Selasa, November 24, 2009

Jalan Lantang ke 3


Berkas-berkas cahaya kembali terlihat, seperti tersesat dalam padang pasir tak berujung kemudian melihat oase dihadapan, Lantang berlari mengejar menuju asal cahaya tujuannya. Dimensi absurd ini masih juga belum menyadarkan dirinya, asal cahaya yang terlihat tak juga kunjung dia capai. Sekali lagi Lantang bertumpu pada lututnya tak berdaya sekalipun tak merasa lelah sama sekali namun dia merasa jengkel seolah dipermainkan oleh dimensi ini. Kedua pahanya basah oleh tetes airmata, baru kali ini airmata itu kembali menetes semenjak dia dikhitan, baginya anak yang telah dikhitan telah melewati masa kanak-kanak maka pantang baginya menitikkan airmata setelah itu.


Bola matanya yang masih terselimuti air mata samar melihat berkas cahaya dekat sekali dihadapannya, hanya berjarak satu pahanya. Kaki tak beralas, coklat tua, ornamen body painting natural menghiasi kaki itu. Serupa tulang ular mulai pangkal kaki keatas terus ia ikuti jejak natural body painting, yang terbuat dari getah pepohonan dan proses tanpa bantuan dinamo kecil berlistrik dari batu batere, tidak pula menggunakan jarum logam, sejenis duri atau mungkin tulang binatanglah media yang digunakan untuk membentuk pola itu. Pemilik tato berdiri tenang dengan rambut lurus panjangnya yang terikat ayaman tali rami. Badan kurus berwarna coklat tua itu dia kenali.


Rimata Kariasanu, sosok tenangnya tak dapat dilupakan, hutang nyawa baginya tak mungkin dapat hilang dalam memori bututnya, jika saat itu Rimata Kariasanu tidak sedang berburu, dapat dipastikan Lantang mati tak dikenali di tengah hutan belantara. Saat ditemukan badan Lantang menggigil tapi kaku, warna kulitnya menjadi pucat bahkan hijau lebih dominan, dua lubang kecil di bagian betis kirinya yang menyebabkan kondisinya melemah. Entah kemana perginya melata pembuat dua lubang kecil pada betisnya itu? Lantang pun tak tahu ular jenis apa yang menggigitnya sementara dia tertinggal jauh dari rombongan pecinta alam yang melakukan ekspedisi menuju suku Mentawai. Rimata Kariasanu cepat bertindak, dihisapnya bekas lubang kecil itu, disemburkan darah dari dalam mulutnya, tiga kali Rimata lakukan, setelah yakin dilepasnya kulit pohon yang dia jadikan sebagai busur untuk mengikat pangkal betis, kemudian menghilang dilebatnya hutan membawa Lantang.


Huma besar itu terkesan lenggang, hanya ada asap memenuhi hampir sebagian rumah besar adat suku Mentawai ini. Rimata Kariasanu hanya seorang diri dalam huma, seluruh keluarganya bahkan sebagian besar anggota sukunya punah akibat terjangkit penyakit aneh. Rimata merasakan panas dan gatal tak tertahan pada seluruh tubuhnya yang bertaburan benjolan kecil berwarna merah. Tak kuat menahan Rimata berlarian tak tentu arah kemudian menceburkan diri kedalam sungai yang hampir kering, hanya lumpur yang ada. Tiga hari tak sadarkan diri terendam dalam lumpur.


Lantang mendengarkan dengan takzim cerita Rimata Kariasanu, kepala keluarga dalam huma besar, meskipun mereka berdua hanya menggunakan bahasa Tazan, beruntung Lantang memahami inti cerita itu berkat gerak tubuh Rimata dalam menjelaskan ceritanya.


***


Pundak Lantang tersentuh dengan lembut, kini dia temui lagi sosok penyelamat dirinya dalam dimensi antah-berantah ini. Badannya semula terduduk lemah, mulai merasakan ada sesuatu yang merambat menjalari seluruh tubuhnya setelah tersentuh Rimata. Ada aliran energi hangat berasal dari telapak tangan sosok di hadapannya, Lantang masih tercengang.


”Berdirilah, kau laki-laki harus tangguh, dimanapun alam yang kau hadapi. Kau ingat pohon sagu yang pernah kita tebang untuk kita ambil sagunya? Bukankah pohon itu tumbuh kokoh pada pada tepi rawa berlumpur, batang itu menjadi besar meskipun penopangnya hanya lumpur lembek. Namun yang terpenting dari batang kokoh itu dapat memberi kehidupan, tegarlah Lantang, hadapi semua bentuk perjuanganmu karena kehidupanmu masih berguna!”


Tambah lagi keheranan Lantang, selam tiga minggu lebih dia tinggal bersama Rimata tak pernah ia pahami dengan jelas kata perkata yang terucap, hanya perkiraan belaka, bahkan sampai pada saat tim SAR menemukannya dan membawanya pulang tetap tak dia pahami sebait kalimat yang diucapkan Rimata berulang-ulang ketika helikopter penjemputnya mulai terbang yang ia yakini; sampai berjumpa lagi, mungkin.


”Tepat dugaanku pada saat terakhir kali kita berpisah, kita akan bertemu lagi walau dalam dimensi berbeda. Disini tidak ada pohon sagu, burung ataupun kijang yang kita buru seperti di Mentawai dulu, kita bertemu lagi. Kau belum layak ada disini Lantang, alur hidupmu masih panjang, belum lagi kau atasi kerumitan tali nasib, sekarang kau sudah ada disini. Kau harus kembali Lantang...”


Lantang masih belum bisa menemui jawaban misteri dihadapannya. Rimata Kariasanu melepaskan bandul di lehernya, dipegang erat telapak tangan kiri Lantang. Berdua mereka menggenggam bandul yang sama, cepat bergetar lengan mereka yang bergenggaman, kilatan plasma keluar dari arah bawah bersulur panjang berwarna putih perak, terang, menyilaukan.



..bersambung ke Jalan Lantang 4







1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!