Sabtu, November 21, 2009

Warna Senja Drupadi (Dua kepala.. dua jiwa.. melebur dalam satu tulisan)




"Mak, doakan aku mak!" sujud takzimku diantara kedua lutut bundaku yang masih berbalut daster batik. "Pasti nduk... coba lihat sebentar. Ayu! kamu memang cantik Nduk! aihh.. lelaki mana yang tak akan tunduk pada bibir lembut ini" Emak telaten membersihkan sapuan gincuku yang melewati batas bibirku, sengaja malam ini kupakai warna gincu menyerupai senja dari belasan koleksi gincu milik Emak, karena saat senjalah aku bukan lagi diri yang lahir dalam bentuk ini, aku harus berubah.




"Loh kok malah nangis nduk? senyum anakku cantik karena senyummu dapat mengobati hati para lelaki yang tengah patah hati atau pening setelah menghadapi beban kerja. Berangkatlah anakku, Drupadi…" Emak tak lupa memberikan beberapa tetes cairan dari botol transparan kecil tepat di keningku, tak perlu kutanya apa gunanya, lewat senyuman pasti Emak, aku sudah mengetahui jawaban itu.Berbekal tas kulit yang sewarna dengan sepatu hak tinggi, Aku, Drupadi memulai dini hari ini dengan melemparkan kaki-kaki berbalut stocking warna gelap. Sempat kulihat pada wajah Emak, namun ia bergegas menunduk dan pergi.





Seperti biasa becak pak Pono sudah menanti didepan pagar halaman. Pak Pono selama ini selalu setia menggendong tubuh sintalku menuju sebuah tempat dikawasan jantung kota Jogja. Bangunan-banguna tua nan kokoh, orang bilang disitu gudang uang sementara kami keparat mencari recehan tepat di taman berbau pesing, hanya berjarak sejengkal saja depan gerbang gudang uang republik ini. Di seberang sana, benteng Vredeburg tak kalah kokoh menjadi benteng pertahanan hidupku. Aku... Drupadi.




Ya, akulah Drupadi! Aku rela menantang kontruksi sosial. Aku ingin berontak dari kungkungan pranata sosial, bukan sekedar keinginan semata, tatanan sosial pula yang menciptakan Drupadi ini. Aku, Drupadi yang akan menikahi semua lelaki perkasa. Tak hanya Yudhistira, Bima, Arjuna atau si kembar Nakula-Sadewa. Aku, Drupadi yang akan membuat seluruh kesatria yang terjun ke medan laga Kurusetra merasakan rasa damai dalam pelukanku dan gincu berwarna serupa senja ini yang kan memberi gelora hidup setelah para kesatria itu lelah dan terluka sepulang berperang.
Aku, Drupadi yang akan membuat kalian lupa akan rasa berdosa karena telah membantai musuh. Drupadi inilah yang akan mengobati luka perang akibat panah, tombak, gada, pedang milik musuh yang sempat menyentuh kulit kesatria, dengan kecupan bibir lembut berbalut gincu berwarna senja ini.





Aku, Drupadi, selalu siap membelai kulit penuh memar dari para ksatria yang mendatangiku. Kubaluri luka-luka dengan jampi-jampi goyangan markesot, lewat sekulum senyum bibir bergincuku, aku mulai "mendongeng" membawa lutut ksatria yang mendatangiku untuk rela tertekuk di pangkuanku. Sambil terus "menari" aku menarik imaji kesatria tangguh namun berhati rapuh, dalam benak aku tersenyum sambil terus berpikir, siapakah yang sebenarnya pecundang.

Drupadi satu ini jelas bukan Banowati! Aku tak akan terkelupas bahkan kulit tertipisku ini sekalipun. Berjuta Dursasana yang mencoba menguliti jati diriku tak kan mampu membuka siapa aku sesungguhnya. Aku bukan Banowati yang harus menipu orang lain hanya karena ingin bercinta dengan seorang Arjuna. Drupadi inilah yang akan terang-terangan akan bercinta dengan ribuan kesatria masa kini yang telah lelah menghadapi perang sesungguhnya dalam hidup mereka masing-masing.


Seorang lagi pemuda ragu mendekatiku. Aku paham betul, lelaki satu ini pasti kesatria baru dalam medan percintaan. Mungkin mahasiswa yang belum lihai dalam percintaan. Kudekati, tubuhnya bergetar dapat kuketahui lelaki ini perlu perlindungan dan sentuhan perempuan, asap rokoknya selalu dihembuskan membentur tanah, kacamata tebal dan jaket lusuhnya semakin memperkuat stigma kawan-kawannya bahwa lelaki ini pecundang. Drupadi ini yang akan merubahmu menjadi serupa Bima.

Kuangkat dagunya yang selalu tunduk pada hukum gravitasi, kupercikan gairah keberanian “Mas, percayalah kamu jauh lebih perkasa dibanding temanmu itu” lirikan bulu mata lentikku mengarah kepada sosok pemuda yang berlaga perkasa, asap rokoknya selalu dia hembuskan keangkasa, berlagak menantang langit tapi tunduk dalam buai ketiak kami. Kulepas kacamata itu, baru kuketahui ada letupan amarah dari sorot matanya. Singa ini siap kulepaskan pada gelanggang gladiator, lihatlah Jogja lewat sentuhan Drupadi, pemuda yang kau kecam sebagai pecundang akan berjalan busungkan dada setelah ini. Tunggu saja!

“Jangan..jangan pagi Kau hadirkan biarkan malam terus berjalan. Jangan..jangan mentari Kau terbitkaaannn!!!” Suara lantang Si Inyong dengan gitar kencrungnya , pilu menyanyikan lagu Iwan Fals, kurasakan nadi hidupnya tergores oleh bilah kenyataan, telak mengingatkanku betapa keparatnya malam ini. Seolah kota mati yang dikutuk oleh ancaman radiasi nuklir, begitu senyap, kendaraan pun hanya satu-dua yang melintas, itupun hanya mobil pick up pengangkut sayur mayur menuju Pasar Beringharjo, melintas dari utara membelah kabut sepanjang jalan Mangkubumi yang bisu.


Tersenyum ke arahku penumpang perempuan tua di belakang pick up di antara tumpukan kacang panjang dalam balutan jarik pelindung angin malam yang menghantam tubuh rentanya, sementara belasan batang puntung rokok dengan merk dagang Jambu Bol tandas kupijaki dengan geram di depan pintu perlintasan kereta api, rel ini yang menjadi batas Jalan Mangkubumi dengan Jalan Malioboro, rel ini pula tapal batas kesabaranku.



Mas Don, seniman gondrong itu melambaikan tangannya ke arahku, jalannya terlampau gontay, sudah pasti tak kan menggunakan jasaku yang beberapa bulan ini kerap menjadikanku sebagai pelampiasan derita sejak kekasihnya pulang menuju negara asalnya, beternak kangguru barangkali, selalu itu yang dia racaukan setiap kali kesadarannya direbut oleh Lapen. Rembulan saja enggan menampakan wujudnya, Aku pasrah dalam gelitik gerimis yang membasahi wig a la Krisdayanti, melunturkan make up afkir pada setiap senti wajahku. Kubanting wig ku pada genangan air, baiklah kali ini Kau menang memainkan nasib kami, kepalan tanganku yang membumbung angkas dibalas dengan kilatan petir.


Semakin Kau tunjukan kuasaMu! Ahhh, aku hanya mahluk yang jelas tak diterima dalam kontruksi kesepakatan-kesepakatan manusia yang mengaku beradab, aku pula yang mungkin tak kan diterima oleh bumi mana kala dipendam tubuh hina ini, dimuntahkannya aku kembali pada permukaan, bisa jadi, bisa saja! Dan Kau… ahh, mungkin Kau pun ragu `kan menempatkanku pada barisan mana ketika semua ciptaanMu berkumpul di hampar padangMu.


Diam-diam kugumamkan lantunan lagu tadi pada pojokan gedung bank berwarna biru yang mendominasi ini, sekedar pengusir rasa dingin tanpa sebatang pun rokok yang menjadi penghanggat tubuh ini, setidaknya bibir ini. Drupadi, lihatlah dirimu yang terkapar pada pojokan jalan, ooo… diri yang sering kali menjadi primadona jalanan yang kadang membuat iri para penggoda jalanan berwujud asli karena setiap para tergoda jalanan lebih memilih tubuh silicon ini. Maaf rekan kerja, sudah berulang kali ku sarankan agar kita menggunakan strategi, optimalkan segala kemampuan yang kita punya, mulut ini tak hanya berkemampuan menyedot, menjilat, menggigit gemas atau mengeluarkan erangan belaka.


Mereka para tergoda tak lebih dari seorang bocah yang terjatuh gulali kapasnya lalu berlarian menangis pada ketiak bundanya, merengek minta dibelikan kembali, tak lebih dari itu! Mereka butuh tempat memuntahkan segala  penat, stress, kemuakan, kemurkaan tamparan hidup, biarkan mereka menetek pada dada berkarat ini, biarkan mereka mengigau sedang kita hanya memanfaatkan derasnya kata-kata yang keluar dari mulut bergincu tanpa perlu mempertebal kembali selepas kita bekerja.


Ooo, Drupadi, primadona tanpa pemuja di malam gigilkan sendi-sendi tubuh haus belai, tak ubahnya kau serupa pengkotbah pada mimbar kosong sementara umat telah berhaluan pada tuhan baru, uang! Satu lagi  kesepakatan manusia yang memperbudak manusia itu sendiri, mereka memuja lembaran itu sekaligus dihela oleh pecutan nilai tukar yang sulit kali untuk sebanding atas jerih payah. Ooo, Drupadi, warna senjamu yang segar kian meredup mana kala mentari siap tampilkan berkas sinar serupa panah Srikandi yang melesat berpinak ribuan anak panah siap menghujam askar Kurawa tak bertameng.


Tak lagi kupedulikan deru motor terparkir di depan gedung yang sama tempat ku berteduh. Pengendaraan itu berlarian kecil menaiki anak tangga kemudian masuk pada kotak kaca, hanya berjarak setengah meter saja lemari berisi uang itu dari titik dimana aku mendekap lutut-lutut menggigilku, apa dayaku yang tidak memiliki kartu ajaib yang mampu mengeluarkan uang dari lemari itu. Kudengar mesin itu mengeluarkan gemuruh onderdilnya yang berputar lalu suara peringatan “bippp…biippp..biipp” memekakkan telinga yang sedari tadi tak mendengar denting koin rupiah yang tersodorkan untuk diri ini.


“Supardi! Kamu Supardi, bukan?!!” Ahh, nama itu sudah lama ku lenyapkan bersama Kartu Tanda Penduduk yang kubakar di depan gedung yang katanya milik rakyat itu bersama ratusan kawan senasib yang tak lagi dipedulikan akan kehadiran diri kami ini sementara mata mereka menatap nanar ke arah kami sekaligus melirik buas mana kala nafsu mereka bergelora, sementara kami berjalan pada bumi yang sama justru mereka meludah jijik pada kami tapi ujung mata mereka menikmati gerik resam tubuh ini sedetik setelah itu, sementara kami berbahasa yang sama namun mereka kerap  sajikan cela-maki-cerca-umpatan-fitnah saat mereka melupa mulut usil mereka kerap bersiul genit.


Nama itu sudah tidak ada! Sudah bukan lagi namaku! Aku, Drupadi yang telah meruntuhkan setiap rangka konstruksi sosial lewat bisikan setiap sosok perkasa ratusan Ksatria Pendawa masa kini yang melingkar nyaman dalam candu peluk dan bius gincuku. Namaku Drupadi!! Supardi telah ku kubur hidup-hidup beserta sifat kepengecutan lahiriahnya! Lebih baik mati jika aku takut hidup, maka kubunuh Supardi demi memberi nyawa Drupadi. 


Kuhardik mata si penyebut kata itu, yaa, hanya kata bagiku kini. Ku tentang tubuhnya, postur badannya tak jauh berbeda dengan milikku. Pemuda itu melepas helm dan syal penutup wajahnya, terpaan sinar merkuri dan nyala biru mesin lemari uang memperjelas wajahnya. Kaki-kakiku melumpuh seketika, kini aku bersimpuh pada kedua lutut yang kuharapkan mampu menopang tubuh gigil oleh lapar dan dingin menusuk. Menggelepar aku oleh tikaman masa lalu dan detik kini yang datang menombak ulu kenyataan.


“Believe me it hurt my friend. Really hurt to know that you still alive but… buttttt….” Lehernya tercekik tatapan mataku, kata-katanya tersumbat oleh wujud diri ini. Demi tembok Berlin aku berlindung pada hembus asap rokok sebagai perisai malu, menunduk dalam oleh gelayut tetes air mata yang semakin menegaskan keabadian hukum gravitasi. Aspal hitam menggenangkan air mata ini, kearah situ pula wajah ini tenggelam gelagapan meronta-ronta menggapai apa pun tuk dijadikan pegangan kesadaran.


“Believe me, you don`t want to know my life line…” Kau berharap aku mempercayai ketidak percayaanmu maka aku pun berharap kau paham bahwa kau seharusnya tidak ingin mengetahui ini semua, kawan. 




...bersambung!




kolaborasi dua kepala-dua jiwa by:
- Zee Noor and Koelit Ketjil -

2 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!