh pembunuh itu? Dia hanya diam bahkan sampai dipersidangan pun tidak banyak yang diucapkan, tapi dihadapan tim Brimob yang siap untuk menembaknya akhirnya pembunuh itu menangis, apa gunanya tangisan setelah peluru menembus dadanya?” kini Yanto dapat memperhatikan kedua kaki tersangka yang tersembunyi dibawah kursi itu bergetar cukup kencang.

Erlang menepuk bahu Yanto agar memberikan kesempatan bagi dirinya kali ini. Tenang Erlang duduk diatas meja disamping tersangka, meyakinkan bahwa dirinya berada dipihak tersangka untuk membantu. Bujukan dan rayuan agar tersangka membuka mulutnya ternyata belum juga berhasil merubah keyakinan tersangka meskipun keringat semakin membasahi wajah dan punggung tersangka. Posisi duduknya pun tidak berubah, menandakan keteguhan hatinya mampu meredam tekanan psikologis yang menyerangnya bertubi-tubi.
”Saya katakan sekali lagi bahwa kami disini untuk membantu Bapak karena Saya pribadi percaya bahwa Bapak bukan orang jahat” Erlang menanti jawaban, perlahan kepala tersangka terangkat dan bersiap mengucapkan sesuatu, mungkin karena mendengar perkataan Erlang yang tulus, hati kecilnya terguggah dan memberanikan diri.
”Kulo khilaf Pak Polisi, saestu, kulo khilaf....” bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu, dalam batinnya pasti bergejolak menyatakan pengakuan yang dipaksakan mengatakan kejujuran tapi Erlang bukanlah penyidik yang tidak mengetahui mana pengakuan yang benar atau kebohongan belaka.

”Oke, katakanlah jika Bapak memang benar-benar khilaf saat itu tapi Bapak bisa ceritakan pada kami apa alasannya Bapak sehingga tega membunuh korban? Kesalahan apa yang dilakukan korban sampai-sampai membuat Bapak menjadi khilaf?” tatapan tajam Erlang menjadi sia-sia karena tersangka kembali tertunduk, diam dan jawaban tak kunjung keluar dari mulut tersangka. Yanto semakin tidak sabar, kursi yang didudukinya terlempar menghantam tembok. Tak hanya tersangka yang terkejut atas reaksi Yanto itu, Erlang pun tak kalah terkejutnya. Lengan Yanto dengan cepat mencengkram tersangka dan mengangkat tinggi-tinggi hingga wajah tua itu berhadapan langsung dengan wajah yang tak mampu menahan emosi. Ledakan pertanyaan Yanto hanya dijawab dengan kalimat yang sama keluar dari mulut tersangka tadi kali ini dengan tambahan tangisan kecil dan mata yang terpejam pasrah, bisa saja nasibnya sama seperti kursi yang hancur berantakan tadi.

Erlang berusaha menenangkan Yanto meminta untuk melepaskan cengkramannya. Tiga jam berada diruangan tanpa mendapatkan hasil apapun. Erlang mengajak Yanto untuk keluar menghirup udara segar sementara tersangka dibiarkan didalam ruangan. Taman kecil belakang ruang kerja Erlang mereka masih menunduk dengan asap rokok yang terhembus kearah bawah, jika dalam teori psikologi bahasa tubuh, prilaku seorang perokok dengan ciri seperti ini menandakan mereka sedang mengalami depresi atau tertekan. Erlang sebagai komandan tidak boleh terbawa arus emosi bawahannya yang bisa saja menjebak mereka pada hal yang justru merugikan. Yanto masih saja menggerutu dan memuntahkan kekesalannya menghadapi tersangka satu itu. Dia selalu berhasil membuka mulut para pengedar kecil sehingga menemukan bandar besar narkoba dengan metode intimidasinya bahkan tak segan-segan kekerasan fisik dia pergunakan.

”Apalagi yang harus kita lakukan Dan? Kenapa kita tidak melakukan cara lama yang jelas-jelas telah terbukti!” Yanto masih menghormati atasannya ini meskipun usianya jauh lebih tua. Erlang masih menatap kearah kolam ikan koi yang berenang tenang, perlahan emosinya ikut terbawa tenang. Menghisap dalam-dalam batang rokok diengan kirinya, mengambil handphone yang tersimpan di pinggangnya kemudian menghubungi bawahannya.
”Ada temuan dan perkembangan baru?”
”Siap Dan!, Saya telah menyelidiki latar belakang tersangka dan keluarganya, ada beberapa temuan yang mungkin bisa membantu kita.” Hari melaporkan hasil investigasinya.
”Oke, bagus! Posisi sekarang dimana? Harap segera meluncur kearah markas.” Ekspresi Erlang menjadi sedikit cerah mendengar laporan itu, Yanto masih juga memendam emosi yang perlu diluapkan segera. Erlang menekan kembali tombol handphonenya untuk menghubungi Raya.

”Hallo Mas Raya, ada perkembangan baru dari ruang bedah mayat? Maaf kami hari ini masih belum sempat mampir kesana. Tolong setiap ada perkembangan beritahukan segera atau jika perlu bantuan jangan sungkan-sungkan.” Ada perasaan tidak enak hati dalam diri Erlang yang membebani Raya dengan tugas yang begitu berat tapi dia tidak meragukan kemampuan Raya. Erlang sedikit terkejut mendengarkan laporan Raya yang memberitahukan adanya insiden kecil.
”Insiden kecil bagaimana maksud kamu?” Erlang menunggu penjelasan Raya
”Wah, kok bisa gitu ya! Pasti mahasiswa itu melakukan kelalaian. Hati-hati, jangan sampai kamu mengalami kejadian yang sama. Oh ya, terus bagaimana keadaan mahasiswa itu?” Erlang merasa lega insiden itu tidak menimpa Raya dan mahasiswa itu telah mendapatkan perawatan berdasarkan laporan Raya.
”Saya minta tolong setiap ada perkembangan yang penting segera laporkan Saya. Nanti pulsa akan dikirim supaya kita tidak terhambat hanya karena kehabisan pulsa. Jaga diri baik-baik.” Percakapan berakhir.

Hari segera menghadap Erlang dan melaporkan hasil temuannya. Erlang mendapatkan ide baru setelah mendengarkan laporan Hari. Kedua bawahannya terlihat setuju dengan rencana komandannya itu. Kedua bawahannya undur diri dari kantornya untuk melaksanakan perintah. Erlang kembali ke ruang introgasi, menjelaskan bahwa interigasi hari ini dirasakan cukup kemudian mengantar tersangka kedalam sel tahanan.

***

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!