Selasa, November 24, 2009

Jalan Lantang ke 4

Bola matanya bereaksi ketika senter kecil diarahkan pada bola mata sebelah kanannya. Kedua matanya membuka lemah, samar-samar terlihat sosok putih dihadapannya, menjadi semakin jelas dan yakinlah Lantang bahwa dihadapannya adalah dokter yang sama menangani Percil. ”Selamat anda telah melewati masa kritis tapi anda harus banyak beristirahat terlebih dahulu sampai kondisi betul-betul pulih” terlihat kesan bangga campur haru pada raut wajah dokter muda itu.


”Percil...dimana Percil?!” kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulutnya, terasa perih, kering, suaranya terdengar parau. Seorang perawat menyuguhkan segelas air putih, habis dalam satu tegukkan. ”Bapak tenang saja, tidak perlu khawatir, bocah itu selamat kok. Percil sekarang berada di bangsal Shofa, sedang istirahat.” Lembut suara perawat ini, manis pula wajahnya, mungkin berusia dua puluh dua tahun.


”Bapak sekarang berada di bangsal ICU setelah delapan hari tak sadarkan diri, jadi bapak jangan banyak pikiran dulu, kalau perlu sesuatu tekan saja tombol ini, Insya Allah saya datang. Jangan lupa banyak berdoa agar bapak cepat sembuh karena hanya Allah yang menyembuhkan ketika kita sakit. Permisi, saya harus ke bangsal lain untuk mengganti infus pasien lainnya. Semoga cepat sembuh, Assalamualaikum.” Damai rasanya mendengarkan suara gadis manis berjilbab itu.


Dasar Lantang pemberontak, baru saja diberi anjuran untuk tidak banyak memikirkan hal yang berat, otaknya sudah berontak, dalam benaknya muncul kembali perkataan perawat tadi `hanya Allah yang menyembuhkan kita ketika sakit` ..... Allah..... betapa aku telah lama melupakan penciptaku. Lantang mencegah perawat itu, memaksa agar dipindahkan pada bangsal yang sama dengan Percil.


Sepanjang lorong dari bangsal ICU hanya dominan warna putih yang Lantang lihat, pakaian seragam perawat berwarna hijau dan aroma karbol yang menguap dari lantai, nuansa khas rumah sakit. Pagi hari ini masih sepi, pengunjung belum diperbolehkan masuk dalam lingkungan rumah sakit milik salah satu yayasan berbasis agama Islam ini. Bangsal Shofa terbuka, belum sempat Lantang mencari bocah dekil itu tiba-tiba sebutir jeruk berwarna kuning terang melayang dan mendarat tepat di perutnya, hampir saja terkena bekas jahitan luka. Percil berlari mendekat, sementara perawat kedua bertampang kecut mencegahnya.


”Bang kemana aja sih? Kok lama betul semaputnya! Manja nih, begitu muncul kok didorong oleh suster cantik dan suster monster!” ceplas-ceplos gaya khas Percil inilah yang dirindukan Lantang, suster yang diberi gelar cantik semakin menunjukkan senyum manisnya sementara perawat yang diberi gelar monster oleh Percil semakin memperlihatkan taring panjangnya. Percil bersembunyi dibalik perawat cantik mencari perlindungan.


Pelayanan Kesehatan Umum milik Muhammadiyah yang berlokasi di pertigaan Jalan Bayangkara dan Jalan Ahmad Dahlan ini mulai ramai dikunjungi penjenguk yang berdatangan membawa rantang makanan mungkin berisi soto Taman Sari atau gudeg kendil Wijilan, sekeranjang buah-buahan dan segenap harapan agar kerabatnya hari ini dapat sembuh dan segera pulang karena semakin lama pasien dirawat maka biaya pengobatan akan semakin membengak.


”Cil, kamu sudah sehat toh? Berapa lama kita masuk PKU ini Cil? Hebat juga kamu Cil masih hidup, aku kira wis modar kowe ki! Nduwe nyowo piro toh?” Lantang terkekeh geli melihat respon Percil. ”Bajigur! Berarti Abang kepingin aku mati toh, enak wae!” kali ini apel merah itu melayang dan hampir mendarat di jidat Lantang. ”Eh Cil, ini apel, jeruk terus susu kotak semua ini dari siapa Cil? Jangan-jangan kamu ngutil dari kamar sebelah ya?” ringan sudah canda Lantang dan Percil dengan gaya bahasa `waton njeplak` karakter khas mereka yang terbiasa hidup dijalanan.


”Enak aja ngutil! No way! Gengsi dong! Ini dari mbak Damai, dia tadi kesini Bang. Sebenarnya sih dari hari pertama tapi tiap kesini pasti nangis, abis gak boleh masuk ruangan ICU, tapi kalo dengan aku pasti ketawa terus. Siapa dulu... Percil!!” senyumnya meriah, ada sedikit perubahan dalam diri Percil terutama giginya tidak lagi sekuning dan sebau seperti biasanya, pasti perempuan bernama Damai itu merawat Percil dengan telaten. ”Siip Cil! Besok kamu gantiin Gogon di Srimulat ya, soalnya dia mau pensiun tuh, oke!” Percil langsung turun dari ranjang hanya untuk menirukan gaya khas Gogon. Badannya yang hitam keling banyak ditutupi perban putih, hampir mirip dodol Garut.


”Sekarang Mbak Damai kemana Cil? Kok gak ada, jangan-jangan masih nangis bombay di depan ruang ICU! padahal aku kan sudah pindah kesini.” Dalam hati Lantang ada juga rasa rindu begitu mendengar Damai ada disini. ”Mbak Damai bilang sih mau mandi dulu, tadi abis solat subuh pamit, nanti kesini lagi sekitar jam sepuluh. Tau gak bawa apa nanti?” Percil menggoda Lantang dengan tebakan yang sebenarnya mereka berdua mengetahui jawabannya.


”Burjo dan roti tawar!!” mereka berdua serempak menyebutkan yang akan dibawa oleh Damai. Bubur yang terbuat dari kacang hijau (burjo) dan roti tawar adalah menu sarapan favorit mereka bertiga yang biasa disantap di warung burjo milik Aa Ipit khas Kota Kuningan. Hampir setiap pagi mereka sudah nongkrong di warung kecil yang berada di Jalan Wirobrajan, seberang kampus dekat galeri seniman besar Jogjakarta milik Amri Yahya.

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!