Selasa, November 24, 2009

Jalan Lantang






Bajin#@*%**n!!! Ayo sopo meneh sing wani? Ayo maju, ass#*! Nek wani ojo seko mburi, karo `cah cilik meneh, juanc*k!” gelegar teriakan lantang dan menggema di sepanjang Jalan Pajeksan dini hari itu seolah tidak dapat berhenti menggetarkan nyali siapa saja yang kebetulan berada di sekitar daerah Pajeksan. Aroma sisa lapen -alkohol racikan khas Jogja, yang seharusnya menguap namun tertahan oleh udara dingin bahkan berubah menjadi embun di sepanjang trotoar dan aspal. Pajeksan dini hari itu tidak lagi seramai malam tadi.



Usaha Kang Jasbo, dedengkot wilayah Pajeksan yang memiliki wajah mirip dengan Sawung Jabo menjadi sia-sia, tak mampu menahan emosi Lantang yang telah melampaui batas kemarahannya. Wirog dan kecoro saja takut untuk muncul dari celah selokan-selokan bawah tanah, parang sepanjang 140 sentimeter berkilau dengan tambahan motif karat yang tercipta dari darah kental mengering, sudah banyak korban yang harus menyerah pada ayun dan kelebat pedangnya yang terbuat dari besi tempa suspensi mobil truk yang terjungkal masuk jurang saat membawa sayuran di daerah Gunung Kidul. Entah sudah berapa korban, baik mati karena luka sayat panjang hingga terkena organ vital atau mungkin korban kemudian mati akibat infeksi yang disebabkan karat pada bilah besi panjang ini. Belum termasuk anjing-anjing kampung, darahnya juga turut memberikan corak karat disitu, sementara dagingnya ludes menjadi santapan alternatif ditemani alkohol, masuk kedalam perut, mencipta desir darah semakin panas.



Erangan panjang, diburu napas pendek dan berat mengantarkan Percil masuk kedalam dunia bawah sadar, Percil pingsan bersandar pada pagar besi. Seolah tak masuk akal bagi tubuh sekecil itu memiliki pasokan darah yang lumayan banyak namun sia-sia tumpah membasahi aspal, satu lagi cairan turut memberi kesan hitam aspal keras karena hidup memang keras. Sejauh lima puluh meter Lantang berlari kearah Percil, dihempaskan pedang itu, melenting beradu pagar besi, cukup kiranya dini hari itu tiga korban terkapar. Lantang terus berlari mendekap Percil, tak perlu lagi ditanyakan keadaan diri Percil. Lebih cepat lagi dia berlari seolah tidak membawa bobot seberat 30 Kg, tubuh mungil itu tidak lagi jelas berwarna hitam keling, taburan panu di beberapa bagian tubuhnya dan tattoo naga menyemburkan api dari mulutnya menjadi hilang kegarangannya tertutup warna merah darah yang mengalir dari luka di punggung Percil yang menganga lebar, pemilik tubuh mungil itu berharap pasrah.



Dua menit tiga puluh detik waktu yang dibutuhkan Lantang menempuh jarak Pajeksan hingga Rumah Sakit PKU, dalam batin Lantang bukan lagi Vodka 40% dengan campuran Kratingdaeng yang membuatnya mampu berlari secepat itu, melainkan darah panas Percil yang menjadi cambuk bagi seluruh sel dalam tubuhnya agar cepat melakukan kontraksi motorik bagi otot betis dan pahanya, hasilnya Lantang mampu berlari cepat sekali demi menyelamatkan bocah kecil dalam dekapannya itu.



Masuk kedalam halaman parkir, Sapto, juru parkir rumah sakit itu secara spontan membanting motor yang sedang dia susun rapi berjajar setelah melihat Lantang yang berlumuran darah. Menahan pintu masuk terbuat dari kaca agar kawannya ini dapat masuk. Tidak lagi dihiraukan Satpam penjaga rumah sakit, terlebih muka sinis petugas administrasi yang dalam bahasa diamnya saja sudah berteriak berapa banyak uang yang anda bawa sekarang. Tangan kanannya menghempas Satpam bertubuh kekar dan berkumis lebat, sementara lengan kirinya seolah tidak ingin melepas tubuh cilik yang bersandar pada bahunya, tak akan dilepas kecuali dokter UGD sudah siap untuk menangani tubuh Percil yang kritis.



Menyusul masuk Satpam yang kemudian diketahui namanya Kuat Warsito, tertera jelas bordiran huruf yang merangkai namanya pada seragam putih itu. ”Hooii Mas daftar dulu kalau ma..” Pukulan mantap lengan kanan Lantang bersarang pada rahang Kuat Warsito yang tak lagi kuat menahan serangan cepat itu, tersungkur setelah menabrak salah satu kursi roda di ruang UGD dan semaput. Melihat kekacauan, petugas paramedik dan dokter jaga cepat mendekat, itupun setelah teriakan Lantang menggema, memangil siapa saja yang dapat dipercaya untuk segera menangani Percil. Sebelah ranjang yang terpisah kain hijau, mengerang seorang perempuan kira-kira berusia 25 tahun sementara sosok suaminya terlihat lebih gugup, mukanya pucat, rambutnya semrawut mengesani umur jauh lebih tua, gemetar tidak dapat melakukan apapun selain menggenggam erat telapak tangan istrinya, sudah saatnya melahirkan dini hari ini tapi belum juga ada dokter yang menangani.



Tenang melangkah tubuh tegap, muda, putih, berkacamata, terlihat lebih putih lagi dengan jas yang dikenakannya. Dokter Bandi Tampubolon, semoga tak salah dalam batin Lantang membaca nama dokter peranakan sumatera utara itu, semoga bukan BANDIT berbaju putih orang yang berdiri dihadapannya ini. Lantang menarik lengan dokter muda itu, masih saja dengan ringannya dokter muda ini berulangkali mengucapkan tenang... sabar...tenang saja, ingin rasanya kepalan tangan Lantang turut mampir di salah satu bagian tubuh dokter muda, tapi tidak, seolah darah Percil yang cepat mengering itu mencegah dan berkata, `percayakan raga ini padanya, sampai disini dulu perjuanganmu kawanku, abangku yang perkasa..`



Sprei berwarna hijau pada ranjang tempat tubuh lemah Percil sulit dikenali lagi warnanya, darahnya bukanlah warna yang sedang disapukan pada kanvas hijau oleh seorang pelukis, masih juga mengalir darahnya. Setidaknya ada empat luka mengangga pada punggung tubuh si bocah akibat menjadi korban tusukan bayonet milik preman tengik yang memaksa Percil menjual ganja milik mereka, penolakan Percil memposisikan dirinya menjadi korban. Tajam pandangan mata Lantang mengikuti setiap gerakan dokter muda, seolah menjadi dokter senior yang tengah mengawasi dokter baru dalam menangani operasi kecil sebagai prasarat kelayakannya menangani pasien.



Lantang masih berdiri di samping tubuh bocah kritis walau berkali-kali perawat mengusulkan untuk duduk di bangku tunggu, cukup dengan isyarat tatapan mata yang menyempit tajam, perawat itu kembali surut beberapa langkah kebelakang. Datang lagi satu perawat, lelaki kali ini juga berniat memperingati Lantang, namun gertakan Lantang cukup menyibakkan ujung kaosnya hingga nampak sebilah rencong berwarna hitam, souvenir yang dia dapatkan tertancap di perut pemiliknya ketika duel dua tahun lalu. Tak perlu diucapkan secara verbal, gerakan Lantang tadi sudah memberi peringatan, jangan sampai rencong ini kembali membuat bisu jiwa yang bersarang pada tubuh hanya karena banyak omong, perawat itu perlahan bergeser mundur, seolah ada tugas lain yang harus dikerjakan.



Entah berapa lama Lantang berdiri di samping Percil, rasa lelah mulai menyerang tubuhnya, berjalan gontai menuju sebuah pojokan, terduduk lunglai, suara terakhirnya tetap saja keras, “Jangan kau tutup tirai itu! Aku akan tetap mengawasi kalian, awas jangan macam-macam!!” terasa napas pendeknya panas memburu, sebentar pandangannya goyah, citra yang terlihat terpecah menjadi dua berbayang. Digelengkan kepalanya dan memaksa matanya agar tetap terbuka, berkali-kali, hawa panas tubuhnya semakin surut menghantarkan rasa kantuk maha dahsyat. Alam pikirannya cepat memutar memori tepat pada setting kejadian tiga tahun lalu, ketika pertama kali Lantang menemukan Percil dini hari pukul 2.30.



...bersambung ke Jalan Lantang 1 <<---- silakan klik


-Jogjakarta, Medio 2003-

2 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!