Jumat, November 20, 2009

Sepotong Sesuatu ... potongan ke


Post Mortem Internal Analisyst

Pemeriksaan Lanjutan. Sabtu, 9 Juni 2007. Lokasi; Ruang Bedah Mayat.

`Selamat pagi Indonesia, sudah bangun Mas? Ingat loh hari ini ada pemeriksaan lanjutan. Ayo cepat mandi, sampai ketemu lagi di Sardjito` sms dari Nadhien membangunkan dari nyenyak tidur Raya yang cukup berkualitas meski hanya tiga jam. Jarum jam menunjukkan pukul 5.30, ada keraguan untuk melanjutkan tidurnya kembali tapi dia harus melawan rasa kantuknya terutama kebiasaan malas bangun pagi. Laptop pinjamannya ternyata belum dimatikan, rupanya dia tertidur setelah pulang dari Poltabes mendiskusikan hasil pemotretan posisi korban dan TKP. Sebenarnya rasa lelahnya belum hilang sepulang dari Sardjito kemarin sore kemudian diteruskan di Poltabes, tapi penyakit insomnianya dan tinggi rasa ingin tahu memaksa Raya untuk meneliti lagi hasil jepretan kameranya di kamar kosnya itu. Meneliti lebih detail dan memberikan catatan penting dari setiap foto yang ada.

Pertemuan pertama dengan Nadhien dan pertemuan-pertemuan berikutnya membuat hubungan mereka semakin dekat. Tidak hanya sekedar sms lucu atau sekedar basa-basi, Nadhien lebih aktif mengingatkan Raya untuk bangun pagi, terkadang sms Nadhien berhasil menjadi terapi melawan kebiasaan buruk Raya yang sulit untuk bangun pagi, seperti pagi ini. Air wudhu yang membasuh muka Raya memberi efek segar luar biasa, sudah lama sekali dia tidak berkomunikasi dengan Tuhannya dalam ritual wajib ini. Kesadarannya semakin meningkat, semangat dan optimisme hidup kembali muncul. Rasa sesal masa lalu yang terlalu sering protes pada Tuhannya seolah tertebus dari setiap bulir air yang menitik dari matanya kala sujud setelah salam terakhir. Dadanya terasa lapang.

Nadhien melambaikan tangannya dari ruang tunggu Instalasi Kedokteran Forensik, Raya membalas dengan senyum ringan sementara tangannya masih memegang HP, membaca sms dari Erlang yang tidak dapat hadir di ruang mayat dan kembali memberikan kewenangan penuh kepada Raya untuk menjadi observer pada pemeriksaan lanjutan ini. Sms dibalas kemudian mendekati Nadhien.

“Mau permen jahe Mas? Ini bagus loh untuk perut supaya gak mual di dalam nanti, soalnya hari ini pasti akan ada pembantaian,” Nadhien tersenyum manis menawarkan permen jahe. Raya mengambil lima butir, tidak hanya untuk melawan mual tapi permen ini juga dapat dia manfaatkan sebagai penawar mulutnya yang kecut karena tidak merokok.
“Kok ambil permennya banyak sih? Yah jadi tinggal dua deh permenku!” ekspresi wajahnya yang spontan masih memperlihatkan sisa-sisa tanda kekanakkan Nadhien,
“Gitu aja marah Non, nih ku kembalikan lagi permennya,” terkadang Raya menikmati tingkah laku Nadhien yang tidak dapat menutupi manjanya pada sisi lain kedewasaannya.
“Cuma satu dibalikinnya. Iih jahat!” Raya tidak dapat mengelak dari cubitan yang mengarah pada bagian lengan.

Dokter Widjaja dan asistennya berjalan menuju pintu ruang bedah mayat, Nadhien harus menghentikan serangan cubitannya kearah Raya, dia tidak ingin pamannya melihat keakraban dirinya dengan Raya. Semua orang yang berkepentingan berkumpul didepan pintu sebelum memasuki ruangan itu, kecuali keluarga korban yang tidak hadir hari ini. Dokter Widjaja menyapa semuanya membuktikan kesan ramahnya sebagai `tuan rumah` dan mempersilahkan masuk. Tangannya mencegah Nadhien untuk tidak masuk kemudian berbisik, “Baru satu hari, kok sudah akrab ya?” sebelah matanya berkedip menggoda emosi keponakan tercintanya itu, Nadhien hanya cemberut tidak dapat mengelak. Keakraban Nadhien dengan pamannya ini pernah membuat iri Ayahnya yang jarang bertemu karena kesibukannya, terlebih Dokter Widjaja tidak dikarunia anak maka perhatian dan kasih sayang yang diberikan layaknya terhadap anaknya sendiri.

Dokter beserta asistennya dan tambahan satu asisten ahli toksikologi memulai proses otopsi mayat korban. Kecurigaan Dokter Widjaja terhadap temuan buih dan bekas muntahan berwarna hitam pada rongga mulut dan bibir korban telah dikemukakan terhadap rekan kerjanya yang lebih mengetahui segala permasalahan seputar ilmu mengenai racun. Begitu mendengar penjelasan dari Dokter Widjaja mengenai temuannya itu, Dokter Ferryal begitu antusias dan segera menyepakati untuk membantu proses ini. Dia telah banyak membantu pihak Kepolisian dalam mengungkap kasus pembunuhan yang diakibatkan oleh racun yang masuk kedalam tubuh korban.

Reputasi dokter yang terbilang muda ini cukup gemilang, namanya mulai dikenal oleh masyarakat umum ketika menangani kasus pembunuhan aktivis HAM yang ditemukan meninggal dunia dalam pesawat terbang akibat racun arsenic yang diketemukan dalam tubuh korban masuk melalui minuman. Efek arsen akan berakibat fatal, hanya dengan 150mg saja dapat mengakibatkan kematian. Terdapat dua karakter yang menggambarkan efek fatal arsenic, yang pertama seseorang dapat meninggal dunia beberapa hari setelah racun arsen masuk kedalam tubuh dimana penyebab kematiannya adalah adanya kegagalan fungsi organ dalam tubuh atau Hepatorenal failure dan yang kedua yaitu efek yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

Sementara dalam kasus terbunuhnya aktivis HAM tersebut dimana korban diketemukan meninggal dunia dalam pesawat terbang menandakan kuatnya racun arsenic yang masuk dalam tubuh bisa jadi melebihi dosis minimum lethal dose sebesar 250-300mg yang akan mengakibatkan korban menjadi shock dan adanya kegagalan kardiorespirasi. Kali ini Dokter Ferryal akan diuji ketelitianya dalam menggungkap akibat kematian pada korban yang menurut hipotesa awal Dokter Widjaja kemungkinan diakibatkan racun Sianida.

Nadhien sebagai mahasiswa observer terlihat begitu antusias begitu mengetahui adanya kemungkinan ini sementara temannya belum juga hadir diruang ini, Raya tak kalah tertarik akan hal ini. Pengetahuannya mengenai ilmu racun nantinya tidak hanya sebatas mendapatkan informasi melalui situs pribadi kawan-kawan sesama pencinta dunia forensik dalam dunia maya tapi kali ini dia mendapatkan tentor langsung dari ahlinya terlebih pada kasus kematian seseorang. Masih kuat ingatannya seputar toksikologi setelah dia mendapatkan kiriman artikel mengenai macam-macam racun ini melalui email dari kawannya yang kuliah pada jurusan Kriminologi UI. Sianida merupakan salah satu racun dengan paling berbahaya selain racun Antimony Potasisium Tartrafe yang berwarna keputihan – keputihan dimana unsur logam ini biasa digunakan sebagai campuran pembuat obat untuk pengemas campuran logam dan Thallium yang biasa digunakan untuk membunuh tikus.

Kedua dokter senior ini mulai bekerja dengan panduan dari pengalaman masing-masing. Dokter Widjaja mulai membuka mulut korban dan mengambil sample cairan mulut menggunakan swab sementara Dokter Ferryal melakukan observasi hasil swab tersebut. Dokter Feryyal memberikan tanda sepakat atas hipotesis awal Dokter Widjaja dengan bahasa tubuhnya.
“Bagaimana Dok?” Dokter Widjaja mendekati Dokter Ferryal
“Sebagaimana kita ketahui bahwa Sianida hanya bereaksi sebagai Hidrogen Sianida bebas dan oleh karena itu garam-garam yang ditelan perlu untuk bertemu baik dengan air maupun asam lambung sebelum membebaskan asam Hidro-Sianida, maka untuk memastikan hal ini kita perlu untuk melakukan pembedahan pada bagian lambung mayat.” Sorot matanya pasti menatap Dokter Widjaja.

Dokter Widjaja memberikan instruksi kepada asistennya untuk mempersiapkan semua keperluan bedah, prosedur yang biasa dilakukan dalam analisis toksikologi jika ada temuan ciri-ciri racun maka perlu diambil sample dari darah, urin, isi lambung dan liver. Pisau bedah mulai memotong jaringan kulit mayat dengan posisi antomis, menembus bagian otot, mulai terlihat bagian dalam perut korban. Raya harus menahan isi perutnya yang mendadak bergejolak, kesadaran terus memotivasi dalam dirinya agar kuat menghadapi ini semua, satu permen jahe dikulum kembali. Empat meter dari meja bedah cukup bagi Raya untuk melihat secara detail pembedahan yang sedang dilakukan.

Dokter Ferryal mengangkat bagian lambung dipisahkan pada alat khusus, sebelum dilakukan pembukaan terhadap isi lambung, dia memberikan peringatan kepada semua yang ada dalam ruangan akan kemungkinan bahaya menghirup racun hidrogen sianida dari isi perut mayat karena karakter dari racun ini bisa saja tidak tercium oleh hidung, hanya beberapa orang dengan genetika tertentu saja yang dapat mencium bau itu. Perlahan bagian luar dari lambung itu dicuci dengan air mengalir, dibutuhkan ketelitian bagi Dokter Ferryal ketika melakukan pemotongan kecil pada kurvatura mayor. Dokter Widjaja mempersiapkan tempat untuk menyimpan lambung yang telah terangkat sementara sample organ tubuh lainnya kemudian ditaruhnya di bawah meja pemeriksaan.

Proses pemeriksaan kali ini Dokter Widjaja menyerahkan sepenuhnya kepada dokter muda juniornya itu, kesempatan adalah hak semua angkatan muda dan bagi yang telah berpengalaman adalah kewajibannya untuk memberikan kesempatan itu, prinsip hidup ini yang membuat Dokter Widjaja terlihat bersahaja dimata rekan-rekannya. Kurvatura mayor dibuka lebar oleh Dokter Ferryal, potongan di mulai dari cardia ke pylorus sepanjang kurvatura mayor melewati pylorus disekitar duodenum sampai ditemukan titik temu. Penuh hormat meminta Dokter Widjaja untuk mencuci setiap lapisan yang akan diperiksa, sementara Dokter Ferryal dengan teliti memotong kandung empedu dan memisahkan untuk menjadi sample yang akan diperiksa berikutnya. Isi lambung dikeringkan untuk anilisis substansi yang melekat pada lambung kemudian melakukan reaksi kimiawi.

Raya mendapatkan sedikit penjelasan dari Nadhien dengan memperlihatkan buku pegangannya, buku itu terlalu berat untuk dipegang sehingga memerlukan mereka untuk mundur sedikit dan duduk pada kursi. Pintu ruang bedah tiba-tiba terbuka, Frans, mahasiswa observer itu terlihat panik karena telat. Nadhien hanya memberi kode dengan gelengan kepalanya, terlihat ekspresi wajah gugup dan keringat membasahi dahi mahasiswa ini. Frans khawatir mendapatkan penilaian kurang baik dimata Dokter Widjaja karena dia paham dosennya itu sangat menghargai waktu. Langkahnya ragu mendekati kedua dokter yang tengah serius meneliti sample, berjalan menuju meja mikroskop kemudian menoleh sejenak kebelakang berharap dukungan dari temannya sesama observer tapi Nadhien terlihat serius berbicara dengan Raya.

Frans masih belum dapat memberanikan dirinya untuk meminta maaf atas keterlambatannya hari ini, dihadapannya hanya kedua punggung dokter yang tenggelam dalam dunia renik. Keputusan diambilnya untuk menunda permohonan maaf karena dia tidak ingin mengganggu konsentrasi mereka kemudian menuju kursi tempat Nadhien dan Raya duduk, tapi perhatiannya tertuju pada mayat korban yang telah dibedah. Rasa penasaran merambat dalam dirinya dan sedikit penyesalan melewatkan kesempatan berharga, bagian perut korban yang belum tertutup dia perhatikan dengan mata telanjang kemudian beralih kepada sample lambung yang masih menganga, merogoh saku mencari kacamata untuk dapat membantu kekurangan kemampuan visualnya tapi sial, kacamatanya pasti tertinggal di dalam mobilnya karena terburu-buru menuju ruang bedah tadi.

Pandangan Frans yang kabur menjadi semakin buram saja bahkan apa yang dia lihat menjadi berbayang seperti melihat dua objek yang sama, sama-sama tidak fokus. Keringat dingin semakin deras keluar dari pori-pori dahi dan hampir sekujur tubuhnya. Keseimbangan tubuhnya menjadi goyah ketika menjauh dari sample itu dia mulai merasakan kejanggalan dalam tubuhnya yang menjadi lemah, kata-katanya yang ditujukan kepada Nadhien, yang masih asyik berdiskusi dengan Raya, tak dapat keluar dari mulutnya kemudian jatuh tak berdaya menimpa meja yang penuh dengan peralatan bedah yang menimbulkan suara berisik memecah konsentrasi.

Dokter Widjaja, Dokter Ferryal, Nadhien dan Raya segera mendekati Frans yang pingsan. Cekatan Dokter Ferryal memeriksa tanda-tanda vital dalam tubuh Frans kemudian memberikan instruksi pada Raya agar mengangkat tubuh Frans menjauhi sample organ tubuh penyebab hilangnya kesadaran Frans. Dokter Widjaja menghubungi lewat telepon yang terhubung ke bagian UGD. Perawat yang hadir didepan ruang bedah mayat tengah mendengarkan perintah dari Dokter Ferryal untuk memberikan informasi penting bagi penanganan medis terhadap Frans dan memberikan indikasi bahwa korban telah menghirup uap racun sianida dari isi lambung korban akibat kecerobohan korban yang berada terlalu dekat dengan sample lambung yang terkontaminasi sianida, diperparah lagi tanpa menggunakan masker. Keadaannya bisa kritis jika tidak cepat ditangani sesuai petunjuk Dokter Ferryal tadi.

Nadhien berharap cemas akan keadaan temannya sementara Raya terduduk lemas di bangku depan ruang UGD. Dia teringat kembali kejadian sewaktu identifikasi korban di lokasi TKP, jika saja saat itu Dokter Widjaja tidak cepat mencegah Raya maka kemungkinan dirinya akan mengalami hal serupa. Keduanya terduduk lemas dibangku panjang itu saling memandang satu sama lainnya, entah apa yang ada didalam benak mereka. Dering handphone menyadarkan pemilik kedua pasang mata itu, Nadhien mengangkatnya.
”Dokter Widjaja bilang pemeriksaan akan dilanjutkan setelah makan siang,” Nadhien melihat jam tangannya.
”Kita masih punya banyak waktu sebelum kembali ke ruang bedah, mungkin Mas Raya bersedia temani aku kekantin?” Nadhien memberikan tawaran kepada Raya yang masih terduduk lemas.
”Sudahlah Mas, gak usah terlalu dikhawatirkan, Frans sudah ditangani kok.” Nadhien belum juga mendapatkan jawaban atas tawarannya. Seolah ada bongkahan ungkapan yang tersangkut dalam kerongkongan Raya. Ekspresi gamang ini tertangkap oleh perasaan Nadhien.

”Kok, diam aja Mas. Ada apa?” suara lembut Nadhien perlahan melumerkan bongkahan itu, terbata-bata potongan kata-kata keluar dari mulut Raya.
”Aku bisa saja mengalami apa yang terjadi terhadap Frans waktu itu Non,” wajahnya masih menunduk
”Aku belum mengerti maksud pembicaraan Mas Raya?”
”Ya, bisa saja aku mengalami kondisi kritis itu Non, untung saja Dokter Widjaja menyelamatkan saat aku berada terlalu dekat dengan mulut korban ketika pertama kali diketemukan,” getir suara Raya diredam oleh usapan lembut tangan Nadhien pada bahu Raya yang masih tertunduk. Ada sensasi getaran aneh merambat halus menyentuh perasaan Raya ketika tubuhnya tersentuh Nadhien, ada kedamaian yang telah lama tidak dirasakannya.

Ah pemuda ini terkesan kokoh dari penampilan luar tapi begitu rapuh di dalam itu, Nadhien mengambil kesimpulan singkat yang sepihak berdasarkan pengamatan yang baru saja dihadapi terhadap sosok Raya. Tawaran Nadhien tadi dengan sopan ditolak Raya dan memberikan tawaran lain menuju tempat lain asalkan di luar lingkungan RSUP Sardjito untuk menghabiskan waktu menunggu pemeriksaan lanjutan. Nadhien memberikan opsi lain tapi tidak memberitahukan lokasi tawaran itu.


***

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!